Mohon tunggu...
M. Rasyid Nur
M. Rasyid Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiun guru PNS tidak pensiun sebagai guru

M. Rasyid Nur, pendidik (sudah pensiun dari PNS pada Mei 2017) yang bertekad "Ingin terus belajar dan belajar terus". Penyuka literasi dan berusaha menulis setiap hari sebagai bagian belajar sepanjang hari. Silakan juga diklik: http://mrasyidnur.blogspot.com/ atau http://tanaikarimun.com sebagai tambahan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelabuhan ini Belum juga Berubah

23 April 2013   11:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:45 929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MAAF Pak Bupati dan Pak Wakil Bupati Siak. Tulisan ini, mudah-mudahan sempat terbaca. Tapi bukan bermaksud jelek apalagi menyudutkan Bapak berdua atau Pemda Siak umumnya. Sebagai masyarakat biasa, saya adalah salah satu di antara ribuan pengguna jasa Pelabuhan Tanjung Buton, Kabupaten Siak Provinsi Riau yang Bapak pimpin.

Mungkin keluhan ini tidak hanya keluhan pribadi. Saya sangat percaya ini juga dirasakan dan akan dikeluhkan oleh pengguna jasa pelabuhan satu-satunya untuk akses terdekat dari dan ke Pekanbaru - Selat Panjang- Karimun atau ke Batam. Dan orang tahu pelabuhan ini selalu ramai setiap hari. Tidak kurang empat atau lima bahkan lebih trayek kapal laut melalui pelabuhan ini ke berbagai tujuan di Riau dank e luar Riau. Pelabuhan ini memang sangat strategis letaknya.

Saya sendiri, jika ingin ke Pekanbaru dari Karimun lebih memilih jalur Karimun – Tanjungbuton – Pekanbaru dari pada via Batam. Ke Batam berarti menggunakan pesawat udara yang berarti dengan ongkos yang jauh lebih mahal. Padahal saya tahu, terkadang waktu sampainya di Ibu Kota Provinsi Riau itu juga tidak jauh berbeda.

Ahad (21/ 04) lalu, misalnya saya kembali menggunakan jasa pelabuhan Tanjung Buton. Kebetulan saya ke Pekanbaru karena kakak saya meninggal dunia di sana. Ke Pekanbarunya saya pakai pesawat sementara kembali ke Karimun saya menggunakan jasa kapal laut. Saya tak tahu ini untuk yang ke berapa kali saya melewati dan menggunakan pelabuhan ini. Yang pasti sudah sangat banyak jumlahnya saya melewati pelabuhan ini. Sekali lagi, itu memang lebih baik menurut saya dari pada melalui jalur lain.

Tepat pukul 11.45 WIB mobil Kijang Avanza yang disopiri Das dari Pekanbaru tiba di pelabuhan Tanjung Buton. Tujuh orang penumpang yang ada di dalam mobil bergegas keluar untuk membeli ticket kapal. Di antara penumpang yang semobil dengan saya ada yang akan meneruskan pejalanannya ke Batam dan ada pula yang mau ke Tanjungpinang. Saya sendiri akan ke Karimun. Jalur kapal laut dari Tanjung Buton biasanya singgah di Pelabuhan Selat Panjang, Tanjung Samak baru ke Karimun. Dari Karimun kapal akan menyeberang lagi ke Batam untuk selanjutnya ke Tanjungpinang.

Sambil menunggu waktu kedatangan dan keberangkatan kapal, penumpang biasanya istirahat di ruang tunggu pelabuhan. Di sinilah keluhan itu mulai terasa. Pertama, ruang tunggu itu terasa begitu panas di siang hari seperti itu. Tidak ada kipas angin apalagi AC seperti di ruang tunggu bandara. Kedua, tidak ada fasilitas umum seperti WC dan musolla (bagi muslim) yang ingin solat. Padahal jam-jam itu adalah masuknya waktu zuhur. Bahkan di solat asar juga terkadang ada penumpang.

Penumpang yang akan berangkat pada waktu siang, biasanya jadwal kapalnya adalah antara pukul 12.30 hingga 14.00. Selama menunggu itu waktu zuhurnya sudah berjalan sekian lama. Tapi penumpang yang sebenarnya berkesempatan menunaikan solat zuhur tidak dapat mengerjakannya karena tidak ada musolla. Sungguh ironis, pelabuhan yang cukup besar dengan penumpang yang sangat banyak tapi tidak dilengkapi dengan fasilitas umum seperti itu. Tidak adakah anggaran untuk itu?

Untuk keberangkatan kali ini saya juga melihat pemandangan yang lebih memilukan. Ponton pelabuhan yang dipakai penumpang untuk turun-naik dari kapal ternyata sudah tenggelam. Konon baru beberapa hari ini tenggelamnya yang disebabkan oleh kebocoran pada lambung pontoon itu. Tentu saja kebocoran itu tidak datang tiba-tiba. Itu pasti sudah memakan proses waktu lama hingga dia bocor dan tenggelam. Tidakkah ada perawatan dari Dinas Perghubungan selama ini? Sekali lagi, tidak adakah biaya untuk perawatan itu? Sementara pengguna jasa pelabuhan itu sangat ramai. Pasti pula banyak uang masuknya karena kepada setiap penumpang sudah dikenakan iyuran pass pelabuhan dan biaya-biaya lainnya.

Masyarakat seperti saya memang tidak akan mengerti mekanisme dan tata cara pengelolaan pelabuhan seperti itu. Pemerintah Pusatkah atau Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten?) yang bertanggung jawab? Tapi yang rakyat tahu bagaimana pelayanan di pelabuhan itu memuaskan. Itu saja. Fasilitas umum yang sudah sekian lama didambakan, tidak juga ada. Pelabuhan ini memang belum juga berubah.***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun