Mohon tunggu...
Harjono Honoris
Harjono Honoris Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Generasi Ke-2 Penjaga Toko Obat Cina Makassar | Aktif di Instagram Multi Prima @obatmultiprima

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negeri Indonesia Butuh Lebih Banyak Pembantu Rakyat

27 Februari 2017   10:12 Diperbarui: 4 April 2017   21:10 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh Pembantu Rakyat, Pak Basuki. Sumber Gambar: Youtube MetroTvNews

Aku mendapat postingan lucu dari Path tentang pembantu. Ada seseorang yang bingung milih siapa pembantu berikutnya di antara tiga pembantu: pembantu no. 1 lancar berbahasa inggris tapi sering diawasi orang tuanya, pembantu no. 2 katanya pembantu lama dan kerjanya lancar tapi nggak seiman, pembantu no. 3 pintar bicara tapi ngomongnya putar-putar dan abstrak. Cerita lengkapnya bisa dilihat di gambar berikut.

Sumber Gambar: Twitter @pipis
Sumber Gambar: Twitter @pipis
Poin No. 2 itu paling aneh menurutku; cari pembantu ngapain pusingin iman, yah yang penting kerjanya beres mbok, apalagi udah berpengalaman. Aku gagal paham mengapa postingan ini banyak banget comment dan like-nya. Aku buka bagian comment dan lihat komentar begini: "Hehe, lagi ngomongin pilkada ya?". Berpikir sejenak, aku langsung tertawa terbahak-bahak.

Ya, postingan ini tak lebih analogi dari opini politik tentang Pilkada DKI Jakarta. Pembantu / Paslon No. 1 Agus-Sylvi dianggap sebagai sosok anak yang ikut orang tua, khususnya mengikuti Pak Susilo Bambang Yudhoyono; pembantu / paslon No. 2 Basuki-Djarot sosok berpengalaman dengan agama yang berbeda, dan pembantu / paslon No. 3 Anies-Sandi sebagai sosok cendekia bermulut manis dengan visi mengawang-ngawang. Sungguh cerdas penulisnya!

Aku sangat suka perumpamaan pembantu pada jabatan pegawai pemerintah, jabatan yang cenderung diagungkan seagung-agungnya, seakan dengan menjadi mereka, hidup itu enak, nyaman, dan sukses. Namun, apakah itu betul? Mari kita lihat pak petahana Basuki Tjahaja Purnama dalam kondisi kerjanya.

Kemarin saya menyaksikan Mata Najwa tertanggan hari Rabu 22 Februari 2017 yang mengundang Pak Basuki sebagai bintang tamu. Tak seperti biasanya, senyum sumringah Pak Basuki tak terlihat, malah mukanya terkesan penuh bintil-bintil atau keriput seakan kecapean. Memang sih beliau akhir-akhir ini keluar masuk ruang sidang terus karena ngurusin kasus penistaan agama, ditambah dengan stres ngurusin proyek pemerintah lagi. Namun, yang kali ini kok kelihatannya beda banget?

Mata Beliau Kelihatan Lelah. Sumber: Youtube MetroTvNews
Mata Beliau Kelihatan Lelah. Sumber: Youtube MetroTvNews
Sebagai ahli fengshui tak resmi (halah) menurutku wajah Pak Basuki ini penuh beban berat. Dahinya mengkerut, mukanya tak bersinar, dan senyumnya kurang banget. Apa tim tata rias acara tidak menemukan solusi, membuat beliau lebih camera face?

Beban dan musuh semestinya bukan barang baru bagi beliau, buktinya udah berkali-kali pindah partai dan pernah kena ancaman pembunuhan. Namun, dibanding waktu-waktu sebelumnya, sepertinya kasus penistaan agama, kampanye pilkada, kerja kantoran dan urusan lain-lainnya, telah memudarkan senyum di wajah Pak Basuki. Dalam acara itu, omongannya sangat tenang, tak ada nada tinggi, konten layak sensor (konten sensitif atau serapah) nyaris tak terdengar, sampai malah mengeluarkan seruan Basa Jawa yang halus. Seruan Basa Jawa itu seakan menandakan perpindahan gaya Pak Basuki yang meledak-ledak menjadi... tenang... layaknya sungai jernih. Wah, ada apa nih?

Aku tak ingin berkomentar soal politik, tapi ingin membayangkan diri di posisi Pak Basuki. Bayangkan aja, kerja kantoran dari pagi sampai malam, belum lagi harus berurusan dengan peliknya kasus agama dan politik. Salah satu kalimat menarik Pak Basuki di Mata Najwa: "Dulu waktu Pak Jokowi menjadi gubernur, saya gak pernah diserang... Saya fokus kerja saja... bahwa sebetulnya jadi pejabat publik... ngomongnya harus hati-hati" (Lihat cuplikannya disini) Dari kalimatnya, aku beranggapan bahwa Pak Basuki harus membelah kepalanya ke lebih banyak bagian, selain jadi pekerja kantoran, suami, ayah, anggota gereja, dan sekarang politisi; banyak banget intriknya. Pusing nggak tuh?

Secara pribadi, aku berharap Pak Basuki masih tetap seorang BTP: Bersih, Jujur, Transparan. Kejujurannya yang ganas dengan mengunggah rapat kerja ke Youtube, menerapkan sistem e-budgeting APBD DKI Jakarta yang transparan, dan ketegasannya mengurangi praktik korup di tempat kerja sangatlah inspiratif. Beliau pun tidaklah memamerkan dirinya, dia bahkan menyebut dirinya "anjing", "anjing" yang melindungi uang rakyat dari tangan para maling. Label pembantu sangatlah cocok untuk beliau sebagai pejabat daerah. Malah, aku pribadi senang jika pejabat dapat mencontoh mental pembantu dari Pak Basuki.

Pembantu macam apa pejabat daerah itu? Berikut perumpamaan sederhana. Ketika kita memberi uang belanja misal 100 ribu pada seorang pembantu, kejujuran pembantu tersebut akan diukur dari apakah mereka murni menggunakan  100 ribu tersebut untuk belanja di pasar dan mengembalikan sisanya, atau belanja sebagian untuk diri sendiri dan menyembunyikan dari tuannya. Artinya, ketika kita membayar pajak pada pemerintah demi kebaikan masyarakat, apakah pejabat menggunakannya untuk murni masyarakat sebagai tuannya?

Saling Melayani, Saling Membantu. Sumber Gambar: Flickr, Julien Harneis
Saling Melayani, Saling Membantu. Sumber Gambar: Flickr, Julien Harneis
Pak Basuki adalah salah satu "pembantu" terbaik yang dimiliki Indonesia, dan semoga lebih banyak lagi. Aku heran darimana Pak Basuki punya jiwa pembantu seperti itu. Pak Basuki dikenal sebagai sosok yang juga rohani, dengan kebiasaan rajin baca Alkitab dan beribadah. Bisa jadi gaya kepemimpinannya didapat dari ajaran agama, karena ada ajaran Yesus Kristus menurut Alkitab di Matius 20:28, dengan sedikit perubahan bahasa penulis berbunyi: Barangsiapa ingin besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pembantumu. (Lihat versi terjemahan aslinya disini) Mungkin disini inspirasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun