[caption id="attachment_408892" align="aligncenter" width="450" caption="Pusara Putri Campa dan suaminya, Raden Damarwulan "][/caption]
Bulu kuduk saya merinding ketika pertama kali memasuki gapura kompleks Makam Putri Campa (Jawa = Cempo) di Trowulan, Jawa Timur. Betapa tidak, siang hari saja suasana di sekitar makam tampak lengang. Meski makam Putri Campa termasuk kuburan bersejarah nyatanya tak banyak orang yang menyukainya.
Mereka yang berkunjung paling hanya sebatas pelaku ritual tertentu. Itu terlihat dari sisa lidi hio yang masih tertancap pada sudut-sudut tertentu dalam kompleks makam ini. Sebagian bangunan dalam kompleks makam tampak tak terurus. Apa karena ini sehingga aura mistis dalam kompleks makam Putri Campa terasa sekali.
Beberapa pendapat menyebutkan kalau Campa adalah nama daerah yang sekarang dikenal sebagai Kamboja. Ada juga yang menyebutnya sebagai Vietnam. Bahkan nama Campa bila ditelusuri berdasarkan peta kuno justru malah berasal dari Parsi lama atau Iran kuno.
[caption id="attachment_408894" align="aligncenter" width="350" caption="Nisan kuno nan antik di kompleks makam Putri Campa"]
Sekedar untuk diketahui, makam Putri Campa ini juga ada di Gresik, Jawa Timur. Lokasinya berada di kawasan Kebomas-Gresik yang berdekatan dengan kompleks pusara Sunan Giri.
Rupanya raja-raja dulu (Majapahit) bila melihat perempuan berkulit putih, hatinya menjadi terpikat dan tertarik untuk menikahinya. Lalu bagaimana dengan makam Putri Campa yang ada di Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur? Adakah cerita sejarah yang melatar-belakangi makam ini?
Lagi-lagi bila berbicara soal sejarah purbakala memang “most debated”, sering menimbulkan perbedaan pendapat. Hal itu pula yang terjadi pada makam Putri Campa Trowulan ini.
[caption id="attachment_408895" align="aligncenter" width="350" caption="Cungkup lain di pusara Putri Campa"]
Prof. Slamet Mulyana, 1983 : 320 seperti dikutip I Made Kusumajaya dkk. menyebutkan kalau makam Putri Campa ini merupakan kuburan milik permaisuri raja terakhir Kerajaan Majapahit (Prabu Brawijaya). Sementara ahli sejarah Belanda bernama Drewes, 1966 : 362 menerangkan kalau makam itu milik ayahanda Raden Patah tapi karena diperlakukan sebagai layaknya seorang wanita maka dinamakan makam Putri Campa.
Yang pasti sisa kepurbakalaan yang masih bisa disaksikan para pengunjung adalah batu nisan dari bahan andesit berangka tahun saka 1730 atau tahun 1440 masehi. Nisan itu sekarang ditutup menggunakan kain (sarung) pelindung. Di bawahnya terpasang batu nisan berukuran lebih kecil.Kata penjaga makam,jasad sang putri sudah disempurnakan secara Islam.
Berbeda dengan pendapat para ahli, Pak Sariman sebagai juru pelihara makam Putri Campa justru memberikan keterangan berdasarkan apa yang didengar dari para leluhurnya terdahulu.
[caption id="attachment_408896" align="aligncenter" width="350" caption="Makam abdi kinasih"]
“ Itu kuburan milik Putri Campa nak, di dalamnya juga bersemayam jenazah Damarwulan suaminya” terang Pak Sariman.
“ Di sebelahnya merupakan batu nisan milik abdi kinasih, pengasuh kesayangan raja” sambung Pak Sariman dengan meyakinkan.
Antara percaya atau tidak dengan keterangan Pak Sariman, akhirnya saya menarik kesimpulan sendiri bahwa boleh jadi apa yang dimaksud para ahli sebagai Raja Majapahit terakhir (Brawijaya) itu menurut para leluhur Jawa kala itu sebenarnya merupakan sosok Prabu Damarwulan seperti yang dikatakan Pak Sariman tadi.
Sebelum menuju makam Putri Campa yang berada di bawah bangunan pelindung mirip pendopo, beberapa pohon tua yang terkesan angker tampak tumbuh di sebelah kanan jalan masuk. Saya bertambah merinding saja. Lagipula suasana siang itu memang benar-benar redup. Mendung tebal sedang menyelimuti kawasan Desa Unggah-unggahan di mana makam Putri Campa berada.
[caption id="attachment_408897" align="aligncenter" width="350" caption="Cungkup makam Putri Campa"]
Terang saja, saat saya berkunjung pada 30 Maret 2015 yang baru lalu itu memang sedang deras-derasnya hujan turun. Tak ada pengunjung lain yang bisa saya ajak berbincang-bincang dan memecahkan kesunyian siang itu. Pak Sariman sendiri lebih memilih berdiam diri di pendopo peristirahatan. Saya merasa sungkan untuk mengajaknya menemani bertualang ke kuburan Putri Campa siang itu.
Banyak makam dengan nisan kuno berserakan di kiri-kanan jalan menuju makam utama. Beberapa nisan dari batu andesit terlihat unik bentuknya. Sebagian lagi terbuat dari batu bata kuno. Selain cungkup utama tempat bersemayamnya Putri Campa, saya melihat dua cungkup dengan pintu dalam keadaan terkunci.
[caption id="attachment_408898" align="aligncenter" width="250" caption="Pepohonan tua nan rindang dalam makam"]
“Itu mungkin kuburan kerabat Putri Campa atau Raden Damarwulan nak” duga Pak Sariman.
Sebagai juru pelihara yang sudah puluhan tahun menjaga kompleks makam Putri Campa, Pak Sariman mengaku tidak tahu persis perihal sejarah makam itu. Makam-makam yang berserakan dengan batu nisan kuno itu tak bernama, tidak jelas siapa yang dikuburkan di sana. Ia hanya menirukan apa yang telah diceritakan leluhurnya secara turun-temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam itu.
Sebagai orang awam, saya tak perlu masuk ke dalam “pro-kontra” kisah sejarah makam Putri Campa itu. Perbedaan pendapat yang muncul di antara para ahli dan cerita Pak Sariman, harusnya menambah khasanah pandang tentang sejarah masa lampau bangsa kita.
[caption id="attachment_408899" align="aligncenter" width="250" caption="Pak Sariman, dengan wajah yang memelas"]
[caption id="attachment_408901" align="aligncenter" width="350" caption="Gapura masuk makam Putri Campa di Trowulan"]