Beberapa hari ini sedang marak cerita tentang perundungan (atau yang dalam bahasa Inggris disebut bullying). Hampir semua orang serius membicarakannya.
"Anak jaman sekarang mengerikan ya," komentar seorang teman sambil mengirimkan sebuah video dimana ada seorang anak yang dihajar oleh teman-temannya ke akun whatsapp-ku.
"Kayak gitu gak cuma ada sekarang," sahutku. "Dari dulu juga ada."
"Karena sekarang teknologi informasi canggih banget ya, makanya jadi keliatan heboh," komentarnya lagi.
"Mungkin," jawabku singkat.
Video yang dibagikan oleh temanku itu adalah sebuah video berdurasi 50 detik yang menunjukkan sejumlah siswa mengelilingi seorang siswi berseragam putih. Siswi berseragam putih itu mendapat kekerasan fisik dari teman-teman yang mengelilinginya tanpa perlawanan. Pada akhir video, siswi tersebut disuruh mencium tangan teman-teman yang memperlakukannya dengan kasar tadi.
Sebelum mendapat video ini, aku membaca bahwa seorang mahasiswa berkebutuhan khusus dirundung oleh teman-temannya. Walaupun belakangan dikonfirmasi oleh orang tuanya bahwa yang dirundung bukanlah anak berkebutuhan khusus. Banyak orang yang menanggapi berita ini. Manusia seusia mahasiswa memang sudah tidak pantas melakukan perbuatan konyol semacam perundungan.
Namun yang mengejutkanku, adanya berita dari kumparan.com (20/7/2017) yang mengatakan bahwa pihak rektorat universitas tempat terjadinya perundungan menyangkal adanya perundungan. Yang dilakukan anak-anak mahasiswanya hanyalah sebuah candaan. Beragam komentar tentang berita itu kemudian bermunculan, kebanyakan sepakat bahwa apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa tersebut pada temannya bukanlah sebuah candaan. Itu sudah tindakan yang keterlaluan.
Aku lalu teringat cerita seorang di Facebook. Dia menceritakan anaknya yang mendapat rundungan dari anak saudaranya yang lebih besar. Ketika dia mengingatkan saudaranya tentang itu, saudaranya hanya berkata, "Biasalah, anak-anak..."
Apa persamaan saudara orang di facebook itu dengan pihak rektorat universitas? Mereka menoleransi candaan dan anak-anak. Masih ingatkah kita dengan seorang anak yang menjadi cacat karena diceplokin telor oleh rekan-rekannya saat dia berulang tahun? Bukan kah mereka masih anak-anak? Bukan kah itu hanya bercanda?
Kita mengutuk api yang besar. Kita mencela perundungan yang berakhir dengan korban yang menjadi cacat atau meninggal dunia. Namun kita lupa untuk memadamkan api yang kecil, padahal api yang besar itu, berawal dari sesuatu yang kecil dan dibiarkan.
artikel ini pertama kali tayang di ucnews.com