Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Setelah Pilpres, Akan Kita Bawa ke Mana Indonesia Ini?

12 April 2019   16:09 Diperbarui: 12 April 2019   16:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebuah kemesraan dalam pertemanan yang lama dibangun bisa rontok seketika hanya gara-gara beda pilihan di pilpres maupun pileg. Itu menyedihkan sebenarnya. Apalagi perbedaan itu bisa sampai masuk dalam sebuah keluarga dan membuat orang-orang yang sebelumnya berkerabat menjadi tidak lagi saling tegur. Itu lebih menyedihkan lagi." Itu ada sepenggal status Facebook yang saya bagikan tertanggal hari ini juga. Bukan tanpa alasan tentu saja. Saya melihat banyak kenyataan yang menyesakkan dada menjelang pilpres ini di masyarakat kita.

Beberapa hari menjelang pilpres. Banyak berita muncul ke permukaan. Tak kalah ketinggalan berbagai isu menyeruak ke permukaan. Ini cerita di Indonesia saja. Mengenai pesta demokrasi lima tahunan yang dari masa ke masa menjadi kian meninggi hasrat para pesertanya. Sudah dua edisi pemilu pilpres sejak 2014 tokoh yang beradu hanya Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Lain sisa hanyalah pengusung yang kadang-kadang pecah. Lainnya lagi hanyalah tokoh-tokoh penyokong yang berharap kelak dapat kursi menteri sebagai hadiah dari upaya berdarah-darah di lapangan selama masa menabur bunga-bunga politik di panggung kampanye.
             
Baik Jokowi maupun Prabowo terlihat sama-sama berhasrat untuk duduk pada tampuk kekuasaan. Ya meski pandangan itu sebenarnya agak samar-samar juga. Tapi kita sudah melihat kondisi perang kekuatan keduanya di lapangan yang tentu saja memunculkan banyak sekali anak-anak opini. Satu di antaranya bahwa Jokowi dan Prabowo benar-benar ingin jadi presiden, meski belum tentu juga keinginan itu diikuti oleh keinginan untuk benar-benar membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.

Tapi sebagai anak Indonesia baik-baik yang lahir dari rahim ibu pertiwi, kita mestinya menghargai perjuangan berbulan-bulan keduanya. Kita mesti mengapresiasi suara besar keduanya di panggung-panggung kampanye kala menyampaikan gambaran perihal konsep kepemimpinan masing-masing.
       
Di desa-desa, suara dukungan terhadap masing-masing paslon hidup di antara diskusi-diskusi di bawah pohon dan beranda rumah. Belum lagi perdebatan dua pendukung yang tak bisa dielakkan meski itu di atas hamparan lahan bertani dan disaksikan kerbau-kerbau. Di kota-kota, baliho dipasang mengisi ruang-ruang strategis yang dirasa mudah terlihat. Tak ketinggalan ribuan pamflet dibagi-bagi. Tujuan masih sama, mencari massa, mencari suara. Sebagaimana di desa-desa tadi, di kota, perdebatan dua pendukung bisa terjadi di dalam bus, rumah makan, kafe, malah di masjid.
         
Perdebatan-perdebatan model dua pendukung ini terjadi hanya karena hal-hal kecil dan tak melahirkan apa-apa. Debat seringkali berubah menjadi perselisihan dan berjalan pincang dengan data aneh-aneh dan saling fitnah pilihan masing-masing. Dan seperti biasanya, ujung dari debat ini adalah munculnya rasa tidak suka kepada lawan debat. Kemudian setelah itu lahirlah inisiatif untuk tidak lagi mau menegur orang yang beda pilihan itu, padahal dua pihak adalah kerabat dekat.
             
Itu di kondisi kenyataannya. Di dunia maya lain lagi. Netizen yang terkenal lebih kejam dari ibu tiri bahkan menjadi lebih kejam lagi semenjak musim menjelang pilpres ini.

Penyebabnya ya itu tadi: perbedaan pilihan. Kalau kondisi di dunia nyata dua orang berbeda pilihan yang pernah terlibat debat lepas biasanya memilih tak saling menegur, maka di dunia maya lebih parah lagi. Ada satu di antara dua pihak yang memilih untuk tidak mau lagi saling melihat dengan jalan melakukan blokir dini.
         
Sejujurnya sampai hari ini demokrasi yang harusnya menjadi pesta justru telah bersalin makna menjadi sebaliknya. Pemilu seperti genderang yang ditabuh dan didengar orang banyak sebagai alarm untuk menyerang pihak yang lainnya dengan berbagai bahan. Pemilu sudah memecah masyarakat kita. Cebong dan Kampret menjadi dua nama paling ternama. Tak ketinggalan kaum akal sehat dan golongan dungu menjadi pelengkap. Entah siapa yang dungu dan siapa yang sehat akalnya.
       
Rakyat di negeri ini kini seperti bertopeng semua. Tidak lagi menjadi diri sendiri semenjak hari-hari mereka disibukkan dengan urusan dukung mendukung idola masing-masing. Rakyat kini tidak lagi apa adanya. Yang ada hanyalah ada pilihannya. Dan gara-gara pilih memilih inilah rakyat menjadi sangar perangainya.
                   
Konon, dalam samarnya bisik-bisik yang sumir di masyarakat sana, negara ini akan kacau jika salah satu dari pihak yang bartarung kalah. Kacau dalam arti ketidakstabilan di masyarakat. Begitu menurut banyak orang. Entah dari mana mereka meraup isu dan berita itu. Jangan-jangan pikiran itu memang muncul dari diri sendiri karena dipicu perasaan khawatir melihat kondisi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun