Mohon tunggu...
Mansyur Djamal
Mansyur Djamal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sri Hartini dan Uang Syukuran Yanga Berujung Petaka

19 Januari 2017   10:30 Diperbarui: 19 Januari 2017   10:35 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berselang sehari di penghujung tahun 2016 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus juali beli jabatan yang melibatkan Bupati Klaten Sri Hartini. Bertempat di kediaman Bupati (Jumat, 30/12. Pkl. 10.00. WIB) penyidik KPK mengamankan uang syukuran senilai Rp. 2 miliar dalam dua kardus. Penangkapan Bupati Klaten menambah daftar panjang Kepala Daerah di Indonesia yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penetapan tersangka Bupati Sri Hartini, memberikan signal proses pelantikan, mutasi dan pengisian jabatan susunan organisasi dan tata kerja Pemkab Klaten tidak berjalan mulus. Terjadi proses transaksi jual beli jabatan yang melibatkan oknum aparatur birokrasi dan Kepala Daerah. Jika mencermati kasus tersebut, praktik pengelolaan kepegawaian tidak jauh berbeda dengan aktifitas di pasar tradisional. Hukum pasar berlaku, ada uang ada jabatan, anda bayar dapat jabatan.        

Pada beberapa daerah, proses pengisian jabatan melalui mekanisme assesment dan lelang jabatan terlihat cukup baik, tetapi terkesan sangat tertutup dan tidak akuntabel. Pada teknis penyelenggara terdapat kelemahan, Sekretaris Daerah dan Kepala BKD merangkap sebagai ketua dan sekretaris tim seleksi. Kedua jabatan ini, identik dengan “mereka” yang memiliki hubungan khusus dengan Kepala Daerah. Sudah tentu seleksi sebatas formalitas dan sarat kepentingan politik.   

Selama kewenangan “menentukan” dan “memutuskan” pimpinan SKPD masih berada di tangan Kepala Daerah selaku pembina aparatur, maka Kepala Daerah akan memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan transaksi jual beli jabatan. Sebaliknya para aparatur birokrasi yang rakus jabatan senantiasa menghalalkan segala cara mendekati Kepala Daerah demi mencapai tujuannya.

Kasus Sri Hartini bukanlah yang pertama, menurut ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KSAN) Sofian Efendi, bahwa tercatat puluhan dugaan kasus jual beli jabatan di Institusi pemerintahan yang telah dilaporkan ke Mendagri. Sementara ini baru kasus Klaten, Jayapura, dan Jambi yang ditindaklanjuti KPK. (baca; Tajuk KR 4/1 & Jawa Post 2/1). Dengan demikian, praktek jual beli jabatan telah berlangsung lama di negeri ini,  kemungkinan hal yang sama terjadi pada daerah lain tetapi belum tersentuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Problem Mentalitas

Proses jual beli jabatan terkait dengan mentalitas aparatur dan Kepala Daerah. Praktik suap tidak terlepas dari proses pembiayaan selama pilkada berlangsung, politik uang memicu Kepala Daerah berfikir mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan. Salah satu cara instan yakni praktek jual beli jabatan. Dengan waktu yang singkat Sri Hartini mengantongi uang sebesar Rp. 2 milyar. Jika pelantikan berlangsung tiga kali dalam satu periode sudah tentu Bupati kebanjiran uang.

Kepala Daerah bermental instan, pragmatis, dan tidak menghargai proses berdampak langsung terhadap pengelolaan kepegawaian. Sebaliknya, mentalitas yang rapuh membuat sebagian oknum PNS menghalalkan segala cara mendapatkan jabatan. Kepala Daerah menggerakan kaki tangannya melakukan penawaran jabatan terhadap PNS yang membutuhkan dengan cara penuhi persyaratan informal.           

Lemahnya kinerja Baperjakat berdampak pada rendahnya kualitas birokrasi. Tidak adanya transparansi terkait dengan hasil penilaian sistem karir, kinerja atau prestasi kerja PNS, pelaksanaan proses seleksi lelang jabatan dan assessmentbersifat tertutup dan tidak dapat diakses publik. Jangan heran jika stigma buruk diemban Baperjakat “tugas tambahan mereka menyeleksi PNS yang memihak calon terpilih dan memiliki hubungan emosional dengan Kepala Daerah”.

Keberlangsungan proses ini akan menghasilkan aparatur birokrasi yang senang melayani kebutuhan dan kepentingan politik penguasa. Sri Hartini, termasuk Kepala Daerah penganut pendekatan politik dalam manajemen sumberdaya manusia PNS. Penempatan pejabat organisasi perangkat daerah berlandaskan aspek transaksional (Jual beli jabatan),kolusi dan nepotisme. Pengelolaan kepegawaian masih mengedepankan perspektif personal management. Pengalaman lima tahun sebagai wakil bupati, seharusnya Sri Hartini sukses dengan konsep reformasi kepegawaian. Jika meminjam bahasa anak gaul, Sri Hartini mengalami sindrom “gagal faham”.

Good Governance dan uji publik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun