Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Refleksi Perekonomian Indonesia 2016 dan Tantangan 2017

9 Februari 2017   16:02 Diperbarui: 9 Februari 2017   16:06 1325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: koran-jakarta.com

Badan Pusat Statistik (BPS) resmi merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 sebesar 5,02 %. Angka ini sesuai dengan prediksi Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Hampir semua sektor tumbuh positif. Lima besar pertumbuhan tertinggi sepanjang 2016 dicatat oleh sektor jasa perusahaan yang tumbuh 7,36%, sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh 7,74%, sektor jasa di luar jasa keuangan, pendidikan, kesehatan, dan perusahaan yang tumbuh 7,80%, sektor informasi dan konsumsi yang tumbuh 8,87%, serta sektor jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh 8,90%. Kelima sektor tersebut berkontribusi pada 64,7% pertumbuhan ekonomi Indonesia.  Struktur ekonomi Indonesia menurut pengeluaran didominasi oleh komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sebesar 56,50% diikuti oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 32,57%, dan komponen ekspor barang dan jasa sebesar 19,08%.Secara umum, pertumbuhan ekonomi ini masih tinggi, meski berbeda dengan asumsi yang ditetapkan di dalam APBN-P 2016 sebesar 5,2%. Pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2016 memang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2015. Hal ini disebabkan oleh adanya pemangkasan anggaran belanja pemerintah. Pemangkasan terjadi karena perencanaan anggaran yang tidak begitu matang. Belanja tidak mampu diimbangi oleh kerja penerimaan negara, khususnya pajak. Ketimbang mengalami risiko defisit yang melebihi 3%, pemerintah memilih memangkas belanja dengan prinsip efektivitas dan efisiensi.

BPS juga mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp12.406,8 triliun, sementara PDB per kapita mencapai Rp47,96 juta/tahun. Capaian ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp45,14 juta/tahun. Angka ini menunjukkan daya beli masyarakat yang meningkat. Meski secara nasional, angka pendapatan per kapita ini naik, kenyataannya terjadi ketimpangan pendapatan yang ada di kota besar dan kota kecil.

Tingginya ketimpangan pendapatan memang kerap menimpa negara-negara yang perekonomiannya banyak mengandalkan sumber daya alam. Misalnya saja Brazil. Fenomena ini juga ada kaitannya dengan dutch disease, yakni fenomena di bidang perekonomian yang merujuk pada akibat yang biasanya ditimbulkan oleh melimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara punya kaitan yang erat, yang secara teori seharusnya menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, kenyataannya, hal ini justru mempengaruhi kestabilan ekonomi sosial suatu negara sehingga lebih rendah. Negara yang kaya akan sumber daya alam juga cenderung tidak memiliki teknologi yang, ditambah dengan masalah korupsi, lemahnya birokrasi dan demokrasi.

Index gini yang paling rendah dimiliki oleh negara-negara yang pertumbuhan ekonominya mengandalkan sektor jasa. Indonesia sebenarnya banyak memiliki sektor jasa, namun sumber-sumbernya masih begitu terbatas sehingga pemerintah seharusnya berkonsentrasi pada program ekonomi yang mengarah ke sektor jasa.

Seiring dengan hal tersebut, IMF juga melaporkan hasil penilaian perekonomian Indonesia tahun 2016. IMF menganggap Indonesia berhasil dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan beradaptasi terhadap dinamika perubahan perekonomian global. Meski menghadapi sejumlah risiko, outlook perekonomian Indonesia positif. Hal ini terjadi, salah satunya karena tepatnya bauran kebijakan makroekonomi yang didukung oleh reformasi structural sehingga Indonesia mampu menghadapi beberapa tantangan seperti siklus harga komoditas dunia yang naik turun, lambatnya pertumbuhan ekonomi global, serta beberapa keadaan yang berpotensi menimbulkan gejolak keuangan ke negara emerging markets.

Senada dengan hal itu, kesimpulan yang diambil oleh KSSK juga menyebutkan kondisi stabilitas sistem keuangan kita normal. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil pemantauan dan asesmen terhadap perkembangan moneter, fiskal, makroprudensial, sistem pembayaran, pasar modal, pasar surat berharga negara, perbankan, lembaga keuangan non-bank dan penjaminan simpanan. KSS memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 akan lebih baik dan stabilitas sistem keuangan pun terkendali. Tahun 2017, pemerintah menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,1% dengan asumsi defisit 2,41%. Namun, masih ada beberapa risiko yang patut dicermati, baik itu risiko eksternal maupun internal/ domestik yang dapat mempengaruhi sistem keuangan.

Risiko yang berasal dari faktor eksternal adalah pemulihan ekonomi global yang belum stabil. Ketidakpastian dari arah kebijakan pemerintah US ditambah dengan rencana kenaikan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali pada tahun ini juga berpotensi menimbulkan tekanan pada arus modal dan nilai tukar.

Rebalancing yang terjadi di China juga berpotensi menimbulkan tambahan risiko. Bappenas mengungkapkan bahwa perekonomian China sangat mempengaruhi Indonesia. Jika China mengalami perlambatan 1%, maka ekonomi Indonesia akan tergerus 0,72%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pengaruh ekonomi US yang diprediksi jika ekonomi US melambat 1%, ekonomi Indonesia akan menurun 0,41%. Risiko perlambatan pada perekonomian China itu ada, selain karena pengaruh sentiment dari US, utang China sekarang makin naik dan cadangan devisa mereka turun menyebabkan tren depresiasi Yuan.

Di sisi internal/ domestik, risiko yang perlu dicermati adalah potensi kenaikan inflasi dari administred price atau harga yang diatur pemerintah. Pada bulan Januari 2017, penyumbang inflasi terbesar adalah dari administred price, di antaranya dari pencabutan subsidi listrik dan kenaikan pembayaran STNK. Dari sisi fiskal, tantangan yang dihadapi adalah cara peningkatan penerimaan negara, terutama yang berasal dari pajak untuk mengendalikan defisit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun