Tidaklah mungkin membuat batas pemisah waktu yang jelas antara revolusi industri 1.0 dengan revolusi industri 2.0, dan seterusnya sampai ke masa kini, Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0), yang menjadi viral, digandrungi pemerintah, diseminarkan dan didiskusikan. Setiap revolusi adalah kelanjutan dari revolusi sebelumnya, keberlanjutan yang kontinu mengalir bukan melompat. Hanya Negara atau bangsa yang sudah mapan di RI 1.0 yang dapat melangkah (tidak melompat) memasuki RI 2.0. Itu suatu keharusan dan kalaziman.
Meskipun begitu, ciri-ciri pembeda mungkin dapat dibuat, tetapi itupun pasti terdapat tumpang tindih di ujung awal dan di ujung akhir setiap revolusi.
Berbeda dari cara pandang kebanyakan orang, Revolusi Industri 1.0 dicirikan oleh "kemampuan membuat alat-alat produksi massal" yang dipicu oleh diciptakannya mesin uap. Jual apa yang dapat kau produksi, sebab pasti terjual. Manfaat daerah jajahan menjadi makin bertambah, tidak sekedar sebagai sumber bahan baku tetapi sekaligus menjadi pasar untuk segala apa yang diproduksi. Kolonialisme makin menghisap, mendapat bahan baku murah dari wilayah yang dijajah, menjual barang produksi semahal-mahalnya ke daerah koloni.
Revolusi Industri 2.0 ditandai oleh berkembangnya kemampuan untuk "produksi massal dengan biaya seefisien mungkin'. Pengetahuan "manajemen produksi dan sistem kendali mutu" bertumbuh menjadi bidang kajian favorit. Kompetisi antar Negara atau bangsa yang sudah mapan menguasai teknik produksi massal memaksa "efisiensi" menjadi keharusan yang menentukan hidup atau mati. Paradigma "jual apa yang dapat kau produksi" berubah menjadi "produksi apa yang dapat kau jual". Mudah dipahami bahwa hanya Negara dan bangsa yang sudah mapan di RI 1.0 yang akan melangkah, bukan melompat, memasuki era RI 2.0.
Nah, selanjutnya, karena hidup harus berlanjut, maka kompetisi juga harus berlanjut. Setelah banyak Negara atau bangsa mencapi kemapanan di era RI 2.0, tiba waktunya memasuki kompetisi jenis yang lain, era RI 3.0, melekatkan nilai pada suatu produk. Mobil yang sebenarnya adalah alat transportasi, padanya dilekatkan sebuah nilai luhur "cerminan kesuksesan dan eksistensi diri". Pria yang mengendarai sedan Mercedes lebih sukses dari pria yang mengendarai Toyota Vios, karena itu sedan Mercedes lebih mahal.
Yang paling ironis, tetapi banyak menuai sukses, adalah usaha melekatkan nilai kejantanan pada rokok, meski orang paling bodoh sekalipun mengetahui bahwa rokok bukan sekedar merusak kesehatan tetapi juga merusak kejantanan. Melekatkan sebuah nilai ke pada sebuah merek (branded) adalah ciri utama RI 3.0. Sekali lagi, hanya Negara atau bangsa yang sudah mapan di RI 2.0 yang dapat melangkah, bukan melompat, memasuki era RI 3.0. Rasanya sungguh mustahil, kita dari kondisi zero langsung melompat ke RI 3.0.
Konsekuensi dari kehidupan adalah keberanian menghadapi kompetisi, yang kini menuju era RI 4.0, yang dipicu oleh berkembangnya teknologi dalam jaringan (daring, on-line). Jika diamati, RI 4.0 adalah era yang mengubah "cara menjual dan membayar", yang berpotensi menjungkirbalikkan sistem finansial global.
Mengikuti urutan logika seperti ini membuat saya tiba pada kesimpulan, bahwa kita membutuhkan percepatan, bukan lompatan (leap). Jika alat produksi massal tidak ada, teknik manajemen produksi dan sistem kendali mutu belum tuntas dikuasai, merek yang branded belum atau hanya sedikit dimiliki, lalu apa yang mau kita kerjakan di RI 4.0?, menjual produk-produk yang tidak kita buat? Bah .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H