Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertahankan Kedamaian, Hilangkan Adu Domba SARA

15 September 2017   06:49 Diperbarui: 15 September 2017   08:30 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Damai - www.123rf.com

Haruskah kita kembali ke periode 1999 di mana dikabarkan 5.000 nyawa melayang di Ambon, Maluku, karena konflik agama antara Islam dan Kristen? Tidakkah cukup 5.000 nyawa berikut trauma yang tersisa dan harus dikendalikan oleh masyarakat yang merasakannya? Terkadang, dalam situasi tertentu, terutama di masa kontestasi politik, kita bisa dengan mudah melupakan kenangan hitam yang pernah terjadi di masa lalu. Penyebabnya lebih banyak karena isu tersebut bergelinding dengan liar di area yang justru bukan menjadi area konflik di masa yang kelam itu.

Konflik sentimen atas nama agama di sekitar kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah salah satu contohnya. Glorifikasi isu yang menistakan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, harus kita terima hingga kini. Meski pada dasarnya situasi telah memasuki masa normal.

Ada persoalan dalam kejiwaan kita di dalam masyarakat. Di mana sentimen agama seakan-akan bisa "menghalalkan" konflik yang bisa mengakibatkan kematian ribuan jiwa. Dan jika berkaca pada Pilkada DKI Jakarta 2017, mereka yang terlibat dalam hiruk-pikuk itu adalah orang-orang yang justru ketika tragedi pecah di Ambon 18 tahun lalu masihlah anak-anak dan remaja.

Generasi baru yang tak sensitif bisa dikatakan adalah generasi internet. Mereka hidup dalam era di mana data mengatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika selama 2016-2017 menemukan aduan kebencian melalui SARA menduduki urutan ketiga dengan 165 aduan setelah pornografi (77.409) dan radikalisme (199).

Tetapi, Pilkada DKI Jakarta 2017 juga memberi pelajaran bahwa generasi internet ini, akan dengan mudah teralihkan perhatiannya ketika kontestasi politik selesai. Ketika kini kasus korupsi menjadi isu besar, maka ujaran kebencian itu tidak lagi marak. Dengan kata lain, para pengadu-domba atas nama SARA ternyata tidak selamanya bisa mendapatkan perhatian. Adu-domba SARA di zaman internet ini sangat dipengaruhi oleh momennya.

Bagi kita para pencinta perdamaian dan percaya pada kesaktian Bhinneka Tunggal Ika, kita hendaknya menyadari bahwa "suasana stabil" adalah cara untuk mempersiapkan diri ketika menghadapi ketidakstabilan yang sudah pasti bakal datang. Katakanlah kini adu domba atas nama agama tidak seramai di masa Pilkada DKI Jakarta 2017, namun situasi seperti ini adalah situasi yang harus kita pertahankan. Situasi di mana adu-domba tetap muncul namun tidak memiliki gaung yang bisa mengganggu kebhinnekaan.

Jika kita percaya bahwa internet dan media sosial merupakan sarana terpenting yang bisa menularkan adu domba, maka pengalaman pasca Pilkada DKI Jakarta 2017 telah mengajarkan bahwa mengabaikan adu domba di dunia maya adalah cara pertama untuk menunjukkan bahwa kita bukan domba aduan.

Di internet, Anda bisa mengabaikan apapun untuk menghindari pikiran Anda dari dominasi pihak-pihak yang merasa Anda bisa diarahkan berdasarkan kepentingan politik mereka. Terlebih lagi menggunakan SARA untuk memecah-belah. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun