Bencana, Sikap Waspada, Abai, dan Ndelok[1]
Duka karena bencana alam baru saja terjadi, ketika obyek wisata di pegunungan Dieng salah satunya, marah dan menggelegar.  Kembali lebih berduka karena helikopter yang mau menjadi  tim penyelamat malah kecelakaan.  Bangsa ini kaya akan segalanya, namun risikonya juga kaya akan bencana.  Air melimpah, malahjadi keluhan karena banjir. Gunung berapibanyak, tanah subur, pemandangan elok, namun kalau meletus jelas tahu akibatnya.  Hampir semua lereng gunung berapi aktif lagi, selalu menjadi ladang yang menjanjikan, obyek wisata yang menjual, dan tentunya, ingat peristiwa Merapi beberapa waktu lalu.Â
Sikap Waspada
Obyek wisata, apalagi liburan tentu menarikperhatian. Apa yang perlu diketahui adalah karakteristik  obyek wisata itu. Jika itu alam. Misalnya pantai, bagaimana ombaknya, besar tidak, binatangnya sepertiubur-ubur beracun atau aman. Jika gunung,  apa saja yang harus dijadikan perhatian. Misalnya, parkir mobil bagaimana. Benar bahwa teknologi ada untuk membantu. Ingat teknologi membantu, bukan segalanya. Sikap waspada menjadi yang utama. Waspada bukan paranoid. Jika parno buat apa  wisata.
Waspada untuk tetap sadar tidak terlena akan keadaan. Ingat ada anak dicakar hewan di salah satu obyek wisata juga. Â Taat azas, bagaimana petunjuk di sana diperhatikan. Saat ini biasanya sudah banyak rambu-rambu untuk berkumpul jika ada keadaan di luar perkiraan. Perhatikan hal ini.
Abai
Mental anak bangsa yang model terabas, mau enak tanpa mau susah. Kan sudah ada petugas, kan sudah ada teknologi yang akan membantu. Abai akan peringatan dini, abai akan tanda-tanda alam bisa membuat keadaan makin rumit.
Model sok tahu juga menjadi satu masalah, ingat pengalaman kala ke pos pengamatan Merapi kami ke sana berombongan. Di depan ada petunjuk untuk parkir menghadap jalan, dengan mudah, parkir saja seperti posisi kendaraan masuk. Eh pas pulang, baru baca pengumuman alasan mengapa menghadap ke jalan.
Berkaitan dengan hal di atas adalah lemah budaya baca. Â Bagaimana petunjuk diberikan, peringatan untuk apa, biasanya dianggap angin lalu. Era modern hampir semua hal dituliskan kog. Paling kecil saja, jangan buang sampah sembarangan, mana ada yang peduli?
Ndelok
Bencana,  apapun bentuknya menjadi sebuah ironi sekarang ini,  menonton bencana. Entah karena mau eksis di media sosial, atau karena haus hiburan semua menjadi tontonan. Sering korban itu karena tidak bisa tertolong bukan karena  bencananya namun karena pertolongan yang terlambat.  Contoh, kebakaran menjadi besar-besaran karena mobil pemadam tidak bisa masuk karena terhalang oleh penonton. Salah satu  pantangan lahar di Gunung Merapi adalah ditunjuk, ini sebuah mitos budaya, namun perkembangan bangsa dengan berbagai hal tentu menjadi  hal yang remeh, "Napa juga lahar ditunjuk gak boleh...."