Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumah Menulis dan Luana (9th Kompasiana)

11 November 2017   15:32 Diperbarui: 11 November 2017   20:19 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

I

Ruang menulis Kompasiana bagi saya lebih dari sebuah ruang kecil dengan sebuah meja, selembar kertas putih dan pena. Kompasiana bagi saya lebih seperti rumah, besar, banyak lampu, bercat warna-warni. Ada kursi bersayap tempat saya menulis dan jutaan ide mengambang di langit-langit. Ada terlalu banyak kenangan di rumah ini, namun jika harus memilih satu saja yang paling berarti, itu adalah hari ketika saya pertama kali bertemu dengan Luana.

Luana, perempuan berambut sepundak yang selalu terlihat muram. Mulutnya yang terkatup karena sudah lelah bercerita pada manusia lain tentang ambisi-ambisinya yang mereka tertawakan, seolah memaksa saya untuk menulis kisahnya. Di rumah ini, kisahnya didengar.

Saya masih ingat pertama kali kisah Luana muncul sebagai artikel utama rumah menulis ini. Kisah-kisah yang awalnya hanya berupa paragraf-paragraf yang terasa janggal, bahkan bagi saya sendiri, dibaca oleh ratusan manusia yang entah mengaharap apa.

Saat itu saya berbisik, "hei, Luana. Kita berhasil."

II

Tak berhenti sampai di situ, kisah Luana juga dimunculkan dalam berbagai artikel, baik yang ditulis langsung oleh pengurus rumah menulis ini ([Kurasi Fiksiana] Karena Surealisme Meliarkan Imajinasimu, dan 11 Cerpen Desember 2015 Pilihan Kompasiana), mau pun yang ditulis oleh penulis-penulis senior Kompasiana yang saya kagumi, seperti Pak Ikhwanul Halim (Terinspirasi Berbagi Inspirasi), Mas Ahmad Maulana S (Dzikir Karya: Yang Fana adalah Belajar Menulis, Bebal Kita Abadi), dan sebagainya.

Selain kisah-kisah Luana, saya juga menulis kisah-kisah lain yang datang dari kegundahan Alka, Nila dan lain-lain. Beberapa dari kisah-kisah ini berdampingan dengan kisah-kisah lain dari penulis-penulis hebat yang dipertemukan dengan saya melalui komunitas-komunitas fiksi di Kompasiana, telah dibukukan menjadi antologi dan telah sampai di tangan penikmat fiksi dari berbagai daerah di Indonesia.

Dari semua buku antologi yang pernah terbit, yang paling berkesan bagi saya adalah "Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman". Saya, yang saat itu masih (dan selalu) amatir, tetiba diajak Mbak Desol untuk membuat fiksi bersambung bersama dengan penulis-penulis hebat yang sudah jauh lebih lama menggiati fiksi di kanal fiksiana, seperti mas S Aji, mbak Lilik Fatimah, mbak Putri Apriani, mas Pical Gadi dan lain-lain. Aneh rasanya menulis romansa misteri, rasanya saya yang terbiasa mengawang-ngawang diajak untuk sesekali menginjak bumi, dan berkenalan dengan Rhein yang jatuh cinta pada Gie dan bercangkir-cangkir kopi, perempuan rekaan mbak Reinara Yuki. Namun, ya, tamasya di bumi memang menyenangkan.

source: http://poetriapriani.blogspot.co.id/
source: http://poetriapriani.blogspot.co.id/
Akhir tahun 2016, entah mengapa nama saya muncul sebagai salah satu nominator penulis-penulis fiksi terbaik Kompasiana, berdampingan dengan pegiat-pegiat fiksi lainnya. Sebelumnya, saya tidak pernah menyangka obrolan-obrolan kecil saya dengan Luana suatu saat bisa didengar bahkan mendapatkan begitu banyak dukungan. Saat itu saya menyadari bahwa satu-satunya alasan yang membuat Kompasiana layak disebut rumah adalah karena ada banyak manusia-manusia hebat yang saling mendukung dan mengapresiasi satu sama lain di sini.

III

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun