Seperti di perkampungan-perkampungan pada umumnya, Â di setiap teras rumah-rumah seperti biasa selalu terlihat para ibu-ibu menghabiskan waktu senggangnya untuk mengobrol. Kadang-kadang terdengar suara tawa canda, sejenak mereka bisa melupakan segala beban hidup yang selalu menyertai keseharian hidup mereka.Â
Namun di kampung tempat saya tinggal ada yang berbeda. Percakapan mereka terlihat diselingi dengan gerakan terampil tangan-tangan mereka menjahit menempelkan sesuatu pada kain baju.Â
Mereka menjahit payet pada baju kebaya, Â payet-payet itulah yang menjadi hiasan pada baju kebaya, warna-warnamya yang bermacam-macam dan terlihat mengkilap membuat kebaya tersebu terlihat indah dan mewah. Terlihat buricak-burinong, begitu orang Sunda bilang.
Mereka pun sering mengerjakan jahitan payet kebaya mereka dengan berkumpul bersama, sambil melepas kejenuhan, mengobrol, Â dan bercanda tawa, Â ketimbang harus mengerjakannya di rumah sendirian.Â
Kampung tempat saya tinggal ini bemama kampung Bantargedang, desa Mekarsari, kecamatan Ngamprah, Â kabupaten Bandung Barat. Â Di kampung saya inilah sebagian besar warganya menjadi pengrajin baju kebaya payet.Â
Sebenarnya di samping kampung tempat saya tinggal, Â ada beberapa kampung lain lagi yang lokasinya masih berdekatan dengan kampung saya yang juga menjadi sentra pengrajin baju kebaya payet, di antaranya adalah kampung Ciburial, kampung Babakan Garut, Â dan beberapa kampung lain.Â
Pembuatan baju kebaya yang dihiasi payet di kampung saya dan beberapa kampung yang lain sudah menjadi  salah satu kegiatan ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian sebahagian warga. Mungkin hampir 50% warga di kampung-kampung ini menggantungkan hidupnya pada industri ini. Dari mulai yang berskala kecil dengan omzet hanya ratusan ribu, sedang dengan omzet jutaan, hingga besar dengan omzet ratusan juta rupiah.Â
Sebagaimama layaknya pembuatan baju pada umumnya, pembuatan baju kebaya bukanlah monopoli satu daerah, Â kita bisa menemukan kegiatan ini di daerah-daerah lain. Tapi khusus di kampung saya ini kegiatannya begitu masif. Tak heran orang-orang menyebut kampung-kampung ini sebagai kampung payet.
Keberadaan sentra kerajinan kebaya payet di kampung saya ini kira-kira serupa dengan sentra kerajinan keramik di Plered Purwakarta, atau sentra pembuatan dodol di Garut Jawa Barat.Â
Ditambah lagi ada beberapa warga yang sengaja membuka outlet-outlet di situ yang khusus menjual baju-baju kebaya buatan mereka. Ada juga warga yang khusus menjual bahan-bahan untuk kebaya itu sendiri, dari mulai kain hingga payet. Mereka pun mampu menjual bahan-bahan tersebut dengan harga lebih murah daripada di toko-toko bahan semisal di Pasar Baru di kota Bandung. Sehingga hal ini menguntungkani para pengrajin, karena di samping harganya yang murah, Â jaraknya yang sangat dekat karena masih di kawasan kampung bisa menekan ongkos dan waktu.Â
Hal-hal di atas semakin memperkental penyebutan kampung saya ini sebagai kampung payet.Â
Keberadaan industri payet ini mampu menciptakan lapangan kerja bagi para warga di kampung-kampung ini. Dari mulai penjahit hingga ibu-ibu rumah tangga yang dipekerjakan untuk menempelkan payet. Bagi ibu-ibu rumah tangga, kegiatan menjahit payet ini sedikitnya bisa membantu ekononi keluarga. Pekerjaannya yang bisa dijerjakan di rumah masing-masing membuat mereka bisa bekerja sambil mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.
Proses pengerjaan baju kebaya payet ini sampai selesai memang memakan waktu cukup lama. Satu pcs baju saja pengerjaannya bisa sampai satu minggu atau lebih. Proses yang paling lama terletak pada pemasangan payet-payet. Itu dikarenakan pengerjaannya tidak bisa memakai mesin seperti dalam proses menjahit.Â
Tak heran jika satu pcs baju kebaya ( rok dan baju atasan) Â bisa berharga sampai 2 jutaan atau lebih. Â Itu pun baju yang hanya berkualitas sedang ( bukan butique). Karena memang rata-rata baju yang diproduksi di kampung-kampung ini adalah baju kebaya yang berkualitas sedang.Â
Jangkauan pemasaran kebaya payet ini bermacam-macam. Â Ada yang disuplaikan ke pusat-pusat perbelanjaan, semisal Pasar Baru Bandung, atau pasar Tanah Abang Jakarta, dan ada juga yang ke daerah Jawa Tengah, Â Jawa Timur, Â atau bahkan ke luar Jawa.
Banyak di antara mereka yang selalu berangkat memasarkan barang-barang mereka dengan menumpangii kendaraan secara bersama-sama. Mungkin hal ini untuk mengirit ongkos perjalanan.Â
Namun seiring menjamurnya sistem ekonomi digital,  saat ini sudah banyak para pengrajin kebaya payet yang memasarkan barang mereka dengan cara online. Kerap kali mereka memposting photo-photo kebaya mereka baik itu di media-media sosial mau pun  di toko-roko online.
Sistem pemasaran online sangat membantu mereka-mereka yang modalnya terbatas. Jika dengan sistem pemasaran konvensional dibutuhkan modal besar karena harus memproduksi dengan jumlah banyak, dalam sistem online, cukup dengan membuat beberapa baju saja sebagai sample yang photo-photonya bisa dipajang di berbagai media sosial atau toko-toko online.
Bahkan ada juga yang hanya bermodal quota data saja, Â karena mereka mengerjakan pembuatan produknya berdasarkan pesanan, Â biasanya pemesan selalu mentransfer uang DP dulu, Â yang itu bisa digunakan untuk modal bahan dan pengerjaan. Kemudian setelah bajunya selesai dan siap dikirim, Â si pemesan akan mentransfer sisa uang sesuai dengan harga yang ditentukan, Â setelah itu baru kemudian barangnya dikirim. Praktis cara penjualan seperti itu bekerja dengan modal yang sangat minimal bahkan bisa dikatakan nol.Â
Proses pengiriman barang dalam sistem online tidak bisa dilepaskan dari adanya jasa kurir pengiriman.  Salah satunya adalah JNE. Keberadaan JNE sangat membantu para pengrajin  kebaya payet terutama yang memakai cara online dalam proses pengiriman barang ke berbagai daerah. Tidak hanya di seputaran kota-kota di sekitar,  tapi juga sampai ke pelosok-pelosok di seluruh wilayah Indonesia. JNE telah membuat kebaya-kebaya payet buatan pengrajin di kampung saya, kampung Bantargedang,  Ciburial dan lainnya menyebar ke seantero Nusantara.
Ke depan diharapkan industri kerajinan kebaya payet ini semakin berkembang dan mampu menjadi sumber penghidupan yang layak bagi banyak warga di kampung-kampung ini. Terutama bagi warga-warga yang tingkat ekonominya masih lemah, sehingga tidak hanya dinikmati oleh para pelaku usaha yang bermodal besar saja. Mungkin perlu ada peran dari pemerintah terutama bupati atau yang lebih dekat lagi adalah kepala desanya.Â
Berbagai peran bisa dilakukan pemerintah, dari mulai pembinaan, Â pembentukan dan penguatan lembaga yang bisa memfasilitasi pengembangan usaha, Â hingga dalam hal akses permodalan. Apalagi mengingat tidak semua warga memiliki akses yang mudah untuk mendapatlan dana pinjamam ke bank. Jikapun ada lembaga keuangan yang mudah diakses, Â sering dengan bunga tinggi yang memberatkan.Â
Di atas semua itu kita patut mengapresiasi pada para pengrajin kebaya payet di kampung saya ini yang selama ini telah mengembangkan usaha mereka dari nol hingga mampu memiliki omzet yang besar. Mereka adalah para pelaku UMKM yang tangguh dan bermental sukses. Â Mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi warga lainnya termasuk para ibu rumah tangga sehingga keadaan ekonomi mereka bisa terbantu. Dan yang lebih hebat lagi mereka yang saat ini sukse itu, Â yang merintis usaha dari nol itu, Â sebagian besar adalah juga para ibu rumah tangga yang tangguh dan mandiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H