Mohon tunggu...
Onggo Indonesiana
Onggo Indonesiana Mohon Tunggu... -

Nama saya Onggo (saja) sebenernya. Nggak pake Indonesiana. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Burung, dari Matinya Saya Belajar Tentang Riau

23 September 2015   15:02 Diperbarui: 23 September 2015   15:11 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Darimu saya belajar"][/caption]Pagi ini, advokat kondang, lokomotif demokrasi sekaligus pejuang HAM, Adnan Bahrum 'Buyung' Nasution, wafat di usia 81 tahun.

Menjejakkan kaki di dunia politik sejak usia belasan tahun. Mengecap pendidikan di banyak disiplin ilmu lain selain Hukum. Dari ribuan jam kiprahnya yang saya saksikan dan baca di media, ada secuil waktu--tak lebih dari 45 menit--dimana saya sempat bertemu dan ngobrol dengannya. Lebih tepat disebut menyimak ketimbang ngobrol. Karena saya lebih banyak bertanya dan menikmati alur pikirnya ketimbang berpendapat.

Dalam obrolan di sela persiapan rekaman sebuah talkshow sebuah televisi nasional, itu bang Buyung lebih banyak berkisah soal kegemarannya memelihara burung sejak muda. filosofi-filosifi burung dan alam pun mengalir darinya. Mengesankan. Seorang advokat yang 'galak' di ruang sidang. Namun memiliki kehalusan perasaan di sisi yang lain.

Wafatnya bang Buyung kembali mengingatkan saya sebuah pengalaman. Tentang seekor burung yang 'terpilih' mati di tangan saya. Seperti bang Buyung yang mengajarkan banyak hal. Burung ini pun--dalam sebuah perspektif--demikian. Setidaknya untuk saya.

Selamat jalan, Bang Buyung.

=======================================================

Di siang yang panas itu, sendirian sambil bengong-bengong bego di teras, seekor burung kecil tiba-tiba terbang mendekat dan brukkk...... Ia menghantam dinding yang persis ada di belakang saya. Jatuh di lantai lalu menggelepar. Dengan hati-hati saya raih dan belai tubuhnya. Gerakannya makin melemah dan...mati.

Kejadian ini sesungguhnya biasa saja, walau burung menabrak dinding adalah hal yang langka bagi saya. Namun kemudian saya berpikir."Ada banyak burung lain dan atau tempat dan cara lain untuk mati. Kenapa burung ini memilih mati di dekat saya, ya? Bahkan di tangan saya".

Tidak juga bermaksud puitis, melo atau mengada-ada. Bagi Anda yang yakin bahwa segala sesuatu diperjalankan Tuhan--termasuk cara burung ini mati--setidaknya saya merasa dipilih Tuhan untuk melihat salah satu mahlukNya tersudahi hidupnya.

Apa pun musimnya, burung selalu mendapatkan cara untuk bertahan hidup. Itu sebabnya ia tak menyimpan makanannya untuk besok. Memulai paginya selalu dengan riang. Keluar dari sarangnya dengan optimis. Bahwa alam akan menyediakan makanan yang cukup baginya, hari itu.

Pada burung yang hidup di alam, Anda tak akan pernah menemukan burung dengan fisik yang tambun dan gendut. Selalu slim, aerordinamis dan proporsional. Burung tak pernah menyimpan makanan berlebih kecuali untuk dirinya hari itu. Karena ia selalu yakin akan ada rizki baginya dan bagi masing-masing dari ribuan burung yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun