Mohon tunggu...
si qoqon
si qoqon Mohon Tunggu... -

pengembara yang tak bisa berhenti belajar. pernah tinggal di jabodetabek dan dipanggil si qoqon. masa itu banyak mengenal berbagai manusia dari seluruh indonesia. masa kini sesekali bercuit di @siqoqon :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Afi dan Naufal, Potret Sedih Pendidikan Kita

11 Juni 2017   05:53 Diperbarui: 28 Oktober 2018   12:00 2374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Afi berdiskusi dengan civitas akademika, bersama dosen UGM | Foto: TribunNews

Afi dan Naufal adalah dua remaja yang sedang jadi bahan perbincangan netizen saat ini. Apa sih persamaan mereka? Keduanya mencengangkan orang-orang dewasa, karena mereka adalah sosok yang tidak biasa di masyarakat kita pada umumnya. "Tidak biasa" ini yang dipertanyakan. Seperti apakah yang biasa di masyarakat kita?

Ketika mulai terkenal, Afi adalah seorang remaja 17 tahun dari sebuah SMA di sebuah kota kecamatan di ujung pulau Jawa, yang kritis menanggapi kehidupannya sebagai seorang pelajar. Waktu saya pertama menemukannya di Facebook awal 2016, dia mengkritik sistem pendidikan berdasarkan contoh-contoh nyata yang dia amati dari sekolah, guru-guru, dan teman-teman sekolahnya. Ketika dia mulai banyak teman di media sosial, tampaknya dia mulai menangkap gejala-gejala tidak kritis dari pemikiran-pemikiran orang dewasa, sehingga dia mulai menulis "topik dewasa" dengan meresponnya.

Afi punya ponsel baru mulai tahun 2015 dan dia adalah anak yang sangat gemar membaca. Di sinilah langkanya dia untuk ukuran remaja Indonesia, karena minat baca remaja kita begitu rendah. Remaja mana yang terpaku berjam-jam dengan ponselnya untuk membaca tulisan-tulisan bermakna maupun quotes (kutipan) dari para pemikir dan para penulis sejak zaman dulu sampai sekarang? Di mana remaja lain menggunakan ponsel untuk mencoba sekedar eksis di berbagai platform media sosial? Remaja mana yang walaupun keuangannya terbatas tetap membaca buku-buku berbagai topik (yang orang dewasa pun ogah membacanya), dengan cara meminjam lewat perpustakaan? Di mana remaja lain yang orangtuanya mampu memilih menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang konsumtif?

Bacaan yang begitu beragam dari berbagai sumber membantu Afi berpikir. Pasti dia pernah membaca tentang sistem pendidikan yang baik, sehingga dia bisa merefleksikan keadaan sekitarnya yang tidak sesuai dengan pemahaman dia. Tanpa suguhan bacaan yang beragam, sulit untuk mengkritisi sesuatu dengan berimbang. Sejak awal, saya paham Afi kadang mengutip atau menterjemahkan kutipan berbahasa Inggris, karena saya kebetulan pernah membaca kutipannya sama persis dengan kata-katanya. Tapi, hal itu saya anggap wajar karena kadang kita menemukan kutipan yang memang sama persis dengan apa yang kita pikirkan, dan si penulis kutipan itu cuma lebih bagus berbahasa sehingga bisa menuliskannya dengan lebih mengena / menohok.

Naufal bersama pak Jonan, Menteri ESDM | Foto: TribunNews
Naufal bersama pak Jonan, Menteri ESDM | Foto: TribunNews
Ketika mulai terkenal, Naufal adalah seorang remaja 14 tahun dari sebuah MTs (SMP) di sebuah kota kecil di ujung pulau Sumatera, yang mencoba menyalurkan listrik dari pohon kedondong pagar. Hasil penelitian Naufal pertama kali dikenal tahun 2015 di kontes Teknologi Tepat Guna di Banda Aceh. Hanya berbekal pelajaran IPA tentang listrik dari buah yang mengandung zat asam (Hukum Volta tentang baterai), Naufal mencoba menyalakan lampu dengan baterai buah, namun kurang terang. Setelah mencobanya dengan berbagai buah, akhirnya dia menemukan energi paling besar (lampu paling terang) dari pohon kedondong pagar. Penemuan ini sangat berarti, karena pohon kedondong pagar ini banyak terdapat di tempat tinggalnya, dijadikan pagar di rumah-rumah penduduk.

Menurut percobaan-percobaan yang dilakukannya, pohon ini paling tidak cepat membusuk, dan jika kena air pun listriknya tetap jalan. Di sinilah langkanya dia untuk ukuran remaja Indonesia, karena minat penelitian remaja kita begitu rendah. Remaja mana yang tertarik mencoba teori yang dia temukan dari pelajaran di sekolah? Di mana remaja lain memilih menghafalkan saja teori-teori tersebut demi nilai bagus di ujian? Remaja mana yang selama 3 tahun betah mencoba berbagai macam buah dan menguji hasil percobaannya untuk mendapatkan hasil yang lebih dan lebih baik? Di mana remaja lain lebih suka mengikuti kegiatan yang lagi nge-trend di sekitarnya?

Menurut ayahnya, Naufal sudah suka mengeksplorasi sejak kecil, seperti membongkar mainannya. Selain itu, Naufal juga belajar dari ayahnya yang menerima servis barang-barang elektronika. Sejak mendapat hadiah uang dari kontes Teknologi Tepat Guna, Naufal terus mengembangkan prototipenya. Orangtuanya pun rela mengeluarkan uang demi penelitian anaknya sampai puluhan kali percobaan. Akhirnya PT Pertamina membantunya dengan dana dan fasilitas untuk memperbanyak prototipenya sampai bisa menerangi rumah-rumah di desanya.

Orang-orang dewasa cuma bisa reaksioner?

Reaksi masyarakat Indonesia pada umumnya (dari netizen di media sosial) cukup berlebihan, sehingga Afi dan Naufal dipuji-puji belaka. Padahal, yang perlu disorot dari mereka adalah bukan apa yang mereka tampilkan, namun seperti apa proses mereka dikontraskan dengan konteks lingkungan tempat tinggal mereka yang bukan dari kota besar dengan segala fasilitasnya. Selain itu, yang perlu disorot adalah bagaimana mengembangkan anak-anak semacam ini supaya makin bersinar. Afi punya bakat berpikir kritis di tengah sistem pendidikan kita yang tidak mengajarkan itu. Naufal juga punya bakat meneliti di tengah sistem pendidikan kita yang tidak membiasakan itu. Pantaslah masyarakat tercengang. Mereka anak-anak luar biasa, walaupun tentunya tidak lepas dari pengaruh orangtua mereka masing-masing.

Kedua anak ini sudah mendapatkan hak-hak seorang anak yang paling penting, yaitu dukungan dari orangtua. Kedua orangtua Afi dan Naufal sangat mengenal anak-anaknya. Ayah Afi mengenalnya sebagai anak yang betah membaca berjam-jam di kamar saja. Ayah Naufal mengenalnya sebagai anak yang suka mengeksplorasi elektronik. Afi bisa menjadi seperti itu di tengah keterbatasannya, karena ayahnya selalu rajin mengingatkan dia untuk terus belajar demi memperbaiki nasib. Ayahnya pun mengkontrol penggunaan ponselnya. Walaupun sudah dicek oleh ayahnya bahwa Afi bermedsos untuk hal yang bermanfaat, tetap ada aturan bahwa ponsel harus mati jam 10 malam. Naufal pun juga didukung oleh orangtuanya. Walaupun berpuluh-puluh kali melakukan percobaan, orangtuanya tidak mengeluh "sudahlah nak, ini sudah menghabiskan banyak biaya, percuma kalau listriknya cuma gitu-gitu aja."

Afi masih perlu banyak belajar tentang cara mengutip tulisan orang. Terinspirasi boleh-boleh saja, tapi jangan sampai kutipan itu dibilang "copyright" dirinya, atau disebut sebagai buah pikirannya. Jika mengutip untuk media sosial, cukup "dari berbagai sumber" atau "anonymous" atau "author unknown". Jangan sampai kita sebagai orang dewasa membiarkan dirinya terus mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan dirinya, dengan dalih itu bukan tulisan ilmiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun