Oleh : Pieter Hadjon, SH, MH
Tatkala  rakyat Indonesia begitu ramai berpolemik tentang Perppu Pembubaran  Ormas, muncul kasus yang tak kalah serunya, bahkan sudah menjadi headline news, yang akhirnya memecah fokus masyarakat pada berita yang lebih up to date. Adalah Setya Novanto, yang begitu licin dapat lolos dari beberapa jeratan hukum dengan sepak terjangnya selama ini yang begitu menggemaskan, pada akhirnya dia ditetapkan juga sebagai "Tersangka" oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga anti rasuah ini mengumumkan penetapan Setnov sebagai Tersangka dalam kasus E-KTP.
Kasus E-KTP Â yang begitu banyak melibatkan pejabat dan mantan pejabat dinegeri ini sangat membuat gerah masyarakat karena dana yang dikorupsi menjadi "bancakan" yang begitu fantantis nilainya dan menjadi korupsi berjamaah terbesar di abad ini. Begitu banyaknya kasus yang melibatkan Setya Novanto, tapi semuanya meloloskannya dia dari jerat hukum, bahkan dia begitu mudahnya melenggang menjadi ketua DPR RI. Seperti tidak terjadi apa-apa, karena Setya Novanto benar-benar sakti, semua kasus hukum terkait dengan jerat hukum yang sedang menimpanya, menjadi tidak cukup bukti dan di SP3 atau menguap dan hilang bagaikan ditelan bumi, sehingga pantas ia diberikan julukan "THE UNTOUCHABLE MAN" (Laki-laki Yang Tidak Tersentuh), namun kali ini kasus Mega Proyek E-KTP akhirnya menjadikannya sebagai tersangka. Masyarakat Indonesia menaruh harapan besar agar aparat penegak hukum benar-benar independen dan objektif dalam menangani kasus ini.
Mungkinkah Setya Novanto lolos lagi?
Dalam keterangan pers Ketua KPK menyatakan bahwa penetapan Tersangka Setya Novanto dalam kasus E-KTP telah didukung oleh alat bukti yang cukup. Pengertian alat bukti yang cukup adalah memenuhi syarat minimal sekurang-kurangnya 2 alat bukti, dari alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP (Pasal 184 ayat (1)). Pastinya dalam kasus ini sudah ada satu alat bukti yakni keterangan saksi berkaitan dengan peran Setya Novanto dan aliran dana ke Setya Novanto.Â
Menurut Ketua KPK berdasarkan penyelidikan yang dilakukan KPK, terdapat rekaman aliran dana kepada Setya Novanto namun tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan rekaman tersebut. Jika yang dimaksud rekaman adalah bukti transfer dana ke Setya Novanto, maka itu dikategorikan sebagai alat bukti surat. Â
Modus Operandi
Selain alat bukti yang dikantongi oleh KPK tersebut di atas, maka perlu dianalisis peranan Setya Novanto sejauh mana dalam kasus E-KTP, sehingga menyeretnya sebagai pelaku atau tersangka.
Menelusuri awal mula dicanangkan E-KTP keterlibatan Setya Novanto, yang saat itu masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di parlemen, bermula ketika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada akhir November 2009. Dengan kedudukan sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar Andi Narogong dan Irman melobi Setya Novanto, kolega Burhanuddin Napitupulu, di partai berlambang beringin tersebut.
Untuk melancarkan usulan itu, Ketua Komisi II, yang saat itu dijabat Burhanuddin Napitupulu, minta uang pelicin kepada Irman seusai rapat pembahasan anggaran Kemendagri pada awal Februari 2010, tapi Irman tidak sanggup atas permintaan itu. Belakangan, Irman menggandeng Andi Narogong, pengusaha yang sudah terbiasa menjadi rekanan di Kemendagri, untuk menyelesaikan permintaan uang pelicin itu.
Dengan menggandeng Novanto, selaku Ketua Fraksi Partai Golkar, Andi Narogong dan Irman berharap punya kepastian dukungan untuk mengegolkan anggaran proyek penerapan E-KTP. Beberapa hari berselang, pertemuan dengan Novantopun dirancang.