Tak pernah kusangka sore itu akan menjadi sore yang kelam yang bakal terkenang sepanjang hidup. Sudah beberapa hari ini daerah kami dilanda gempa, terhitung sejak hari Minggu tanggal 29 Juli 2018. Pusat gempa berada di Lombok Timur, tetapi aku yang berada di Lombok Utara pun merasakannya.
Gempa tidak hanya mengguncang pulau Lombok, tetapi juga pulau tetangga, Bali dan Sumbawa. Biarpun berlangsung hanya beberapa menit saja, goncangan bumi terasa hampir tiap jam.Â
Peringatan dari BPBD untuk selalu waspada terhadap bencana gempa susulan, membuat kita senantiasa terjaga, siap dengan segala kemungkinan. Beberapa hari berlalu, tapi nampaknya bumi belum jengah menggoncang kita, mengirimkan peringatan dari Tuhan Penguasa Alam akan kedurhakaan kita.
Baru dengan cara ini manusia bisa menyadari akan kesalahannya. Masjid sudah mulai ramai dengan jamaah, dengan harap cemas mereka malantunkan doa memohon ampunan dan perlindungan dari marabahaya dan bencana yang melanda.
Minimnya pengetahuan tentang kebencanaan membuat kita kebingunan untuk mengantisipasi bahaya yang ada. Himbauan untuk keluar rumah dan berlindung di bawah meja merupakan alternatif perlindungan yang paling mudah dilakukan jika seketika merasakan bumi tergoncang. Hal ini juga yang selalu aku tekankan setiap saat pada anakku, Angel, untuk segera keluar rumah jika gempa melanda.
Angel, satu-satunya gadisku, baru 10 tahun usianya, tapi dia sudah menjadi seluruh usia hidupku. Walaupun anak tunggal, dia tidak manja dan menuntut banyak hal dari kita orang tuanya.
Ayahnya yang hanya pegawai kantoran dan aku, ibunya, hanya seorang guru honorer. Kami hidup sederhana, dan berbahagia dengan apa yang kita punya. Angel seorang yang santun, pintar dan menyenangkan. Dia benar-benar bidadariku, permataku. Â Â Â
Sore itu Angel pamit seperti biasa, berangkat ke surau untuk mengaji dan melakukan sholat Maghrib. Aku pun mengiyakan dan berpesan padanya untuk hati-hati dan langsung segera pulang setelah sholat Maghrib.
Entah kenapa terbesit rasa khawatir di hati, padahal ini malam minggu, biasanya dia bermain ke tempat tetangga, tapi malam ini aku menginginkannya untuk di rumah saja.
Ayahnya dari tadi sore tadi pergi ke kota, mengambil handphone di tempat service, biasanya akan membawa pulang oleh-oleh biarpun hanya sekedar martabak atau terang bulan. Malam ini aku ingin bermalam mingguan di rumah bersama mereka. Ah, membayangkan saja membuatku bahagia. Â
Beberapa menit kemudian, terasa bumi bergoncang di bawah kakiku. Panik kurasa, karena kali ini goncangannya kencang sekali. Tak ada orang di rumah ini, otakku berputar cepat untuk segera menyelamatkan diri. Kaki ini sudah beberapa langkah dari pintu keluar, tapi goncangan itu serasa meruntuhkan langit, beberapa benda kudengar berjatuhan. Tiba-tiba mataku gelap ....