Mohon tunggu...
Rachmat Pandji G
Rachmat Pandji G Mohon Tunggu... -

Seorang pecinta travelling dan dunia pariwisata Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ondel-ondel, Pengamen Jalanan dan Eksistensi Budaya yang Perlahan Tergerus Kemajuan Jakarta

25 April 2017   00:34 Diperbarui: 25 April 2017   10:00 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia khususnya DKI Jakarta telah menuntaskan hajatan terbesar politik yakni pemilihan kepala daerah (Gubernur). Hajatan politik yang tentunya menguras banyak tenaga maupun tensi tinggi yang dimiliki oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada akhirnya, siapapun yang menang, tentunya diharapkan akan membawa Jakarta menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Diharapkan tidak hanya dari pembangunan fisik, sdm maupun pendidikan, namun juga mengarah pada kemajuan budaya masyarakat Jakarta.

Berbicara Jakarta, tentu tidak akan ada habisnya membahas kota yang satu ini. Selain sumber ekonomi dan pusat pemerintahan, Jakarta menjadi sektor pertumbuhan barometer kemajuan daerah lain di Indonesia. Hal ini wajar mengingat roda serta jantung Indonesia berada di kota ini. Hal ini tentunya menjadi magnet bagi setiap pendatang maupun masyarakat setempat untuk mengadu nasibnya untuk mengais rezeki dengan harapan kehidupan mereka akan meningkat. Maka tidak heran jika Jakarta menjadi gula-gula bagi setiap orang yang datang. Pernah dengar istilah “Jakarta itu keras, tapi itulah sumber kehidupan paling layak untuk meniti karir atau “Mending kalau kerja di Jakarta aja bro. Kalau di Jakarta, menanam seribu itu kalau telaten bisa menjadi seratus ribu. Hidup di Jakarta bisa memberikan masa depan”. Begitulah sekilas ucapan yang pernah saya dengar dalam suatu sudut ibu kota ini walaupun kadang agak terdengar janggal dengan istilah itu. Apakah itu sebuah istilah bahwa dengan modal sedikit (modal sosial, skill, relasi, dll) pun bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang banyak? Entahlah saya kurang memahami itu. Bisa benar, bisa pula tidak. Tergantung dari sudut mana kita menilainya. Biarlah pembaca yang jauh lebih pintar dapat menelaah kata-kata itu.

Ditengah hiruk pikuk keramaian kota Jakarta yang seakan tak pernah tidur ini, terdapat sedikit cerita yang mungkin sudah sedikit mendengarnya. Ouw ya, ini berbicara tentang ikon kota ini, yaitu Ondel-Ondel. Ah, sudah lama sekali memang saya tak pernah mendengar atau melihat ondel-ondel hiruk pikuk memenuhi setiap gang kota Jakarta dimanapun itu. Ondel-ondel yang menurut beberapa tetangga saya, konon pada era 80an hingga 90an sempat digunakan untuk menakuti anak-anak agar tidak bandel dan main jauh-jauh, atau nanti akan diculik. Begitulah yang pernah saya dengar. Terdengar lucu dan konyol memang. Tapi itu menjadi sebuah pertanyaan saya, jikalau memang ondel-ondel sebagai ikon kota Jakarta itu begitu menyeramkannya sehingga pernah ditakuti, lantas kemanakah sekarang gerangan sosok itu berada?

Sebelum lebih jauh memburu ondel-ondel, ada baiknya saya akan menceritakan sedikit tentang sejarah ondel-ondel. Yah sepengetahuan saya saja memang. Namun, mudah-mudahan dapat dimengerti. Dilansir dari Wikipedia, Ondel-ondel pada dasarnya merupakan seni budaya yang lahir dari rahim budaya betawi dan sering ditampilkan dalam pesta rakyat.  Biasanya ondel-ondel dibuat dari anyaman bambu. Bagian wajahnya berupa topeng dan ramnbutnya berupa ijuk. Ondel-ondel ada 2, yakni wanita dan laki-laki. Wajah ondel-ondel laki biasanya dicat warna merah, sedangkan yang perempuan berwarna putih. Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misalnya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tentu, tergantung dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, Kampung Setu. Ada yang diiringi dengan pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh, sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Remes”, Ningnong dan Rebana ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, Kalideres.

Membaca uraian dari satu sumber itu, membuat saya sebenarnya kagum. Wow, begitulah ekpresiku membatin. Rupanya ondel-ondel pada masa lalu menjadi suatu yang sangat berharga bagi rakyat betawi. Apalagi untuk perjamuan penyambutan tamu. Mungkin mirip seperti tradisi di beberapa daerah. Entah saya seperti melihat reog ponorogo, jathilan atau tari selamat datang dalam versi yang berbeda. Unik, menarik. Dan Jakarta memiliki asset budaya yang sangat berharga yang sepatutnya dapat dibanggakan.

Takjub?hmm mungkin itulah pikiran saya saat ini juga. Yah, namanya budaya apapun itu selalu menarik buat saya. Terkadang saya pernah berangan-angan dan bermimpi barangkali jikalau suatu saya diberikan mandat oleh Presiden RI untuk memajukan budaya beserta pariwisata Indonesia, maka sayapun sangat siap. Hahahaha #ngarep. Ini mungkin Cuma sekedar angan-angan yang tak penting. Tapi sebagai rakyat kecil, tak ada salahnya toh kalau sekedar berangan-angan. Namanya saja juga mimpi. Mimpi siang bolong lebih tepatnya.

