*Foto. doc.pribadi
Bagi saya menulis merupakan istri kedua. Jika sudah didepan komputer, dan melakukan aktifitas menulis, tak ada yang bisa mengganggu dan menarik perhatian saya. Istri dan anak-anak saya pun tak pernah berani mengganggu. Menulis menjadi curahan kegalauan hati dan pikiran saya, apapun yang masuk ke kepala dari apa yang saya lihat, saya baca dan saya dengar.
Menulis juga menjadi hobby yang awalnya hanya senang menulis di diary buku agenda, semenjak SMA dulu. Kini bagi saya menulis merupakan obat pelepas ketegangan pikiran. Dan terakhir, menulis juga merupakan dewa penolong jika saya sedang terjepit urusan keuangan. Lho koq bisa ?
Saya intensif dalam dunia menulis semenjak tahun 2005. Tak punya blog pribadi. Saya hanya mengirimkan saja ke beberapa media mainstream priangan timur. Semuanya saya arsipkan dengan baik. Semenjak 2012 kemarin saya buka lapak di Kompasiana, sebelumnya saya juga punya blog pribadi. Tapi pesona Kompasiana membuat saya tak melirik lagi blog pribadi tersebut. Betul sebagaimana kata Pendiri Kompasiana Kang Pepih Nugraha, Kompasiana telah menjadi personal blog killer yang membuat para pemilik blog pribadi meninggalkan lapaknya.
Selain menulis di blog keroyokan Kompasiana ini, Saya tetap mengirim beberapa tulisan yang saya anggap layak ke bebarapa media mainstream yang ada di daerah saya, yaitu Koran Kabar Priangan (group Pikiran Rakyat) dan harian Radar Tasikmalaya (Group Jawa Pos) serta website ormas kepemudaan Gerakan Pemuda Ansor yang juga menyediakan rubrik opini.
Saya selalu menambahkan pesan kepada redaktur opini media-media tersebut “ Yth. Redaktur Opini....sekiranya layak, terima kasih”. Hanya itu kata-kata yang saya kirim. Dan selebihnya saya tak pernah lagi memikirkan, apakah tulisan saya naik atau tidak. Tapi proses menulis di media mainstream yang saya lakukan semenjak tahun 2005 tersebut, ternyata telah menghasilkan sekitar 100an artikel opini saya yang dimuat di media lokal tersebut. Lalu apa kemanfaatannya?
Saya menjadi sangat dekat dengan kalangan jurnalis dan para pengelolanya. Sekali-kali saya main ke redaksi dan ngobrol ngalor ngidul, berdiskusi tentang apa saja. Dari seputar persoalan yang sedang hangat dan menjadi trending topik di media hingga urusan remeh temeh aktifitas hobby. Dari situ saya benar-benar mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan seputar dunia jurnalisme.
Selain itu, aktifitas saya tersebut ternyata sering menjadi dewa penyelamat ketika situasi dompet saya sedang terjepit. Sebagai manusia biasa, saya juga tentu pernah merasakan bagaimana tidak punya uang sama sekali, apalagi jika saya habis melakukan sesuatu yang menguras tabungan saya. Seperti pasca membangun rumah, atau melahirkan istri dengan cesar. Sementara kebutuhan untuk membayar speedy atau pulsa modem flash menunggu untuk tetap bisa menyala hijau.
Jika sudah begitu, saya suka menelpon ke redaksi “ Ada berapa artikel saya yang naik cetak?”. Kalau jawaban sekretaris redaksi “ Ada lima kang, kapan mau kesini?”, maka serasa teranglah kembali dunia ini. Saya suka langsung meluncur menuju kantor media tersebut. Karena biasanya saya suka mengirim begitu saja tulisan-tulisan saya, itung-itung “menabung” di media, yang sekali-kali bisa diambil.
Alhamdulillah, dari honor tulisan yang muat di koran tersebut, keadaan terjepit untuk sekedar membayar langganan speedy dan pulsa modem, saya terselamatkan. Sehingga tak mengganggu anggaran utama rumah tangga.
So, bagi saya menulis, menjadi saluran keluar dari sebagian beban kehidupan saya. Beban pikiran dan kegalauan tersalurkan, beban bayar itu ini juga terbantu...So menulis itu selain memberi manfaat, jika terus dilakukan dengan konsisten pasti akan mendatangkan manfaat. Meski itu bukan satu-satunya tujuan. Selamat terus menulis.