Mohon tunggu...
Muhammad Bar
Muhammad Bar Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Tulisan di sini semuanya fiktif belaka. Kalau ada yang benar mungkin kebetulan atau mungkin kebenaran yang kebetulan difiktifkan. Budayakan beri nilai dan komentar Mari bersama-sama kita belajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kemampuan Menggambarku Berkurang Dimakan Umur

21 Agustus 2017   10:19 Diperbarui: 23 Agustus 2017   09:24 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menggambar asal-asalan pertarungan, tanpa teknik

Setiap orang pasti pernah mendalami kesenian. Baik disadari maupun tidak. Misalnya waktu masih kanak-kanak, kita berkumpul bernyanyi bersama, main pasar-pasaran. Mencoret-coret tembok dengan pensil warna. Ketika itu, orang tua tidak masalah karena tahu kita masih kanak-kanak jadi wajar. Kewajaran diukur oleh umur.

Aku sendiri punya pengalaman tak terlupakan soal seni. Aku rindu masa kecilku yang kental dengan seni rupa. Dulu sepulang sekolah taman kanak-kanak, aku langsung menyari alat tulis, entah itu bolpoin, pensil, atau spidol dan kertas. Kertasnya juga apa saja, yang tidak terpakai pokoknya, kadang yang sudah ada ketikan print, tulisan tangannya pun kupakai. Aku gunakan ruang-ruang yang tersisa, aku bisa membaliknya. Lantas bermain sendiri, sibuk sendiri dengan alat tulis dan kertasku. Yang kulakukan adalah bermain seni rupa dan drama (sastra dan musik). Yang mana baru aku sadari sekarang ini.

Aku mengarang cerita sendiri, idenya dari tontonan yang ada TV. Aku menggambar. Aku membuat efek suara beberapa tokoh, efek pertarung seperti suara tembakan, baku hantam, pedang-pedangan dan sebagainya. Semua itu kulakukan sendiri. Memang terdengar dan terlihat gila jika menemukanku dalam keadaan tengkurap bergumul dengan pulpen dan kertas. Aku berteriak-teriak. Tanganku lebih dari sekadar menggambar. Tanganku juga menghantam-hantam langit, menyapu angin, menjadi pistol. Kakiku bergerak leluasa, sampai kakakku yang lewat pernah kesampar kakiku tanpa sengaja. Keluargaku jadi tahu, dan memberi wadah khusus, jangan mendekatiku ketika lagi asyik. Ketika itu semuanya tampak wajar. Kewajaran diukur oleh umur.

Namun semakin berjalannya waktu tantangan mulai datang. Kewajaran semakin lenyap dimakan waktu. Aku ingat sekali hari di mana kuantitasku bermain menurun. Adalah kelas enam SD menjelang kelulusan. Aku lebih serius belajar, karena saat itu penentu agar bisa masuk SMP favorit hanya nilai ujian. Sedikit pun aku tak merasa keberatan jika tidak bermain dengan pulpen dan kertas kala itu. Karena aku ingin masuk SMP favorit dan membahagikan orang tua dengan itu. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang memuaskan dan dapat SMP bagus.

Ketika kelas satu SMP, aku kembali memulai hobiku. Terlihat konyol memang untuk seusia anak SMP tapi aku santai saja. Awalnya tak bermasalah hingga ketika kalimat sindiran terlontar terus dari saudaraku sendiri.

"Mau gelut-gelutan sendiri lagi, ya?"

"Biasa, waktunya bertarung."

Semua itu diucapkan kakakku dengan tertawa kecil, atau kadang tertawa keras. Atau malah terkadang,

"Hiyat...dzig...dzig...," ucap kakakku sambil menirukan gaya orang bertarung. Jelas sekali maksudnya menyindir.

Bertambahnya umur berbanding lurus dengan bertambahnya rasa malu. Atau mungkin aku terlalu dalam menaruh perkataan orang ke dalam hati. Segalanya lebih berperasaan. Akhirnya aku berpikir kalau memang sekarang bukan masanya lagi. Masa bermain dengan pulpen dan kertas sudah habis. Ada hal lain yang lebih menyenangkan, sekaligus tidak terlihat memalukan. Tatkala berhenti, aku jadi anak labil yang mengikuti trend anak-anak seumuranku. Bermain internet, game online, menonton film, dan sebagainya. Yang sekarang baru aku sadari kalau aku hanya menjadi penikmat seni.

Dulu biasanya ideku kutuangkan dalam kertas panggung sandiwara, sekarang hanya dalam angan-angan pikiran dan tidak permanen. Tidak ada tindakan untuk mengabadikan ide. Aku lebih sering melamun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun