Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu...

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan sebagai Upaya Mengejar Ketertinggalan

25 Mei 2016   18:42 Diperbarui: 25 Mei 2016   19:29 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Republik Indonesia sudah merdeka selama 70 tahun. Sudah cukup banyak negara lain yang mulai membangun—atau membangun kembali—bersamaan dengan kita, dan sekarang jadi negara-negara maju. Bukan hanya negara kita yang selama ini mengalami berbagai masalah, melainkan negara-negara maju tersebut juga. Jadi, tak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tak bisa semaju mereka.

Jika kita melihat pihak lain lebih maju, hal paling logis untuk dilakukan adalah mencoba meniru resep sukses pihak-pihak tersebut. Sudah cukup banyak kajian yang bisa kita manfaatkan, misalnya hasil riset lembaga internasional yang membuat peringkat negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, dengan aneka parameter yang validitasnya diakui secara mondial.

Kata “nasional” dalam pendidikan nasional merupakan tujuan utama. Mendidik itu berarti menyiapkan generasi yang akan mengabdikan hidupnya bagi bangsa dan negara. Karena itu, pendidikan nasionalisme itu mutlak. Sejak belia, setiap anak harus diajarkan bahwa kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan di atas segala kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini semakin perlu mengingat di luar sana semakin gencar kalangan tertentu beragitasi anti-nasionalisme.

Ketika kepentingan bangsa bertabrakan dengan kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, kepentingan etnis, atau kepentingan agama, maka kepentingan bangsa yang harus didahulukan. Tentu bukan berarti fasis. Perlu diajarkan juga bahwa setiap individu warga berhak dapat pengayoman negara, sesuai konsep hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh negara kita.

Karena kita semua satu bangsa dan satu tanah air—sesuai Sumpah Pemuda 1928—maka kurikulum pun harus integral. Hindarkan adanya pelajaran yang mengkotak-kotakkan. Jangan sampai ada pelajaran agama yang mencuci otak siswanya untuk jadi chauvinis, menganggap rendah orang-orang lain yang beda agama. Lebih bijak lagi jika sekalian pelajaran agama diganti dengan pendidikan budi pekerti yang netral agama. Ini amanat Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional kita.

Berikutnya, pendidikan itu membentuk pola pikir siswa agar efektif. Sedini mungkin perlu diberikan pendidikan rasionalitas. Segala nilai yang diajarkan diberi penjelasan sebab-akibat. Tak cukup berkata, “Jangan membolos.” Keliru juga jika dikatakan, “Jangan membolos, nanti dimarahi guru.” Yang benar, katakan misalnya, “Jangan membolos, nanti kesulitan karena ketinggalan pelajaran.”

Jika siswa bertanya, “Kenapa kita harus menghormati orang lain?”, alangkah kelirunya jika guru menjawab, “Karena memang harus begitu.” Para siswa akan lebih naluriah menghormati orang lain jika alasannya “agar kamu jadi orang yang pantas untuk balik dihormati juga oleh orang lain”.

Begitu juga dalam hal sains. Tak usah gubris kalangan tertentu yang menuntut pemerintah menghapuskan tema evolusi dalam pelajaran biologi. Argumen mereka kan cuma dogmatis, bertentangan dengan konsep yang dipegang oleh kalangan akademisi seluruh dunia.

Sains juga bisa menghindarkan hal-hal buruk. Bagaimana mencegah siswa-siswi mengalami kehamilan tak diinginkan atau penyakit menular seksual? Pendidikan seks yang rasional, kuncinya. Sama rasionalnya dengan mendidik siswa agar hati-hati berlalu-lintas di jalan umum.

Selanjutnya, perlu kita sadari bahwa konsep pendidikan yang berlangsung di negara-negara maju pun senantiasa mengalami perkembangan. Karena itu, pendidikan nasional Indonesia harus berusaha mengikuti zaman. Bahwa dulu guru memukul siswa dianggap kewajaran, kini sudah waktunya menerapkan sistem pendidikan yang lebih modern tanpa kekerasan fisik.

Jangan pula paranoid terhadap perkembangan teknologi. Ketimbang sibuk melarang siswa membawa ponsel di sekolah, lebih bijak memberikan edukasi kepada siswa untuk mendayagunakan ponsel secara positif. Daripada kuatir siswa mencontek pakai ponsel, lebih baik diterapkan ujian open book atau oral yang membolehkan siswa membuka ponsel untuk menyusun jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun