Perasaan-perasaan yang menelusuri kenangan tentangnya menjadi begitu kental, ketika jemari tangannya tak sengaja menjatuhkan foto usang dari tumpukan buku cerita  miliknya. Ia tersentak mengingatnya. Lelaki hitam manis dengan mantel kesayangan yang sengaja disematkannya ketika gigil begitu kuat menjamah tubuh ringkihnya di bibir Tangkuban Perahu pada suatu perjalanan pesiar.Â
"Pakai saja, supaya kamu tidak kedinginan." bisiknya baik dan lembut.
"Malu aku, kalau itu bukan jaketmu," tolakku halus.Â
"Jaketku kok. pakai, gih," senyumnya begitu hangat  membalut tubuh dinginku. Lalu dia kenakan jaket itu padaku. Perasaanku tersengat, kuakui aku tak berani mendustai perasaan.Â
"Terima kasih,Priem," balasku bergetar.
Dia mengangguk., sembari mengusap halus rambutku.
"Mesranya...." teriakan beberapa teman mengagetkan kami.Â
Beberapa teman lain serentak berpaling ke arah kami. Ekspresi mereka terlihat heran. Seorang ketua panitia tour tingkat fakultas dan  disukai begitu banyak perempuan di kampus ini, tiba-tiba saja menyodorkan jaketnya untukku. Apalah aku di matanya? Â
Beberapa terlihat tersenyum simpul menggoda, bahkan Jaya begitu kuat melontarkan suitannya. Â Melengking seakan ingin memecahkan karang-karang dan bebatuan kawah Gunung Tangkuban Perahu. Â
Aku dan Priema menjadi sadar bahwa kami telah mengalihkan fokus mereka. Bahkan, Diva sesempatnya mengabadikan gerak-gerik kami. Foto itulah yang dihadiahkan Priema buatku saat kami saling mengikrarkan perasaan, setelah perjalanan tour fakultas itu. Priema sama denganku, diam-diam saling memperhatikan, mengagumi dan menyimpan rasa untuk saling memiliki.Â
"Aku menyayangimu, karena aku menyayangimu," katanya jenaka saat menyatakan cintanya padaku.Â