Aku ingin menyapamu. Â Bersamaan dengan waktu aku melewati Lawang Sewu. Â Kudukku meremang. Â Bukan karena banyaknya kisah mistis yang membuat gamang. Â Namun karena kebetulan mataku, bersirobok dengan Sang Saka di situ.
Berkibar di depan gedung tua berpintu seribu. Â Bangunan jaman Belanda. Â Membuatku teringat betapa kusam dinding dindingnya, pasti terlumuri oleh ribuan rasa pilu dan nyilu. Â Lantainya yang pucat, tidak bisa sembunyikan simbahan darah kering yang telah memudar dilabur waktu. Â Ribuan lecutan cemeti tersimpan dalam kenangan berpeti peti. Â Punggung punggung bergalur merah. Â Meneteskan derita orang orang tertindas. Â Sejarah kadang kadang memang menuliskan kisah yang tak tuntas.
Lawang Sewu sepertinya tak sanggup lagi meneruskan cerita. Â Sinar matahari sore menggaris semua pintunya. Â Dengan larikan keemasan. Menyampaikan sedikit pesan. Â Tak akan pernah tamat arti sebuah perjuangan.
Semarang, 17 Agustus 2017