Aku mendapat postingan lucu dari Path tentang pembantu. Ada seseorang yang bingung milih siapa pembantu berikutnya di antara tiga pembantu: pembantu no. 1 lancar berbahasa inggris tapi sering diawasi orang tuanya, pembantu no. 2 katanya pembantu lama dan kerjanya lancar tapi nggak seiman, pembantu no. 3 pintar bicara tapi ngomongnya putar-putar dan abstrak. Cerita lengkapnya bisa dilihat di gambar berikut.
Ya, postingan ini tak lebih analogi dari opini politik tentang Pilkada DKI Jakarta. Pembantu / Paslon No. 1 Agus-Sylvi dianggap sebagai sosok anak yang ikut orang tua, khususnya mengikuti Pak Susilo Bambang Yudhoyono; pembantu / paslon No. 2 Basuki-Djarot sosok berpengalaman dengan agama yang berbeda, dan pembantu / paslon No. 3 Anies-Sandi sebagai sosok cendekia bermulut manis dengan visi mengawang-ngawang. Sungguh cerdas penulisnya!
Aku sangat suka perumpamaan pembantu pada jabatan pegawai pemerintah, jabatan yang cenderung diagungkan seagung-agungnya, seakan dengan menjadi mereka, hidup itu enak, nyaman, dan sukses. Namun, apakah itu betul? Mari kita lihat pak petahana Basuki Tjahaja Purnama dalam kondisi kerjanya.
Kemarin saya menyaksikan Mata Najwa tertanggan hari Rabu 22 Februari 2017 yang mengundang Pak Basuki sebagai bintang tamu. Tak seperti biasanya, senyum sumringah Pak Basuki tak terlihat, malah mukanya terkesan penuh bintil-bintil atau keriput seakan kecapean. Memang sih beliau akhir-akhir ini keluar masuk ruang sidang terus karena ngurusin kasus penistaan agama, ditambah dengan stres ngurusin proyek pemerintah lagi. Namun, yang kali ini kok kelihatannya beda banget?
Beban dan musuh semestinya bukan barang baru bagi beliau, buktinya udah berkali-kali pindah partai dan pernah kena ancaman pembunuhan. Namun, dibanding waktu-waktu sebelumnya, sepertinya kasus penistaan agama, kampanye pilkada, kerja kantoran dan urusan lain-lainnya, telah memudarkan senyum di wajah Pak Basuki. Dalam acara itu, omongannya sangat tenang, tak ada nada tinggi, konten layak sensor (konten sensitif atau serapah) nyaris tak terdengar, sampai malah mengeluarkan seruan Basa Jawa yang halus. Seruan Basa Jawa itu seakan menandakan perpindahan gaya Pak Basuki yang meledak-ledak menjadi... tenang... layaknya sungai jernih. Wah, ada apa nih?
Aku tak ingin berkomentar soal politik, tapi ingin membayangkan diri di posisi Pak Basuki. Bayangkan aja, kerja kantoran dari pagi sampai malam, belum lagi harus berurusan dengan peliknya kasus agama dan politik. Salah satu kalimat menarik Pak Basuki di Mata Najwa: "Dulu waktu Pak Jokowi menjadi gubernur, saya gak pernah diserang... Saya fokus kerja saja... bahwa sebetulnya jadi pejabat publik... ngomongnya harus hati-hati" (Lihat cuplikannya disini) Dari kalimatnya, aku beranggapan bahwa Pak Basuki harus membelah kepalanya ke lebih banyak bagian, selain jadi pekerja kantoran, suami, ayah, anggota gereja, dan sekarang politisi; banyak banget intriknya. Pusing nggak tuh?
Secara pribadi, aku berharap Pak Basuki masih tetap seorang BTP: Bersih, Jujur, Transparan. Kejujurannya yang ganas dengan mengunggah rapat kerja ke Youtube, menerapkan sistem e-budgeting APBD DKI Jakarta yang transparan, dan ketegasannya mengurangi praktik korup di tempat kerja sangatlah inspiratif. Beliau pun tidaklah memamerkan dirinya, dia bahkan menyebut dirinya "anjing", "anjing" yang melindungi uang rakyat dari tangan para maling. Label pembantu sangatlah cocok untuk beliau sebagai pejabat daerah. Malah, aku pribadi senang jika pejabat dapat mencontoh mental pembantu dari Pak Basuki.
Pembantu macam apa pejabat daerah itu? Berikut perumpamaan sederhana. Ketika kita memberi uang belanja misal 100 ribu pada seorang pembantu, kejujuran pembantu tersebut akan diukur dari apakah mereka murni menggunakan  100 ribu tersebut untuk belanja di pasar dan mengembalikan sisanya, atau belanja sebagian untuk diri sendiri dan menyembunyikan dari tuannya. Artinya, ketika kita membayar pajak pada pemerintah demi kebaikan masyarakat, apakah pejabat menggunakannya untuk murni masyarakat sebagai tuannya?