Baiklah. Lupakan humor sekilas dan kembali membahas ini dan tidak usah dibawa serius . Anggaplah guyon. Berbicara ondel-ondel ditengah kemajuan Jakarta yang pesat ini, kemanakah ikon kota ini berada dan muncul? Tentunya selain di pesta rakyat betawi atau ulang tahun kota Jakarta. Ah, rupanya saat saya berlalu lalang di tengah jantung kota yang modern ini, agak sulit menemukannya. Tapi bukan berarti tidak ada.

Sayapun terkadang menyusuri jalan setapak di beberapa daerah pinggiran. Dan, dari penelusuran saya, ternyata masih dapat ditemukan pertunjukan ondel-ondel. Saya pun cukup senang dan tersenyum tipis karena ditengah hiruk pikuk kota ini rupanya masih ada yang memainkan ondel-ondel. Darimana saya tahu itu? Hm, dari alunan musiknya yang khas nun jauh dari seberang rupanya sudah memainkan iramanya dalam telinga saya. Khas sekali bunyinya. Sayapun berjalan menghampiri dan mendekat untuk sekedar memperhatikan lebih seksama. Sepenglihatan saya, rupanya ada segelintir anak muda yang memainkan ondel-ondel namun untuk mengamen. Meski demikian, saya lebih melihatnya sebagai panggung hiburan berjalan.

Melihat hal itu, saya menganalisa dan menarik kesimpulan pertanyaan. Apakah yang dilakukan oleh mereka itu murni untuk mengamen sajakah atau sekaligus melestarikan budaya betawi? Tak ada yang tahu. Namun menjadi sebuah ironi ketika justru mereka yang melestarikan ondel-ondel sekarang ini adalah anak-anak yang menjadikannya sebagai hiburan untuk mengais rezeki. Salahkah? Menurut saya tak ada salahnya. Budaya tidak sekaku demikian. Ada kalanya budaya bergerak dinamis dan menjadi unsur komodifikasi yang dalam hal ini menjadi sumber ekonomi. Maka ketika budaya menjadi komodifikasi dan tak menjadi sakral, maka itu tak lagi berarti apa-apa selain sumber hiburan dan ekonomi. Menurut saya, ini adalah pelestarian budaya cara baru yang memang sudah banyak dipraktekkan di berbagai daerah lainnya. Sebab budaya, jika memang mau jujur, apabila ingin bertahan di era modern saat ini mungkin ada kalanya berubah dalam segi konsepnya. Dalam era ekonomi saat ini, dengan menjadikannya sumber penghidupan, maka akan menarik minat generasi muda untuk memainkan budaya yang kadangkala dianggap sebagai bagian dari masa lalu atau sekedar simbol. Melestarikan sembari menghasilkan. Mungkin itu pikiran mereka yang menjadikan budaya sebagai bagian komodifikasi. Tujuan lainnya, agar budaya itu tetap eksis ditengah hingar bingar budaya pop modern. Bahkan, dari asumsi pribadi saya sendiri, cara-cara demikian jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Toh kalau tidak begitu, bagaimana lagi orang mau melestarikan budaya? Sangat jarang loh zaman sekarang ada segelintir anak muda yang masih mau melestarikan budaya sendiri. Karena inilah cara mereka untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa mereka masih eksis.

Rasa takjub yang tak tertahankan membuat saya mendatangi mereka dan sedikit berbagi dengan beberapa rupiah yang saya miliki. Mungkin sebagai penghargaan kecil dari saya untuk jerih payah mereka yang menghibur orang-orang di jalanan dengan alunan musik khas betawi sekaligus menghargai mereka yang melestarikan budaya ondel-ondel. Walaupun mungkin tujuan dari mereka-mereka adalah mencari tambahan, namun saya malah berpikiran lain. Ya iyalah kudu positive thinking dong. Jangan nethink terus ah. Buat saya, mereka adalah pejuang kecil dalam pelestarian budaya disaat banyak masyarakat melupakannya.

Pada akhirnya kelompok seniman pengamen jalanan pun berlalu. Setelah memperhatikan pertunjukannya, sayapun memilih beristirahat dan mampir di suatu tempat warung kecil (angkringan) yang mampu mencairkan keramaian alias mencari ketenangan. Karena buat saya pribadi, ini adalah tempat dimana ketenangan jiwa dapat tumbuh ditengah tantangan ekonomi serta kerasnya kehidupan demi pundi rupiah. Derunya suasana malam membuat saya akhirnya memilih menikmati segelas teh hangat. Sembari menikmati hangatnya teh dari angkringan di kota Jakarta, entah kenapa melihat mereka yang baru saja memainkan ondel-ondel membuat saya teringat akan skripsi saya tentang gudeg sebagai identitas budaya. Loh apa hubungannya to le gudeg dengan ondel-ondel? Memang ga ada sih. Cuma analisa tentang identitas dan eksistensi budayanya tentang mereka yang sangat bersemangat melestarikan kesenian betawi tadi, pernah saya catatkan dalam buku kecil dan itu mirip sekali dengan suatu teori yang saya pakai. Itu mengingatkan saya akan teori dari redcliffe brown tentang identitas yakni:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun