Mohon tunggu...
Koswara KS
Koswara KS Mohon Tunggu... -

noblesse oblige pangkat membawa amanah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mudah-mudahan Saat Ini Tidak Ada Lagi Mahasiswa yang Jadi Tumbal untuk Kenikmatan Orang Lain Meraih Kekuasaan

19 Oktober 2010   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:17 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hanya sedikit diantara kita yang ingat peristiwa yang terjadi pada masa 55 tahun yang lalu saat penembakan Arif Rahman Hakim dan Siti Zubaedah. Peristiwa itu bermula pada tanggal 3 Januari 1966, ketika bung Karno menaikkan harga bensin menjadi Rp. 1000 per liter. Padahal harga bensin itu baru saja naik pada 26 Nopember 1965 menjadi Rp. 250 per liter. Harga beras tak terkendali. Di Jakarta, harga beras yang semula Rp. 1000 per kilogram mendadak melonjak menjadi Rp. 3500 per kilogram.

Akibat situasi itu, tanggal 10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, retur Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga.

Tanggal 24 Pebruari 1965, mahasiswa di Jakarta  turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Ban mobil-mobil dikempeskan sehingga menteri-menteri  yang akan dilantik terhambat ke istana. Barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus penjagaan ketat tentara hingga bisa sampai ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim, mahasiswa Kedokteran UIdan Siti Zubaedah seorang pelajar anggota KAPPI dari Bandung.

Meninggalnya dua demonstran itu membuat demonstrasi semakin panas. Situasi ini membuat Soeharto berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang dikenal juga dengan Super Semar dan menjadi senjata untuk menjatuhkan bung Karno.

Lain lagi dengan peristiwa 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto dan Hafidhin Alifidin ditembak oleh aparat keamanan. Penembakan keempat mahasiswa itu sebelumnya diawali dulu oleh situasi ekonomi yang memburuk yang diikuti dengan kenaikan harga BBM, penurunan nilai rupiah dari Rp 2000 per dolar menjadi Rp16.000 per dolar serta PHK besar besaran.

Hari berikutnya, 13 Mei 1998 terjadi demonstrasi yang lebih besar dan diikuti dengan kerusuhan massal yang berlanjut pada keesokan harinya, 14 Mei 1998. Kerusuhan mssal itu mendorong DPR pada tanggal 18 Mei 1998 meminta Suharto untuk mengundurkan diri dengan anaman, kalau tidak segera mundur, maka tanggal 25 Mei 1998 akan dilakukan Sidang Istimewa MPR untuk menurunkan Suharto. 21 Mei 1998, Suharto pun terpaksa menundurkan diri.

Dari kedua catatan sejarah itu, jelas sekali bahwa akibat dari meninggalnya mahasiswa saat demonstrasi, terjadi kerusuhan massal yang diakhiri dengan tumbangnya kekuasaan. Namun, untuk dapat terajdi kerusuhan massal itu harus ada factor pendukungnya. Yaitu situasi ekonomi yang memburuk serta tindakan represif penguasa.

Besok, dikabarkan akan ada demonstrasi besar besaran di Jakarta dan kota kota lainnya. Mahasiswa di Makassar sudah mulai melawan polisi. Kebetulan tanggal 20 Oktober besok ada Rapat gubernur se indonesia di sana yang dihadiri oleh pak SBY. Mungkinkah ada seorang atau beberapa mahasiswa yang meninggal besok? Kalau ada yang meninggal, mungkinkah ini bisa dijadikan awal untuk terjadinya kerusuhan massal seperti 25 Februari 1966 dan 13-14 Mei 1998?

Secara logika, tidak ada factor pendukung untuk menimbulkan kerusuhan besar besaran. Di jaman pak SBY ini tidak ada factor pendukung kerusuhan berupa ekonomi yang morat marit. Saat ini ekonomi sumringah. Rupiah ditahan tahan agar jangan terlalu naik nilainya. Banyak investasi baru, baik dari luar maupun dari dalam sehingga pengamgguran terkendali. Pangan pun cukup sehingga tidak ada anjuran makan bulgur seperti jaman bung Karno dulu. Juga tidak ada penahanan tokoh, seperti jaman bung Karno dulu menahan buya HAMKA dan lain lainnya.

Sebenarnya, kalau mau menjatuhkan pak SBY, waktunya adalah tahun 2008 lalu saat krisis ekonomi melanda dunia. Kalau saja ekonomi Indonesia ikut ikutan jatuh seperti Amerika, maka situasi seperti tahun 1966 dan 1998 terjadi lagi. Sayangnya saat itu ada Sri Mulyani, sehingga ekonomi Indonesia selamat.

Jadi, tidak ada factor pendukung untuk menimbulkan kerusuhan besar besaran saat ini. Mudah mudahan tidak ada yang ingin mengorbankan mahasiswa sebagai pijakan untuk naik ke singgasana kekuasaan. Juga, mudah mudahan tidak ada mahasiswa yang berharap jadi pahlawan seperti Arif Rahman Hakim atau 4 pahlawan reformasi dari Trisakti dan jadi tumbal untuk kenikmatan orang lain meraih kekuasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun