Mohon tunggu...
Muhammad Yunus
Muhammad Yunus Mohon Tunggu... profesional -

Saya Mencintai Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Dasar Gratis, Wajib Hukumnya!

16 April 2013   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:07 2288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan bermutu itu mahal”, demikian saya dengar kalimat yang terlontar dari seorang kepala sekolah SMPN rintisan internasional (RSBI) dalam suatu pertemuan. Menurutnya, pembiayaan terhadap RSBI/SBI tentulah berbeda dengan sekolah regular pada umumnya, hal ini dikarenakan banyaknya pembiyaan yang mesti dikeluarkan sekolah untuk mendukung fasilitas bagi proses pembelajaran, semisal: pengadaan air conditioner ruang kelas, LCD Projector, serta berbagai media pembelajaran dan alat peraga penunjang proses pembelajaran. karena anggaran pemerintah tidak mencukupi, maka kekurangannya diambil dari sumbangan orang tua siswa”, lanjutnya. Namun pertanyaanya, benarkah pendidikan bermutu itu mahal? Apakah untuk mendapatkan pendidikan bermutu mesti juga didukung oleh fasilitas ”kelas satu”?, lalu apa ukuran sebuah sekolah dapat berpredikat sebagai sekolah bermutu?, benarkah anggaran pemerintah tidak mampu untuk menunjang adanya sebuah pendidikan bermutu?.

Berbagai pertanyaan di atas masih sangat relevan mengingat masih maraknya pungutan di sekolah tingkat dasar, terutama pada level SMP; baik yang reguler maupun yang bertaraf internasional (yang pada akhirnya dibubarkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi). Pada level SMP Negeri yang ada di Kota Bandarlampung, adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ternyata tidak berbanding lurus dengan berkurangnya pungutan di sekolah, bahkan yang menjadi ironi adalah: meningkatnya besaran dana BOS di sekolah justru berbanding lurus dengan meningkatnya pungutan sekolah terhadap orang tua siswa. Ironi ini bertambah parah karena pengelolaan dana oleh sekolah cenderung dikelola secara tidak transparan dan akuntabel serta jauh dari efisiensi.

Bagaimana sekolah menentukan pembiayaan pendidikan

Berdasar hasil riset yang dilakukan oleh Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung terhadap beberapa sekolah yang ada di Kota Bandarlampung, ditemukan informasi bahwa sebagian besar sekolah menetapkan pembiayaan pendidikan tanpa adanya sebuah rencana yang matang. Pembiyaan lebih banyak bersifat insidentil, sehingga kurang dapat diukur dampak keberhasilannya. Sebagian besar sekolah tingkat dasar di Kota Bandarlampung tidak memiliki Rencana Jangka Menengah (RJM), seandaipun ada; proses pembuatannya tidak melibatkan stakeholder sekolah dan pada tataran implementasi tidak menjadi acuan sekolah dalam menentukan pembiayaan proses pembelajaran. Padahal, tanpa adanya rencana yang tersusun secara sistematis maka pembiayaannya pun akan bersifat serampangan dan tanpa tujuan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan konsep biaya pendidikan yang pada hakikatnya adalah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Adannya Rencana yang matang dalam menentukan besaran pembiayaan memiliki korelasi yang signifikan terhadap setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah, karena setiap keputusan yang diambil akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana pembiayaan, perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, serta siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan juga menjadi salah satu rujukan utama bagi sekolah dalam menyusun pembiayaan pendidikan. Selanjunya, menurut Nanang Fattah dalam Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 9 – April 2008, diperlukan semacam metode untuk mengukur efektifitas biaya yang dihubungkan antara input (gaji guru, pengeluaran untuk pembelian buku, material dan peralatan, penggunaan media pembelajaran, dsb) dengan output, yaitu pencapaian objektif seperti jumlah lulusan, hasil ujian, atau pendapatan masa depan yang diharapkan, dsb. Pengukuran ini dapat digunakan dalam mengevaluasi pendidikan sebagai suatu investasi, baik sebagai individu maupun untuk masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan meliputi: (a). Biaya Investasi yang berupa investasi lahan (bagi bangunan sekolah, dlsb) dan investasi selain lahan, dan (b). Biaya Operasi yang berupa biaya personalia (gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangannya) dan biaya non personalia. Untuk konteks sekolah negeri tingkat dasar, pada dasarnya seluruh komponen biaya tersebut sudah ditanggung oleh pemerintah, termasuk untuk biaya operasi non personalia yang berwujud Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sehingga menjadi tidak wajar apabila sekolah masih memungut dana dari orang tua siswa/wali murid.

Penjaminan Wajib Belajar

Sejak tahun 2008, pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar (wajar) 9 tahun. Sebagai konsekuensi program ini, maka pemerintah wajib untuk menanggung segala biaya (investasi dan operasi) di setiap penyelenggaraan pendidikan pada tingkat dasar (setingkat SD dan SMP). Dalam Peraturan PemerintahNo.47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar diatur perihal penjaminan wajib belajar, Pasal 9 menyatakan:

1. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib

belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

2. Warga negara Indonesia yang berusia di atas 15 (lima belas) tahun dan belum lulus

pendidikan dasar dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas biaya

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

3. Warga negara Indonesia usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak mampu

membiayai pendidikan, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan

bantuan biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.

Aturan di atas merupakan turunan dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada Pasal 34 dinyatakan: ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Amanat dari peraturan ini sangatlah jelas, yaitu: untuk mendukung terwujudnya program wajib belajar, maka pendidikan dasar haruslah gratis. Itu artinya segala bentuk pungutan yang terjadi pada sekolah tingkat dasar tidak memiliki landasan yuridisnya, dan tentunya merupakan tindakan melawan hukum. Hal yang sama apabila pemerintah tidak menanggung segala biaya penyelenggaraan pendidikan dasar. Dari fakta yuridis ini, maka dimanakah letak relevansinya pungutan yang masih terus terjadi pada pendidikan dasar?, khususnya di Kota Bandarlampung.

Peran Wali Murid

Sudah lebih dari lima tahun bergulirnya Dana BOS, namun masih banyak orang tua/wali murid yang belum mengetahui untuk apa saja penggunaannya. Hal ini terjadi karena memang selama ini orang tua/wali murid kurang mendapatkan informasi yang memadai perihal Dana BOS dan peruntukannya. Padahal, menurut petunjuk teknis yang ada, sekolah penerima BOS wajib menyampaikan besaran dan penggunaan dana BOS kepada orang tua/wali murid. Namun pada prakteknya, berdasar hasil survey KoAK Lampung terhadap para wali murid, tidak satu pun dari mereka yang diinformasikan oleh pihak sekolah perihal besaran dana BOS dan penggunaannya. Ini menunjukkan bahwa hampir semua sekolah penerima BOS di Kota Bandarlampung mengelolanya secara tidak transparan. Yang lebih miris, ternyata banyak pula dewan guru yang tidak mengetahui perihal peruntukan dana BOS yang diterima oleh sekolahnya.

Minimnya keterlibatan wali murid dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana pendidikan di sekolah pada dasarnya disebabkan oleh minimnya pengetahuan mereka terhadap besaran dana yang dikelola oleh sekolah. Komite sekolah yang mestinya mengemban tanggung jawab untuk mengawasi pengelolaan dana di sekolah, kurang memiliki peranan yang cukup signifikan. Bahkan, dalam banyak kasus, komite sekolah justru menjadi sekutu pihak sekolah (kepala sekolah) dalam hal menjadi alat legitimasi untuk melakukan pungutan kepada wali murid. Komite sekolah yang seharusnya menjadi wadah bagi para wali murid untuk menyampaikan segala bentuk keluhan dan aspirasi, justru seakan telah mengambil posisi yang berseberangan dengan kepentingan para wali murid. Oleh karenanya, adalah wajar apabila banyak pihak menghendaki agar komite sekolah dibubarkan saja.

Pihak sekolah –termasuk komite sekolah- mestinya memandang wali murid sebagai intrumen yang paling strategis dalam proses memajukan sistem persekolahan, bukan hanya sebagai sumber daya bagi pembiayaan pendidikan. Apabila peran wali murid hanya sebatas sebagai ”ladang” bagi sekolah untuk mendapatkan sumber pembiayaan pendidikan, maka hal tersebut amatlah jauh dari cita-cita pendidikan nasional yang termaktub dalam konstitusi, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa. Prilaku pihak sekolah yang mengelola dana pendidikan secara serampangan, tidak transparan dan akuntabel, merupakan bentuk penghianatanterhadap landasan bagi berdirinya negeri yang kita cintai ini. Hal yang sama apabila para stakeholder pendidikan, termasuk wali murid, bersikap pasif terhadap bobroknya pengelolaan sistem pendidikan yang ada. Untuk itu, sudah saatnya para wali murid mengambil peran dan bertindak secara aktif untuk terlibat secara langsung dalam proses pengelolaan sistem persekolahan, baik pada lingkup perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya; karena pendidikan dasar gratis, wajib hukumnya!.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun