Kampanye pilkada DKI putaran ke-2 sepertinya berlangsung lebih senyap, tidak hingar-bingar, tetapi lebih brutal dan lebih tidak bermoral dibandingkan kampanye putaran ke-1. Kampanye senyap ini justru membuat menjadi jauh lebih sulit membuat prediksi, dan makin sukar mengukur dampak. Moral kampanye pilkada DKI sudah mencapai titik nadir, banalisme lebih tertonjolkan, barbarisme dipertontonkan dengan begitu vulgarnya. Meletihkan, mencemaskan, dan sangat memuakkan.
Spanduk “tidak bersedia mensholatkan jenazah pendukung penista agama” yang disebarkan di berbagai tempat, bukankah ini sangat memuakkan?, bahkan memuakkan bagi warga muslim itu sendiri. Kampanye putran ke-2 yang barbar ini sudah mengancam simpul saraf spiritual warga DKI.
Kampanye putaran ke-2 berjalan asimetris. Kecinaan Ahok selalu diungkit meski sejak lahir sudah jadi WNI, darah Arab di dalam diri Anis B tidak pernah disinggung sama sekali. Kekafiran Ahok menjadi thema utama, pada saat yang sama Anis yang sowan dan menjalin kerja sama dengan HT yang Cina dan kafir (setara dengan Ahok) tidak ada yang mempermasalahkan.
Sungguh, kampanye pilkada DKI putaran ke-2 tidak memiliki kandungan edukasi politik barang secuilpun, bahkan sangat merusak, membelah dan memisahkan. Nafsu angkara akan kekuasaan tersiarkan dengan sangat jelas dan benderang, hipokrit.
Begitu sulit untuk menemukan kelebihan calon lain, tetapi begitu mudah untuk mencari dan menemukan sesuatu di diri calon lain yang akan dieksploitasi habis-habisan sampai di luar akal sehat. Segala sumber daya diarahkan menuju kampanye barbar yang tidak bermoral ini. Pantas dicatat di lembaran hitam sejarah RI, tercatat sebagai event yang merusak.
“Lovers” dan “haters” berperang di medsos, dan perang itu berlangsung dengan amat sangat brutal, sama sekali tidak terlihat level pendidikan para lovers dan haters ini. Seorang lovers memposting tulisan dengan judul seolah-olah isi tulisan itu adalah asli dari Sri Mulyani, tetapi begitu dibaca dengan cermat terlihat jelas bahwa itu adalah opini penulis. Seorang haters memposting tulisan seolah-olah isi tulisan itu asli dari Din Syamsudin, ternyata hanya opini si penulis. Etika jurnalistik nol persen.
Perang kata-kata, menyiarkan makian dan cercaan, cerita hoax, menunjukkan baik lovers maupun haters telah sama-sama kehilangan rasio yang sehat.
Andai saya warga DKI, maka akan saya katakan persetan dengan pilkada DKI, persetan dengan calon-calon, persetan dengan lovers, persetan dengan haters, sebab DKI itu hanya seupil dibanding kebesaran NKRI, Hidup NKRI.
Persahabatanku lebih penting dari pilkada DKI, bahkan lebih penting dari siapapun yang menjadi Gubernur DKI. Aku berkehendak hidup damai, minus caci-maki.