"Prioritas kita adalah bereskan ketimpangan Jakarta. Kemiskinan di Jakarta sudah ekstrem."Â Itu pernyataan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, di depan ratusan warga Yogyakarta, dalam kesempatan syawalan bersama warga DIY di gedung Balai Pamungkas, Yogyakarta, Rabu 19 Juli 2017 lalu (detik.com, 19/7/2017).
Implisit, dengan pernyataan itu, Anies hendak mengatakan bahwa masalah ketimpangan dan kemiskinan lebih parah (ekstrem) di Yogyakarta ketimbang di Jakarta. Karena itu, seperti diakuinya sendiri, Anies ingin belajar tata-kelola pemerintahan dan pembangunan kepada Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X (detik.com, 19/7/2017). Antara lain, tentu saja, tata-kelola penanggulangan masalah kemiskinan.
Tapi, pernyataan Anies soal ketimpangan dan kemiskinan itu tak urung menyisakan sedikitnya dua pertanyaan. Pertama, benarkah ketimpangan dan kemiskinan di Jakarta lebih parah ketimbang di Yogyakarta? Kedua, tepatkah Anies belajar tata-kelola penanggulangan kemiskinan ke Yogyakarta?
Yogyakarta Lebih Parah
Pertanyaan pertama gampang dijawab. Cukup merujuk data ketimpangan dan kemiskinan terbaru keluaran BPS.
Per bulan Maret 2017, menurut data BPS, angka Gini Ratio DI Yogyakarta tercatat 0.432. Ini angka Gini Ratio tertinggi di Indonesia. Artinya, masalah ketimpangan di Indonesia paling parah di Yogyakarta, diukur dari tingkat pengeluaran. Angka Gini Ratio nasional adalah 0.393.
Sementara angka Gini Ratio DKI Jakarta per Maret 2017 adalah 0.413. Angka ini menempatkan Jakarta pada urutan ketiga dari 10 provinsi dengan Gini Ratio tertinggi di Indonesia.
Jadi, jelas bahwa masalah ketimpangan lebih parah di Yogyakarta ketimbang di Jakarta. Lebih parah lagi Yogyakarta karena angka 0.432 itu gabungan desa dan kota. Sementara angka 0.413 di Jakarta sepenuhnya angka ketimpangan kota. Padahal per Maret 2017, angka ketimpangan di kota (0.407) lebih tinggi dibanding di desa (0.320). Bisa diduga, ketimpangan di kota Yogyakarta jauh lebih parah ketimbang di kota Jakarta.
Itu soal ketimpangan, sekarang soal tingkat kemiskinan. Diukur dari jumlah penduduk miskin, yaitu jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan dengan pendekatan hitungan jumlah pengeluaran per bulan. Angkanya berbeda antar daerah dan antar bulan, tergantung pada tingkat harga-harga. Per Maret 2017, garis kemiskinan di Yogyakarta ditetapkan Rp 374,009/kapita/bulan. Sedangkan di Jakarta Rp 536,546/kapita/bulan. Ingat, harga-harga di Jakarta lebih tinggi dibanding di Yogyakarta.
Per Maret 2017, menurut pendataan BPS, jumlah penduduk miskin di Yogyakarta adalah 488,540 jiwa atau 13.02 persen. Sedangkan di Jakarta tercatat sebanyak 389,690 jiwa atau 3.77 persen. Artinya, secara absolut ataupun relatif (persentase), tingkat kemiskinan di Yogyakarta lebih parah di Yogyakarta ketimbang di Jakarta.
Lantas mengapa pernyataan Anies mengesankan masalah kemiskinan di Jakarta lebih parah di Jakarta ketimbang di Yogyakarta? Mustahil jika Anies tidak menguasai data kemiskinan, sebab dia sangat "suka" menggunakan data kuantitatif sebagai dasar argumen, sebagaimana terbukti saat debat Pilkada Jakarta yang lalu. Penjelasan yang masuk akal agaknya adalah pemanggungan sikap "tamu yang santun". Sebagai tamu yang baik, tidak etis membongkar keburukan tuan rumah.