Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

[Kurasi Fiksiana] Karena Surealisme Meliarkan Imajinasimu

22 Mei 2017   16:10 Diperbarui: 22 Mei 2017   20:09 5179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.robotspacebrain.com

Fiksianer, pernahkah pada saat terbangun di pagi hari Anda merasa terkejut? Beberapa detik kemudian Anda jadi ingat kalau Anda sedang menginap di hotel. Atau, katakanlah pada saat terbangun itu Anda kaget menjumpai seorang lawan jenis terbaring di samping Anda. Lalu, Anda pun tersenyum mengingat dunia pernikahan yang baru saja Anda masuki. Ah, itu biasa saja. Bagaimana kalau pada saat terbangun, kasur yang Anda tiduri ternyata awan? Di sekeliling Anda adalah langit yang luas dan mendamaikan, tapi begitu Anda melongok ke bawah, ketakutan yang dahsyat menyergap Anda. Apa lagi yang terjadi setelah itu?

Anda tentu dengan mudah membedakan ketiga ilustrasi di atas, mana yang diterima sebagai realitas dan mana yang dianggap di luar realitas. Dalam dunia sastra, ada aliran penulisan yang dinamakan surealisme. Dalam aliran ini, pengarang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas). Lalu, seperti apakah karya-karya surealisme yang mewarnai kanal Fiksiana dalam bulan April 2017? Dari 436 cerpen yang tayang, Kompasiana memilih 3 cerpen surealisme di bawah ini untuk dibahas.

Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Andreas Messah)
Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Andreas Messah)
Gambaran besar masa depan bumi, terutama manusia, rupanya menarik bagi Wirdan Bazilie sehingga ia menuangkannya dalam cerpen Aku Jadi Anjing. Dalam cerpen ini, manusia digambarkan sebagai sesuatu yang komunal, berkehendak dan melakukan hal yang sama. Hanya sebagian kecil di antaranya yang memilih sikap berbeda. Mereka mengejar angin dengan hasrat kepemilikan yang tinggi. Terserah Anda mengartikan “angin” tersebut sebagai simbol apa. Yang jelas, sepanjang cerita, Anda akan menemukan simbol dan metafora berceceran.

Dalam pengejaran itu, banyak manusia mati. Mereka yang masih hidup lalu berlari menuju rumah. Pepohonan dan binatang berusaha memangsa manusia seolah dendam atas perlakuan manusia terhadap mereka. Keadaan chaos. Manusia pun berusaha melarikan diri ke bulan dengan kereta lalu mati sebagai korban kebohongan pemerintah yang mengatakan kereta tersebut bisa menembus kecepatan cahaya.

Ketika dunia kembali tenang, tiba-tiba manusia kehilangan cinta dan kasih sayang, diganti dengan rasio dan logika. Ending mengentak pun dihadirkan dengan munculnya tokoh utama si aku, yang tak sudi sebagai manusia tanpa cinta dan kasih sayang lalu memilih menjadi anjing. 

“Aku Jadi Anjing” menyajikan akhir kehidupan yang mengerikan, seperti dalam film-film futuristik. Keserakahan dan kesewenang-wenangan manusia, teknologi yang dielu-elukan, dan kehidupan dingin manusia tanpa hati tergambar dalam cerita pendek ini. Jika bibitnya sudah tampak dalam kehidupan sekarang, apakah manusia akan tak perlu diingatkan? Mengingatkan, barangkali itulah amanat besar cerpen ini.   

Sumber gambar: http://www.guoguiyan.com
Sumber gambar: http://www.guoguiyan.com
Adakah kota di dunia ini yang mengagung-agungkan pelukis dan merendahkan profesi dokter? Ada. Itulah kota dalam kehidupan Luana, gadis rekaan Livia Halim.

Luana merasa diteror ketika untuk ketiga kalinya dia menerima pesan dari email yang tidak dikenalnya. Isi pesannya selalu sama, “Luana, apa cita-citamu?”. Luana sudah menjawab bahwa cita-citanya adalah pelukis, seperti halnya cita-cita semua anak di kotanya. Namun, balasan pesan itu berbalas pesan yang sama sehingga Luana jadi meragukan apakah benar cita-citanya adalah pelukis.

Di kota Luana, pelukis adalah profesi yang sangat berharga sehingga semua orang tua dan anak-anaknya sepakat untuk menjadikan pelukis sebagai cita-cita. Sementara itu, dokter disebut-sebut sebagai pekerjaan mudah, bahkan hina. Sebuah argumentasi menarik ketika Livia Halim dalam cerpen ini menyampaikan bahwa dokter dicaci-maki karena meminta uang dari orang sakit dan bahwa pekerjaan dokter hanya menghafal dan menganalisis, serta membedah mayat adalah pekerjaan mudah dan biasa. Sayangnya, cerpenis aliran surealisme ini tidak menyinggung sisi berharga dari profesi melukis.

Membaca cerpen ini, sangat terasa adanya gugatan terhadap tatanan suatu masyarakat. Dalam realitas masyarakat kita, bukankah sebagian masyarakat memuja profesi dokter dan para orang tua mewanti-wanti anak mereka untuk tidak mengambil jurusan seni di perguruan tinggi?    

Apakah selesai cerpen ini hanya dimaknai sebagai gugatan atas profesi? Tidak. Livia Halim juga menyasar warga kota di dunia Luana yang cenderung homogen. Mereka yang berbeda dikucilkan seumur hidup. Melalui seorang Luana, Livia Halim mempertanyakan apakah kita sama belaka dengan orang-orang kebanyakan? Sama hanya karena takut dikucilkan? Ketika ada orang yang mempertanyakannya, seperti halnya pesan sama yang diterima Luana berkali-kali, akankah kita mau menjawabnya, atau sekadar menghindar seperti Luana dengan melaporkan kepada polisi atau membuat email baru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun