Mohon tunggu...
Nasa Safira M.
Nasa Safira M. Mohon Tunggu... Seniman - Manusia

Mahasiswa Fakultas Pertanian yang belajar Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Open Minded Tampak Sebagai Pengusir Kebudayaan?

17 April 2024   12:30 Diperbarui: 17 April 2024   12:30 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semenjak adanya frasa open minded, kenyataan-kenyataan yang sebelumnya kita pandang tabu mulai memiliki akses masuk yang mudah dalam masyarakat. Sebelum saya menulis lebih panjang mengenai semua yang saya renungkan, saya tidak bermaksud sama sekali untuk menyinggung pihak manapun.

Di zaman ini masyarakat urban mulai menjadi aspek masyarakat paling leluasa dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai karakter lokalitas. Bagaimana tidak? anak zaman sekarang termasuk saya seringkali meremehkan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti halnya cerita-cerita rakyat dan mitos-mitos yang telah diceritakan kepada saya sewaktu kecil. Saya keturunan Jawa dan tinggal di Jawa, lingkungan saya masih memegang teguh yang namanya kebudayaan lokal Jawa termasuk mitos-mitos maupun larangan-larangan yang bisa dibilang tidak masuk akal.

Sewaktu saya kecil dan menginjak remaja saya masih nurut-nurut saja dengan hal-hal seperti itu, namun ketika saya sudah menginjak dewasa mitos-mitos maupun larangan tersebut rasanya terkesan terlalu mengikat dan mengada-ada. Kemudian saya mulai sering mempertanyakan hal-hal tersebut kepada orang tua saya. Pada awalnya mereka tidak punya jawaban, mereka hanya mengatakan : “nurut wae opo jare wong tuwek”. Loh padahal kan sesuatu yang mengikat kita yang seakan memberikan aturan tidak tertulis kepada masyarakat harusnya ada alasan dan tujuan yang masuk akal untuk dapat diterima oleh masyarakat. Lalu timbul lagi pertanyaan baru dibenak saya “Bagaimana bisa masyarakat beserta keturuanannya diberikan cerita yang tidak masuk akal dan mereka juga menunjukkan wajah seakan-akan mereka percaya dan hal-hal tersebut benar terjadi adanya.

Kebebasan 

Kembali ke pertanyaan saya kepada orang tua saya. Setelah kesekian kalinya saya terus mengeluh dengan larangan terhadap hal-hal yang menurut saya normal dan tidak mengganggu masyarakat, kali ini jawabannya justru membuat saya semakin tertarik dan mempertanyakan banyak hal. Jawabannya cenderung klise, “ nanti kalau kamu sudah dewasa pasti kamu akan tahu sendiri.” Dari sana saya mulai ragu dan penasaran mengenai aturan-aturan yang tidak tertulis tersebut. Lalu saya bertemu orang-orang, orang Jawa maupun orang urban. Ketika saya berada di masyarakat yang kebanyakan orang urban, sontak saya iri dan kembali bertanya bahwa apa yang mereka lakukan itu normal namun kenapa ketika hal tersebut terjadi di lingkungan saya kesannya tabu dan tidak pantas.

Saya tinjau lagi, bahwa nyatanya orang-orang yang kelihatannya “bebas” baik dalam berpakaian, berperilaku maupun berbicara adalah orang-orang yang tidak memiliki daya lokalitas yang kental. Lingkungan hidup di kota, memiliki darah campuran yang bisa jadi kalau ditanya ia berasal dari lokalan mana, jawabannya bisa jadi hampir semua suku di Indonesia mengalir dalam darahnya. Apalagi zaman sekarang adalah zaman modern. Saya dilahirkan berbarengan dengan mulai punahnya budaya atau lokalitas jawa di dalam masnyarakat Jawa. Yang mana orang-orang muda modern lebih leluasa pada masyarakat daripada orang-orang sepuh yang tulen. Itulah salah satu sebab tergerusnya lokalitas yang sebelumnya tertanam dalam masyarakat, cerita-cerita rakyat yang tidak masuk akal mulai dihiraukan oleh generasi-generasi muda termasuk saya.       

Kebudayaan dan khayalan 

Kalau kita lihat secara garis budaya, cerita-cerita rakyat tersebut bisa jadi adalah warisan paling kuat dalam mempertahankan lokalitas di dalam masyarakat Jawa terutama kaum muda-mudinya. Ataupun bisa jadi warisan satu-satunya dari leluhur kita, makanya setiap dari kita yang berasal dari suku yang sama pasti pernah mendengar cerita atau rumor-rumor aneh tersebut. Cerita dan rumor yang kalau dibicarakan malah mengundang tawa karena ketidakmasuakalannya.

Hal tersebut menyadarkan saya tentang apa artinya pendidikan. Tentu saja orang tua saya mengirim saya menempuh pendidikan yang tinggi bukanlah untuk membantah cerita dan rumor “khayalan” tersebut. Kita hanya perlu membuka wawasan dan pandangan kita mengenai lokalitas, budaya dan perilaku terhadap masyarakat. Dalam hal ini kita sering kali menertawakannya, namun disisi lain masyarakat desa dapat hidup bermasyarakat dengan tentram dan tidak mengganggu lingkungannya melalui larangan dalam cerita atau rumor yang telah disebarkan.

Open minded 

Dalam konteks ini, saya melihat perbedaan perilaku. Orang-orang tulen seringkali nurut dengan hal-hal yang mendasari alam “kampung” mereka, namun orang-orang modern sepeti saya justru malah tidak terima dengan hal tersebut. Maka dari itu, open minded yang sekarang sedang ngetren membuat saya lebih terima dengan pemakluman-pemakluman cara bicara dan berperilaku dalam masyarakat yang bisa dibilang urban. Modernitas pastinya ikut serta dalam perubahan tersebut. Tantangan pertahanan budaya yang kendor ditambah dengan masuknya budaya luar yang seringkali lebih berkuasa dibanding kampung halaman sendiri menjadi pemicu kemuduran peran kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah budaya lokal terlihat kuno, langka bahkan antik untuk dinikmati. Padahal itulah budaya kita sesungguhnya, cerita-cerita tidak masuk akal dan rumor-rumor aneh itu yang membawa kita pada tata krama yang tidak tertulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun