Mohon tunggu...
Nisa Lutfiana
Nisa Lutfiana Mohon Tunggu... Tutor - Okee saya seorang perantau yang tengah mencari penghidupan di perbatasan negeri ini :)

I know I'm not the only one. Belajar tak akan pernah mengenal waktu. Inilah sepenggal cipta dari rasa yang terjaga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengeja Bilangan Fu (Bagian I): Modernisme

21 April 2017   20:51 Diperbarui: 22 April 2017   08:00 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.aktual.com/wp-content/uploads/2015/07/antarafoto-air-suci-kasada-310715-zk-7-681x455.jpg

“Spiritualisme-kritis” didefinisikannya sebagai yang mengangkat wacana spiritual-keagamaan, kebatinan, maupun misktik-ke dalam kerangka ang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya; yang mengangkat wacana keberimanan, tanpa terjebak dakwah hitam-putih. _ demikian lah penjelasan Ayu Utami terkait novelnya.

Bilangan Fu, bercerita tetang usaha tiga orang pemuda, Sandi Yuda dan kekasihnya, Marja, serta Parang Jati; yang berusaha menyelamatkan kawasan perbukitan kapur Sewugunung dari perusahaan pertambangan. Hal yang menarik dari Bilangan Fu, adalah bagaimana ia menganalisis musuh Sewugunung khususnya, dan alam raya pada umumnya. Ayu Utami menyebutkan tiga musuh, yaitu Modernisme, Monoteisme dan Militerisme. Ayu berhasil membantu pembaca menemukan kesadaran baru yang barangkali baru disadari. 

Modernisme. Salah satu kerangka berpikir modern adalah ‘asaz manfaat’, yang seringkali digunakan sebagai dalih sikap oportunis. Keuntungan menjadi patron. Segala hal itu baik jika menguntungkan. Segala hal itu menguntungkan jika baik. Tapi baik bagi siapa? Baik bagi manusia belum tentu baik bagi alam raya. Sebab yang dimaksud ‘manusia’ adalah ‘manusia saat ini’ bukan ‘manusia di masa mendatang’. Jika manusia modern bicara ‘manusia’ maksudnya adalah diri sendiri bukan anak cucu mereka. 

Takhayul. Berasal dari akar yang sama dengan kata ‘khayal’, artinya hal-hal yang bersifat khayal belaka. Pohon-pohon keramat, dedemit penunggu hutan belantara, siluman penghuni tebing-tebing. Hanya kedelai desa yang menempatkan diri lebih rendah dari makhluk-makhluk halus. Mereka mengulang-ulang cerita hantu sehingga lebih besar dari sang hantu sendiri. Jika tidak cermat, dongeng adalah tuah, setiap kali kau mengulanginya setiap kali ia memperanak diri. Perlakukanlah dongeng sebagai tempat menyimpan informasi. Informasi semata-mata data, bukan nilai. Data memiliki tingkat keshahihan yang berbeda. Data bisa dikumpulkan dari berbagai penjuru.

Kesadaran modern membebasakan manusia dari takhayul, dari  batas dan ketakutan yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak bisa dibuktikan atau diterangkan akal sehat. Namun hanya mereka yang dapat mengambil keuntungan saja yang terbebaskan. Sisanya malah terjebak dalam takhayul baru. Pengetahuan tentang harga marmer di kota seratus ribu tak membuat tukang batu di Sewugunung dapat menjual marmer kampung halaman lebih dari seribu. Harga marmer di kota besifat khayal belaka bagi tukang batu. Fasilitas modern adalah takhayul juga, takhayul baru.

Sayangnya kesadaran modern lebih cenderung pada alat kepentingan individu, sedang takhayul adalah alat untuk menjamin kepentingan bersama. Kepercayaan tentang roh adalah alat untuk menjaga alam yang merupakan milik bersama. Modernisme memiliki jalan yang lurus, tapi tidak tujuan yang lurus. Takhayul memiliki tujuan yang lurus, tapi tidak jalan yang lurus. Modernisme adalah alat untuk memperalat. Takhayul adalah alat untuk diperalat. Takhayul adalah alat untuk menjaga bumi dan seisinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun