Mohon tunggu...
Mohsa El Ramadan
Mohsa El Ramadan Mohon Tunggu... Jurnalis - Seorang jurnalis, tinggal di Banda Aceh.

Menulis adalah spirit, maka perlu sebuah "rumah" untuk menampungnya | E-mail: mohsaelramadan@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sihir Lampuuk yang Kini Tanpa Bikini

15 Januari 2017   23:52 Diperbarui: 16 Januari 2017   18:39 1834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keramaian setiap akhir pekan di Lampuuk.

Pantai itu tak sempat berlarut-larut dalam kenestapaan;
Ia bangkit “memuja” orang-orang yang rindu kemolekannya;
Bermimpi-mimpi tentang kegenitan alamnya;
Tentang deru ombak putih yang sungguh menakjubkan;
Tentang pasir bening yang termasyhur;
Tiada ampun! 
Itulah Lampuuk, seonggok pantai yang lihai menyihir pengunjungnya!

---

Struktur pantai itu berbentuk cekungan, menjorok ke Utara dan dibentengi gugusan pegunungan nan indah, salah satunya Gunung Goh Leumo yang sering didaki anak-anak muda Aceh. Lampuuk bagai tak berubah meski tsunami menggerus sekujur pantai itu pada 26 Desember 2004. Batang pinus yang tumbuh berjajar di sepanjang pantai, melambai-lambai mengikuti ayunan angin, nyaris memupus segala kenangan buruk 12 tahun lampau. 

Lama tak terdengar cerita tsunami di sini! Orang-orang telah mengubur cerita lara itu. Mereka sibuk mencari “sesuap” nasi, bermain, bercengkerama bersama teman, keluarga, dan kerabat. Mereka bermandi riang, berenang, berjemur, bermain papan selancar, jet sky, dan banana boat. “Lina rindu pasir pantai Lampuuk, Pak. Lina copy paste, ya, DP (display picture) BBM (blackberry messenger) Bapak,” kata Erlina Sari, warga Aceh yang kini di Bangka Belitung (Babel), ketika melihat recent updates BBM penulis. Klik, dalam sekejap DP Erlina Sari berubah, dua foto didesain menjadi satu yaitu tentang keramaian Lampuuk dan keindahan pantai di Babel. Statusnya pun ditukar begini: Merindu Lampuuk, Kupeluk Tanjung Tinggi Belitung.

Erlina Sari memang tak bisa dipisahkan dari Lampuuk. Ibu empat anak ini memiliki romantisisme panjang dengan Lampuuk. Semasa kecil, cerita Lina, Lampuuk adalah tempatnya bermain di hari-hari libur, di hari-hari ketika ia penat bersekolah. Bersama keluarganya, Erlina kerap menyambangi pantai-pantai di Aceh seperti Lhoknga, Ulhee Lheue, Ujong Batee, dan Krueng Raya.

Tapi, kepada lampuuk, Lina begitu terpesona hingga kini. Hatinya menggelupur melihat hamparan laut yang membiru, butiran ombak yang tak pernah lelah berkejaran, karang-karang putih dan pasir-pasir lembut yang sering dijadikan kanvas tulisan I love you oleh kasmarannya anak-anak muda. Meski kelihatan sedikit lebay, ekspresi anak-anak muda itu adalah guntingan cerita tak terpisahkan dari Lampuuk.

Tebing gunung dan cottage di sekitar Lampuuk.
Tebing gunung dan cottage di sekitar Lampuuk.
Ya, pantai Lampuuk, Aceh Besar, memang memesona. Berjudul-judul cerita telah ditulis orang yang pernah menyinggahi Lampuuk. Apalagi, jarak pantai ini tak begitu jauh, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Banda Aceh, bisa ditempuh dalam waktu 15 menit jika kita menggunakan kendaraan pribadi; motor atau mobil. Ada juga angkutan umum ke Lampuuk, namanya labi-labi (angkot).

“Tapi, di zaman motor yang menjamur seperti sepeda, bisa dipastikan hampir tak ada orang menumpang labi-labi ke Lampuuk, kecuali dicarter,” kata pengelola warung di Lampuuk. Dulu, dulu sekali, sebelum berlaku Syariat Islam, pantai ini tempat bersantai turis mancanegara. Bule-bule dari segala penjuru itu sering berjemur, bermain papan selancar, mandi, dan menikmati sun set. Mereka hanya mengenakan bikini. Orang-orang Lampuuk lumrah dan tak menganggap tabu pemandangan itu.

Berbeda dengan kini, tentunya. Cerita Lampuuk dan pantai-pantai lain di Aceh tak bisa dilepaskan dari Syariat Islam. Setiap pengunjung yang muslim harus menutup auratnya. Sedangkan bagi yang non muslim diharuskan berpakaian sopan dan santun. Selain itu, menjelang senja, warga tak dibolehkan lagi bermain di pantai. Jika ada yang coba melanggar, apalagi membawa pasangan yang bukan muhrimnya, maka bersiaplah untuk menerima hukuman cambuk.  

Cerita lain Lampuuk, tentu, cerita tentang keindahan pantai dan pasir putihnya yang menjadi magnet, ditambah aneka kuliner ikan bakar yang tak kalah gurihnya. Cuma, itulah kebiasaan “orang kita” yang suka mematok harga sesukanya jika pengunjung berjubel di kala hari-hari libur.

Lampuuk dari area gubuk kuliner ikan bakar.
Lampuuk dari area gubuk kuliner ikan bakar.
Tengok saja Minggu  kemarin! Pengelola warung menjual ikan bakar dengan harga selangit: Rp 80 ribuan per ekor untuk ukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan orang dewasa.

Wow, harga yang fantastis, bukan? Tapi apa mau dibilang! Jika kita tidak membeli ikan bakar maka kita tak boleh duduk di balai-balai beratap rumbia yang mereka sediakan. “Jika mau duduk sini, Bapak harus pesan ikan bakar, ya,” kata pramusaji di sana. Tapi, sambungnya, “kalau yang ini, cukup pesan minuman saja,” katanya sambil menunjuk balai-balai yang di bagian belakang.

Tatkala Lampuuk digeruduk pengunjung, memang kita berada pada posisi serba salah! Jika jika tidak mau pesan ikan bakar maka konsekuensinya harus duduk di balai-balai yang agak ke belakang;view-nya jauh dari bibir pantai. Pandangan kita terhalang gubuk-gubuk tradisonal yang berjajar rapat di depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun