Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengangkat Menteri (Seperti) Coba-coba

22 Agustus 2016   01:54 Diperbarui: 23 Agustus 2016   03:55 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah sahabat mendengar sebuah iklan, "buat anak kok coba-coba". Iklan itu seringkali muncul dalam beranda acara telivisi kita. Sebuah iklan minyak kayu putih dan minyak telon yang banyak dijual bebas di tanah air. Sebuah produk yang cukup laris manis lantaran memang banyak dibutuhkan para konsumennya khususnya ibu-ibu yang ingin melindungi anaknya dari gigitan nyamuk dan masuk angin.

Jika mendengar iklan itu, membuat para ibu selalu saja ingat kata-kata yang cukup menyengat hati dan pikiran mereka, kalau tidak jelas manfaatnya, maka mending tidak membeli produk itu. Jangan pernah membeli barang atau produk kalau kita tidak tahu apakah produk yang kita beli itu berefek positif. Makanya bahasa yang cukup mengena tersebut sangat mudah diingat, jangan pernah membeli minyak angin itu kalau tidak "migunani" atau bermanfaat.

Pintar sekali ya pembuat iklan mempromosikan sebuah produk yang sepele tapi manfaatnya cukup banyak itu. Maka amat wajar, produk yang mudah dikenal karena iklan setelah digunakan ternyata cespleng, karena cespleng itulah konsumen terpesona dan menjadi pelanggan tetapnya.

Itu berbicara mengenai sebuah produk perawatan kesehatan, bagaimana jika berbicara mengenal pejabat negara sekelas menteri? Bagaimana kalau bukan Archandra Tahar? Sosok menteri ESDM yang baru saja dilantik, tiba-tiba diberhentikan dengan hormat lantaran dualisme kewarganegaraan dan tentu karena tekanan publik. Nah, tentu kita akan langsung bertanya-tanya, kenapa pak presiden begitu mudahnya memilih menteri lalu begitu mudahnya memberhentikannya? Dan anehnya jabatan menteri yang diberhentikan itu hanya dua puluh hari.

Sebuah catatan kerja dalam kabinet kerja yang amat cepat. Bagaimana bisa seorang pembantu yang sudah dilantik dengan amat terhormatnya, tiba-tibat karena tekanan publik dan kewarganegaraan yang "mak jelas" itu lalu diberhentikan tiba-tiba. Seandainya diibaratkan sebuah produk, selayaknya produk itu masih belum teruji, atau sang pemilih belum sepenuhnya mengenali produk tersebut. Padahal mana mungkin kita tertarik kalau tidak tahu manfaatnya? Jangankan sekelas menteri, sekelas minyak kayu putih saja kita harus betul-betul mengecek, apakah barang itu mujarab untuk mengobati sakit si kecil? Atau justru barang yang gak layak karena barang itu hanyalah tipu-tipu. Meskipun dibasuh berkali-kali sakit si kecil tidak kujung sirna, atau meskipun dibeli dengan harga mahal ternyata produk itu palsu. Gimana? Apakah tidak aneh? Hehe

Terlepas dari status kewarganegaraan ganda yang dimiliki sang menteri tersebut, tentulah publik masih bertanya-tanya, mengapa Pak Presiden seperti bermain puzzel? Saat ini disusun kabinetnya, esoknya lagi dibongkar habis-habisan. Ada yang berpindah jabatan, ada yang langsung diberhentikan dengan alasan "dianggap" tidak mampu, atau karena usur politik balas jasa. Bagi insan awam seperti saya, tentulah berpikir, ternyata jabatan ketua kelas lebih lama dari jabatan para tokoh publik di negeri ini.

Meski demikian kita tidak boleh donk membanding-bandingkan jabatan penting dengan ketua kelas, secara gitu loh, mereka tidak selevel. Tapi karena levelnya berat maka menjadi seorang menteri pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meski disurvey dulu apakah calon asisten itu benar-benar mampu bekerja? Apakah mereka yang harus membantu sang Presiden benar-benar berdedikasi dan otaknya cemerlang sehingga bisa bekerja bersama-sama mengentaskan masalah negeri ini yang masih terlalu rumit untuk diuraikan satu persatu. Kalau tidak atau belum layak, semestinya tidak gegabah menunjuk seorang menteri karena jabatan itu adalah tanggung jawab yang besar. Kalau dirasa merasa belum layak mengurus negara, maka ada baiknya mundur dari pencalonan, atau tidak berusaha bermain mata ingin meminta jabatan kursi di sisi Presiden. Karakter jumawa semestinya jangan diunggulkan. Berkaca diri apakah kira-kira calon pendamping ini mampu mengurus negara yang besar ini? Atau justru malah membuat malu? Program kerja yang sekiranya bisa diselesaikan dengan jangka waktu yang ditentukan ternyata tidak juga selesai dengan baik.

Memilih menteri pun perlu assessment

Sebagai seorang guru pun sepertinya tidak asing lagi dengan assessment, yaitu sebuah tahapan untuk mengenal seberapa kelemahan, potensi dan aspek program penanganan kepada siswa bagaimanakah mereka akan ditangani, atau bagian potensi manakah yang hendak dikembangkan. Dengan assessment itu sejatinya untuk meminimalisir kesalahan dalam penanganan. Sehingga proses pelayanan dan pendidikannya tidak salah sasaran.

Jika melihat keterpilihan sang menteri yang begitu singkat dan begitu mudahnya diganti, apakah selama ini sang presiden melihat calon pendampingnya sebatas melihat dari kejauhan.? Atau karena menduga-duga dan karena pesanan dari tokoh politik tertentu? Mohon maaf hakekatnya semua yang berkaitan politik, tentulah ada pembicaraan politik balas budi dan kepentingan yang menyertainya. Namun amatlah aneh, jika ternyata orang-orang yang dipilih dan dicalonkan oleh partai ternyata dianggap belum layak. Belum lagi terasa janggal, dimana mengurus sebuah negara hakekatnya tidak semudah membuat adonan kue yang sehari bisa jadi beraneka kue.

Maklumlah gegara para menteri begitu mudah diganti, maka pondasi pembangunan di negeri ini belum siap secara utuh, jika boleh mengatakan tidak pernah siap karena setiap ganti menteri maka ganti lagi konsep dan rencana kerja. Ibarat sebuah rumah, jika tidak benar-benar siap membangun rumah, jangan pernah membuat pondasi, karena ujung-ujungnya sebulan dibangun, maka pondasi rumah kita kita rubuhkan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun