Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monolog Rindu di Makam Tak Bernama

24 Juni 2017   01:41 Diperbarui: 24 Juni 2017   02:32 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku merindukanmu.." ujarnya setengah berbisik. "Waktu adalah pertaruhan yang tak akan pernah kita menangkan," lanjutnya dengan airmata tergenang.  Kata kata yang keluar dari seorang lelaki tua kurus berbaju lusuh, di depan pusara tanpa bertuliskan nama.

"Aku adalah jendelamu dulu saat membuka pagi.  Mempersiapkan segelas kopi pahit namun menjadi manis di tanganmu.  Karena kamu aliri kasih dari bening matamu." Lelaki itu terus saja menuangkan kalimat bernyawakan rindu.  Tangannya belum tuntas mencabuti rumput liar yang mengerubungi makam itu.

"Kamu adalah seuntai mutiara yang aku jadikan tasbih untuk menggenapi jari jariku.  Aku begitu kehilanganmu seperti dzikir yang menghilang dari hari hariku," sesal itu semakin dalam terurai dari airmata lelaki yang hampir saja beku karena musim dingin tak henti hentinya mengelus permukaan bumi.

"Aku akan bercakap cakap terus denganmu sampai Tuhan menoleh kepadaku lalu datang menjemputku agar bisa menemuimu.  Aku yakin tubuh lelah ini tak akan bertahan dihantam kedinginan.  Aku sangat bersedia untuk itu," lelaki itu menundukkan muka hampir sejajar dengan batu nisan.  Terlihat goresan duka begitu dalam di sudut matanya yang menyempit oleh keriput.

"Kau mendampingiku hingga kusam tak lagi menjelagai hari hari kita.  Tapi aku merasa kau pun pergi secepat bom dan peluru yang tumpah di pertempuran.  Salah satu serpihannya singgah di dadamu.  Mengantarmu pergi mendahuluiku.  Seperti dua anak lelaki kita yang juga pergi karena mencoba mempertahankan petak rumah kita dari jarahan para lelaki bersenjata.  Seperti juga anak perempuan kita yang kehilangan kedua kakinya karena ledakan mortir di dapur rumah kita, lalu pergi ke haribaanNYA, kehabisan darah karena tak ada lagi persediaan darah di Bulan Sabit Merah kota kita," lelaki itu menengadah ke arah langit yang buram.  Suaranya yang terbata bata bercerita, mengeras ketika menyebut satu persatu kematian pada orang orang yang dikasihinya.

"Perang!  Aku ingin menggugatnya jika ada keadilan tertinggi di dunia ini.  Tapi keadilan hanya milik Tuhan.  Dan aku tidak tahu bagaimana caraku mendapatkan keadilan dari Tuhan," lelaki itu menghela nafas panjang.  Meredam gemuruh yang meronta ronta di dadanya.

"Aku ingin menuntaskan kegeramanku ini dengan menyandang senapan.  Namun kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu.  Meledakkan mesiu dan merenggut nyawa orang yang tidak aku kenal bukanlah keinginanku.  Aku mungkin akan membuat orang orang menjadi sepertiku.  Berbincang di depan makam tak bernama.  Mengeluhkan kesepian karena kehilangan.  Menuliskan secarik dendam tak berkesudahan.  Aku mungkin akan membabi buta.  Meminum darah orang orang tak bersalah.  Aku tidak mau itu," mata lelaki itu bersinar sinar.  Bukan karena kemarahan.  Namun lebih pada kesadaran.

"Istriku, aku tidak tahu dimanakah sebenarnya jasadmu terkubur di antara ribuan makam tak bernama ini.  Aku hanya selalu menuju ke sini.  Aku bisa saja salah.  Bisa saja yang terkubur di sini adalah seorang yang lain.  Tapi aku tidak sanggup membersihkan rumput liar di lautan makam ini.  aku harap kamu mengerti.  Aku ingin menuliskan namamu pada batu nisan ini.  Tapi itu akan menjadi ketidakadilan lain.  Tidak satupun nisan di sini bertuliskan nama.  Karena kalian semua dikuburkan pada saat yang sama. Ketika pesawat pesawat itu menjatuhkan berton ton bom di kota kita," suara lelaki itu semakin lirih.  Tubuhnya terguling ke samping.  Hawa dingin mengais detak jantung di tubuh tuanya. Mengakhiri semua monolognya tentang korban korban perang di atas kuburan massal.  Di kota Aleppo yang gelap dan suram.

Bogor, 24 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun