[caption id="attachment_130782" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pembantu saya di rumah tak ada yang tidak sholat. Memanggil mereka harus lihat-lihat, waktunya sholat bukan. Satu persatu bergilir menjalankan ibadah lima waktunya. Maghrib pun ada yang membaca kitab suci Al Quran. Menyentuh sekali memang. Sopir saya demikian pula. Ia akan berlari mencari mushola terdekat bila sudah waktunya azan menggema. Tentu saja saya mensyukuri segala suasana religius ini yang berada di lingkungan terdekat saya. Suatu hari saya mengobrol dengan para pembantu saya. Saya tanya, berapa lama belajar mengaji sehingga bisa membaca Al Quran demikian lancar. Dan beberapa pertanyaan lain. Sampai pada akhirnya saya bertanya, surat apa yang untuk kalian paling 'mengena' dalam bacaan sholat. Dan coba sebutkan alasannya. Mereka gelagapan dan tak mengerti maksud saya. Begini ya, kata saya. Kamu kan membaca Al Fatihah. Artinya apa sih? Ya begitu deh bu..., pokoknya yang penting dibaca saja. Artinya nggak pernah tau.  -- Saya bengong. Okey, saya tanya sekali lagi nih, setuju tidak kalau bacaan Robbifirli Warhamni dan seterusnya itu adalah doa yang bagus sekali, penting sekali....-- Mereka geleng-geleng kepala. Jadi, kalian tidak pernah tahu bahwa dalam Robbifirli itu kita minta ampunan, kesehatan, aib yang ditutup, derajat yang dinaikkan segala macam itu? Mereka kembali menggeleng. Kalau begitu, bacaan Attahiyat yang paling panjang pasti tetap tidak mengerti artinya dong? Mereka mengangguk serentak. Lha, dalam bacaan itu ada bacaan dua kalimat syahadat, artinya apa sih? -- ya sama saja bu... semua dibaca saja tapi nggak tau artinya. Yang penting kan orang Islam harus sembahyang. Kalau tidak, masuk neraka. Saya terpana. Sopir saya demikian pula. Setelah saya tanya hal yang sama, persis pula menjawab semacam itu. Tidak satu potong kalimatpun yang mereka mengerti artinya. Ditanya lebih rinci mengapa demikian, jawabannya seragam : tidak diajarkan oleh guru mengaji mereka ! yang penting bisa sholat, hafal semua bacaanya, dan harus pandai mengaji. Sedih sekali saya membayangkannya. Betapa guru agama di sekolah mereka dulu, atau guru mengaji di kampung telah mengajarkan orang-orang ini sesuatu yang 'buta' tanpa makna. Manusia yang dicetak bagaikan hanya sebagai robot-robot tak bernyali dan tak paham yang diucapkan, yang diminta, dan yang didoakan. Seketika ingatan saya muncul saat wartawan di Istana sedang berkumpul menunggu usainya Sidang Kabinet di Bina Graha. Ketika salah satu menteri mencari-cari fotografer setelah acara usai, lama ditunggu baru muncul. Kamu sedang apa, kok dari tadi ditunggu-tunggu tidak datang? Sang fotografer berkata bahwa ia baru selesai sholat di mushola. Pak menteri iseng bertanya, yang kamu baca semua itu, tahu tidak artinya? -- Yang ditanya hanya senyum-senyum saja, dan menjawab, yaaaa... yang penting kan sholat pak Menteri ...! -- Saya ingat si menteri bengong mendengar jawaban itu. Lalu ia menyebut beberapa bacaan, mulai dari 'AllahuAkbar, kabiro wallhamdu lillahi katsyiro, wa subhannalabrukataw wa ashila.....wajahtu.. dst, sampai Alfatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, Al Insyiraah, sampai bacaan akhir Attahiyat - semua beserta artinya lengkap yang disebut secara lancar oleh si menteri.  Sang fotografer dirangkul sembari nasihatnya, ingat ya, berbicara kepada Tuhan harus kita mengerti apa yang kita bicarakan.... Baru-baru ini teman saya mengeluarkan sopirnya yang sudah bekerja beberapa tahun dengannya. Entah mengapa, orang yang dikira sholeh, jujur dan rajin beribadah itu ternyata rajin pula nyopet duit majikannya. Mulai dari uang receh parkiran yang disimpan di laci mobil, sampai pembelian bensin yang dicatut. Akhirnya secara tidak hormat orang itu dikeluarkan. Kata teman saya sembari bersungut-sungut, kenapa ya padahal dia rajin banget sholatnya...--- saya kembali bertanya, kira-kira dia tahu tidak ya arti dari kalimat Ihdinna sirottolmustaqim... sebab kalau dia tahu, minimal dia tidak akan berlaku curang dan bermental korup. Itu persoalan 'kecil' dari 'orang-orang kecil' . Sekarang, bagaimana dengan manusia Indonesia lainnya, yang tumbuh sebagai kaum intelektual, berpendidikan tinggi, terhormat, bahkan pejabat tinggi dan para jenderal sekalipun? Apakah diam-diam sesungguhnya mereka tidak pula paham arti 'dialog' kepada Tuhannya saat melakukan upacara ritual sholat lima waktu itu? Sering kita mendengar ejekan, sholat rajin, korupsi rajin juga. Puasa, naik haji dan umroh rajin, tapi bersumpah palsu, menipu, manipulatif, dan berkolusi tetap jalan terus. Lagi-lagi, semua ini terjadi apakah karena manusia tak mengerti (atau enggan untuk mengerti ) apa yang dikatakan selama bersembahyang, sehingga antara doa dan implementasi sungguh berbeda hasil akhirnya? Paling tidak, minimal, bila kita betul-betul paham apa yang menjadi makna, arti dari bacaan sholat kita sehari-hari yang isinya amat sangat indah itu, segala keburukan yang menempel di diri kita akan jauh berkurang, bahkan kita dihindari dari hal-hal tercela. Tuhan memang Maha Mengetahui, saya paham betul akan hal itu. Namun alangkah baiknya kita berbicara kepada Sang Khalik dengan memahami semua yang kita bicarakan. Ibarat kita ingin makan karena lapar, lalu kita akan mengatakan 'Ich habe hunger' kepada si orang Jerman, dengan segala pemahamannya, tentu akan lebih enak bukan? Lha orang lapar, lalu kita bilang 'Ich habe Angst' ( saya takut), tentu bukan makanan yang akhirnya terhidang di depan mata. Sekarang banyak sekali buku-buku doa dan bacaan sholat di toko buku, yang sudah pasti dibarengi dengan artinya dalam bahasa Indonesia. Tentu ada baiknya kita 'berkata-kata' pada sholat tetap dalam bahasa yang telah ditetapkan yaitu bahasa Arab, namun pakailah juga kesempatan kita untuk melihat terjemahannya secara lengkap. Sambil menarik nafas panjang, saya bagikan buku-buku tuntunan sholat, bacaan doa lengkap dengan artinya, kepada pembantu dan sopir saya belum lama ini. Tak lagi ingin rasanya saya mempersalahkan guru-guru mereka masa lalu. (dan saya yakin sampai sekarang masih banyak pelajaran sholat dan membaca doa-doa, ayat suci Al Quran yang diajarkan di kampung-kampung, hanya sebagai hafalan mati saja tanpa diajarkan artinya). Yang penting bagi saya, mereka mau menerima usul saya dengan hati terbuka, untuk mulai sekarang memahami apa yang mereka 'obrolkan' kepada Tuhan dalam keseharian ritual sholat lima waktunya......