[caption id="attachment_332270" align="aligncenter" width="196" caption="Sukarno dan pecinya (Foto: wikipedia)"][/caption]
Awal tahun 2014 lalu, Bupati Aceh Tengah Ir Nasaruddin MM menginstruksikan agar semua karyawan di jajaran Pemkab Aceh Tengah harus menggunakan peci pada setiap hari kerja. Langkah yang ditempuh oleh Bupati Aceh Tengah itu menuai pro dan kontra, baik di media jejaring sosial maupun di kalangan karyawan sendiri.
Munculnya pro kontra itu, karena asumsi seolah-olah peci hanya digunakan sebagai penutup kepala pria diwaktu shalat, bukan dikenakan di tempat kerja. Kemudian diskusi makin meluas, sampai kepada asal muasal peci dan sejak kapan digunakan pria di Indonesia. Dalam diskusi di media jejaring sosial itu, muncul pula satu kesimpulan bahwa setiap pria yang memakai peci itu adalah muslim. Makanya, pria muslim yang akan melaksanakan ibadah shalat, umumnya menggunakan peci.
Saya malah kurang sependapat dengan kesimpulan teman-teman di media jejaring sosial waktu itu. Pasalnya, beberapa tahun lalu dalam sebuah perjalanan dari Medan ke Bukit Tinggi (Sumbar) via Tarutung (Tapanuli Utara), saya pernah melihat beberapa pria berpeci di Tarutung masuk gereja untuk melaksanakan kebaktian. Seandainya peci itu kelengkapan ibadah umat muslim, lalu kenapa umat Kristen di Tarutung itu juga menggunakan peci?
Memang, di Tapanuli maupun Tanah Karo sering ditemukan pria-pria berpeci meskipun mereka bukan seorang muslim. Sepertinya, peci sudah menjadi kelengkapan pakaian sehari-hari masyarakat di kawasan tersebut. Hal paling menarik, peci bagi mereka ternyata adalah simbol nasionalisme sebagaimana diungkapkan Bung Karno dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.”
Sejak kapankah pria-pria di nusantara menggunakan peci atau kopiah?
Denys Lombard (1967) dalam buku “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandarmuda” halaman 83 menulis: Pada tahun 1688, Dampier memberi lukisan yang agak berbeda; “Yang paling terkemuka dari mereka memakai kupiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai merah atau warna lain dan yang bentuknya seperti topi tanpa tepi...” Dalam catatan kaki buku itu, Lombard mempertegas bahwa topi itu adalah kopiah yang lazim dipakai orang muslim di kepala.
Dalam Wikipedia tertulis, songkok yang disebut juga sebagai peci atau kopiah merupakan sejenis topi tradisional bagi orang Melayu. Di Indonesia, songkok yang juga dikenal dengan nama peci ini kemudian menjadi bagian dari pakaian nasional, dan dipakai tidak hanya oleh orang Islam. Penutup kepala ini merupakan variasi dari Fes atau Tharbusy yang berasal dari Maroko.
Sampai disini, kisah tentang peci, songkok atau kopiah masih tergolong biasa. Namun, ketika Bung Karno mulai mempopulerkan peci pada tahun 1921, itu yang membuat kita merinding. Membaca kisah peci versi Bung Karno yang tampil dalam rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921, membuat darah kita menggelegak.
Semangat nasionalisme dari sebuah peci dikisahkan Bung Karno kepada Cindy Adam yang kemudian dituangkannya dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.” Bagaimana kisahnya? Situs inilahduniakita.net mengutip tulisan Cindy Adams tentang bangkitnya semangat nasionalisme dari sebuah peci. Inilah kisahnya:
Sosok pemuda itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri.