Dalam hidup banyak pelajaran berharga yang bisa kita dapat darimana saja. Bahkan, kebanyakan pelajaran hidup bisa datang dari arah tak terduga yang umumnya kelihatan simpel dari sudut pandang kita.Â
Manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa makan. Namun, untuk bertahan hidup manusia bisa makan apa saja. Pilihan makanan yang begitu banyak bisa membuat orang bingung, sehingga tidak sedikit yang bertanya, mau makan apa? atau mau makan dimana?Â
Kedua pertanyaan diatas secara tak sadar mengarahkan manusia untuk membuat pilihan. Apakah sekedar makan untuk hidup ataupun hidup untuk makan? Tentu ada perbedaan siknifikan dari kedua pertanyaan ini.Â
Saat seseorang memilih makan untuk hidup maka apapun yang bisa dimakan, selama bisa menghasilkan energi untuk menjalankan hidup akan dikomsumsi. Tentu dengan mempertimbangkan unsur halal atau tidak, sesuai latar belakang agamanya. Intinya, makanan dinilai bukan dari adanya "nilai" namun berdasarkan kegunaan.Â
Nah, mereka yang masuk golongan kedua, hidup untuk makan, umumnya sangat memperhatikan "nilai" dari setiap apa yang dikomsumsi. Bagi golongan ini, jenis makanan, bagaimana di proses, dijual dimana menjadi faktor penting. Dari sini kita bisa melihat hadirnya kasta atau golongan tertentu yang memisahkan diri dari apa yang mereka makan.Â
Tidak heran kita melihat tempat-tempat makan mewah seperti restauran, Cafe, dan mall memiliki jenis menu sangat berbeda dari makanan yang dijual di kaki lima atau pasar tradisional. Perbedaan siknifikan ada pada ukuran makanan dan cara penyajian. Walau sebenarnya bahan bakunya sama, karena dijual ditempat berbeda dan disajikan dengan mewah, daya jualpun meningkat.Â
Tanpa disadari, kedua golongan yang saya sebut diatas memiliki dua pola pikir yang Berbeda. Bagi golongan  "makan apa", jenis makanan dan cara penyajian bukan prioritas.
Gaya hidup golongan inipun relatif biasa saja, jauh dari unsur kemewahan. Sementara golongan "makan dimana", condong menjadikan makanan sebagai sebuah "nilai". Kalau makan harus ditempat bagus agar keliatan berduit dan senang, walau sebenarnya terlilit hutang.Â
Pada akhirnya golongan"makan dimana" menjadi budak terhadap nafsunya sendiri. Saat pengeluaran lebih besar dari pemasukan, golongan ini tetap berusaha memelihara "nilai" dari apa yang mereka makan.
Bagi mereka, identitas diri datang dari jenis makanan yang dimakan. Wajar saja kita akan sangat jarang melihat golongan ini mau membeli makanan dari pasar tradisional dengan alasan akan merusak identitas diri mereka.Â
Padahal jika kita berpikir sehat, golongan "makan dimana" ibarat menggali kubur. Saat mereka memberi "nilai" dari apa yang dimakan, tujuan hidup mereka diatur oleh makanan.