Mohon tunggu...
Khadeejannisa
Khadeejannisa Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

بسم الله Menulis adl caraku berbagi dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nikmatnya I'tikaf dan Berlebaran di Madinah

29 April 2024   14:01 Diperbarui: 29 April 2024   14:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Assalamualaikum sobat Kompasiana...cukup lama juga tak nimbrung disini yah.

Setelah melewati up and down kehidupan akhirnya bisa balik nulis lagi yeayyy!

Sedikit berbagi kisah yang bagi saya sangat berharga, pengalaman pertama dan rasanya ingin kembali mengulangnya di lain kesempatan.

Berbekal nekat dan Bismillah, saya berangkat untuk Umrah di akhir Ramadhan dan awal Syawal tahun ini. 

Ya...masih sangat membekas dalam ingatan karena bulan Syawal bahkan belum berakhir.

Tak mengapa menghabiskan tabungan untuk nominal yang bagi saya pribadi cukup besar, namun sebagai gantinya saya mendapatkan banyak sekali anugerah dalam perjalanan spiritual kali ini.

Jumat, 29 Maret 2024 saya berangkat meninggalkan tanah air menuju tanah suci Mekkah. 

Pengalaman pertama bersafar dalam keadaan puasa Ramadhan yang Alhamdulillah 17 jam baru berbuka di atas langit Oman, tempat kami transit sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Rasa dahaga yang memuncak akhirnya terpuaskan oleh segelas air dalam snack box  yang dibagikan awak kabin, MashaAllah nikmatnya.

Cukup menggelitik ketika kala itu, sepasang suami istri lanjut usia yang duduk disamping saya bolak balik bertanya "Mba...sudah buka belum?" Saya pun tersenyum seraya menggeleng "belum bu". Tak puas dengan jawaban saya, mereka menunjuk kearah jendela di samping, "itu udah gelap mba?" "Hehe...mungkin kacanya saja gelap bu, itu jendela-jendela lain di bagian depan masih diterangi sinar mentari" "Ooo..kata mereka kompak sambil menaruh kembali snack box yang sedari tadi dibuka-tutup" Itu saja? Oh..tentu tidak! 

Seorang ibu bercadar dan mengenakan gamis berwarna gelap yang bukan merupakan rombongan travel kami berkeliling sambil berkoar-koar "Pak..buk..sudah buka nih!" "Speaker pesawatnya rusak..makanya ga ada pengumuman berbuka!" cetusnya lagi. Kedua pasutri tadi kembali memandang kearahku "Saya tadi sudah nanya pak, kata pramugari belum buka" "Nanti pasti diumumin kok" "Ini juga di aplikasi layar depan kita jelas tertera bahwa waktu Maghrib masih kurang setengah jam lagi" jelasku panjang lebar. 

Kutengok beberapa penumpang termasuk beberapa anggota travel kami sudah menikmati hidangan masing-masing. "Yah..sudahlah..namanya juga gak sengaja..gak tahu..Allah Maha Baik" ujarku dalam hati. "Penumpang yang terhormat, kami informasikan bahwa waktu Maghrib telah tiba. Selamat berbuka bagi yang sedang menjalankan ibadah puasa" terdengar suara pengumuman captain Mohamed dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia. Kegaduhan sempat terdengar lantaran beberapa penumpang merasa menyesal sudah "berbuka" duluan. hehe

Pukul 12.15 malam kami tiba di bandara Muscat, Oman. Melewati proses imigrasi, membersihkan diri dan segera bersiap untuk berganti pakaian ihram. Dibimbing oleh ustadz selaku tour leader kami berniat untuk melaksanakan umrah pertama di atas pesawat dengan miqat Yalamlam. 

Ibadah umrah kali ini bisa dibilang penuh dengan perjuangan, Masjidil haram dipenuhi lautan manusia dari berbagai penjuru dunia. Saking ramainya, kami melakukan tawaf selama satu setengah jam. Selanjutnya melakukan sa'i di lantai tiga selama dua setengah jam. Alhamdulillah ditutup dengan tahalul, kami berhasil menyelesaikan rangkaian ibadah umrah yang pertama. Selepas umrah kami beristirahat sejenak lantas melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Ya, tujuan awal kami 30 orang dalam rombongan adalah beri'tikaf di masjid Nabawi selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kebanyakan dari kami terbiasa beri'tikaf di masjid tanah air dan menganggap i'tikaf di Nabawi tak beda jauh dengan di negeri sendiri. Namun kenyataannya tak sepenuhnya benar hehe. Banyak petualangan seru yang harus kami jalani selama bermalam di masjid Nabawi. 


Malam ke 27 adalah puncak kepadatan yang MashaAllah baru kali itu saya menyaksikan sendiri, jutaan manusia berlomba-lomba untuk memasuki masjid Nabawi. Biasanya selepas Maghrib kami keluar sebentar untuk mengambil nasi box dan berbuka di pelataran masjid. Namun malam itu mustahil untuk dilakukan. Kami yang berada di dalam masjid hanya memiliki ruang gerak sebadan saja.

 Shaf yang seharusnya diisi dua baris, dijejali menjadi tiga baris. Sederet saya yang biasanya berisikan 8-9 orang menjadi 14 orang. Kebayang kan gimana penuhnya, apalagi kami bangsa Melayu sebagai kaum minoritas. Kebanyakan jamaah adalah warga India, Pakistan dan Bangladesh. Sesekali nampak rombongan dari Uzbekistan, Khazakstan, Siria, Mesir dan Turki. Sisanya random dan semakin jarang yang datang berkelompok.

Sejauh mata memandang lautan manusia membuat hati ini trenyuh dan terharu. Pelataran masjid dipenuhi dengan wanita berjubah hitam dan mayoritas bercadar. Anak-anak, bayi, balita, lansia tampak bersemangat dan riang gembira. Malam itu tak ada pergerakan yang berarti. Jamaah yang didalam tak bisa keluar, begitupun sebaliknya jamaah luar pun tak diijinkan masuk. Mungkin para petugas bakal kewalahan mengoordinir jemaah yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak. 

Kami saling berkabar di grup chat, sebagian ada yang terjebak di antrian halaman depan masjid, ada yang menyerah dan sholat di halaman luar masjid, ada yang hendak buang hajat ke toilet saja harus berjuang mati-matian menrobos lautan manusia, dan sisanya termasuk kami harus berdiam diri di dalam masjid. 

Puas berbuka puasa seadanya dengan sisa snack yang dibagi saat iftar tadi oleh pengurus masjid. Tak berani beranjak dari tempat duduk karena rawan dialih tempati oleh jamaah lain hehe. Merasa sangat beruntung karena sudah berada di dalam masjid sementara jamaah lain tak punya kesempatan yang sama.

Malam itu doa yang dilantunkan oleh Syekh Ali Al Hudzaifi teramat panjang, khusuk dan menyayat hati. Meski kami tak tahu persis arti dari setiap doa yang dipanjatkan, kami mengAminkan dengan serius dan tak satupun jamaah yang tak trenyuh hingga meneteskan air mata. Bahkan banyak juga yang menangis tersedu-sedu terdengar teramat pilu. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ampunanNya bagi kita semua. 

Tibalah di penghujung Ramadhan, malam ke 30 kami para musafir bersuka cita menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Pulang ke hotel seusai shalat Isya, bersiap untuk merayakan hari kemenangan keesokan harinya. Namun ternyata, keputusan kami saat itu kurang tepat. Waktu dimana kami keluar dari masjid sekaligus waktu dimana akses kawasan masjid Nabawi ditutup total. Jamaah dari dalam dipersilahkan keluar, namun jangan harap bisa kembali masuk. Karena jutaan calon penghuni surga lain sudah menjejali setiap sudut Nabawi. 

Pukul 4, adzan pertama dikumandangkan sekitar satu jam sebelum masuk waktu shalat Subuh. Kami bersiap mendatangi masjid dengan penampilan, baju dan wewangian terbaik. Hati yang berbunga-bunga menyambut Idul Fitri seketika berubah menjadi kecewa, saat membuka pintu hotel dan menyaksikan lautan manusia tumpah ruah begitu banyaknya. 

Halaman depan hotel kami yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid sudah penuh sesak. Tak mau menyerah begitu saja, saya dan salah seorang kawan mencoba mencari celah untuk masuk ke pelataran masjid. 

Sayangnya tak kesampaian, jalanan sudah diblokade oleh balok-balok pembatas jalan serta dijaga ketata oleh para petugas keamanan. Mencoba berkhushnudzon, mungkin bisa sedikit terurai setelah shalat Subuh. Lagi-lagi kami harus kecewa karena nyatanya kondisi semakin penuh membludak. Part tersedih kami hanya berhasil menempati shaf didepan halaman gate 322. Ya Allah...kalau tahu begini mungkin semalam nginap saja disini. Saya mencoba bertanya ke rombongan jamaah sekitar yang rata-rata mereka tiba semalam pukul 11-12 malam dalam keadaan gerbang gate masjid sudah tertutup rapat. 

Berusaha menerima takdir kami yang InshaAllah terbaik. Senandung takbir, tahmid dan tahlil baru berkumandang setelah shalat Subuh. Gema takbir tak seramai di tanah air yang bersahut-sahutan sejak malam lebaran bahkan diiringi dengan tetabuhan dan arak-arakan pawai keliling kota. Disini terasa lebih tertib, khidmat dan tenang. Ya...Madinah memang kota Nabi yang tenang dan menenangkan. Shalat Eid dimulai pukul 06.15 dilanjutkan dengan khutbah dan saling bermaaf-maafan. 

Ya Allah Ya Rabbi semoga Engkau memberikan pengampunan, menerima amal ibadah kami dan mempertemukan kami dengan Ramadhan serta lebaran di tahun-tahun berikutnya dalam kondisi yang jauh lebih baik. Doa khusus kupanjatkan agar kita semua bisa diundang, dimudahkan datang  ke tanah suci..di momen-momen terbaik bersama orang-orang tersayang. AAMIIN InshaAllah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun