Aku berteman baik dengan Aluna sejak SMA. Â Tidak pernah satu kelas, tapi pernah satu ekskul. Â Aluna mengambil ekskul basket, aku pun mengikuti nya. Â Walau tak suka basket, tapi aku suka melihat Aluna berlama lama.
Setiap latihan, Aluna lebih sering tak ada. Â Ada yang bilang kalau Aluna sibuk soting pelm. Â Ada yang bilang lagi bikin iklan. Â Ada juga yang bilang Aluna lagi jalan jalan keluar negeri.
Latihan tanpa Aluna, bagai makan nasi tapi tak ada nasinya. Â Tak mungkin kan?
Aluna memang selalu mempesona. Â Apalagi kalau lagi keringatan sehabis latihan basket. Â Bawaannya pengin ngelap tuh keringat dengan sepenuh jiwa.
Tak seberapa itu.
Aku sering cuma duduk saja, kalau Aluna lagi berlatih basket. Â Aku berlama lama memandangi bibirnya.
Bibir Aluna itu lain dari yang lain. Â Bibir Aluna selalu mengungkapkan paradoks kehidupan. Â Misalnya saja paradoks antara "iya" dengan "tidak". Â Paradoks antara "oke" dengan "ogah". Paradoks antara "siap" dengan "tunggu". Â Dan masih banyak lagi, dan tak mungkin aku sebutkan satu per satu.
Tak ada bibir separadoks bibir Aluna. Â Dan yang tahu ini, hanya aku. Â Karena Aku selalu memperhatikan nya dengan seksama dan dalam tempo yang selama lamanya.
Kami berpisah selepas SMA.
Lalu kemarin aku jumpa dia lagi. Â Bibirnya masih sama. Â Masih menyimpan paradoks. Â Tapi Aku sudah terlanjur punya anak tiga. Tak mungkin aku tetap memujinya. Â Gak enak sama bini.
Aluna, oh, bibirmu ...