Mohon tunggu...
Harjuni
Harjuni Mohon Tunggu... Nahkoda - Talk less do more

"Tan hana wighna tan sirna; tiada rintangan yang tak dapat dilalui."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Impian Seorang Abangan Untuk Persatuan Islam

27 April 2017   15:53 Diperbarui: 28 April 2017   01:00 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah ada yang inbox, “mas…belajar agama Islam dari mana??”
hehe…saya langsung mudeng maksud pertanyaan itu, karena saat itu memang saya kayak orang yang “macam betulll aja” ngomongin agama… karena bingung juga bagaimana harus memberi jawaban yang jitu, yahh saya jawab aja, “saya belajar dari guru saya yang terjepit di batu karang, mba…”

saya dari keluarga besar muslim, tapi bukan yang fanatic, yang sedang-sedang saja…saya bukan santri, SD-SMP-SMA saya masuk kategori bandel, yaitu suatu fraksi oposisi di dalam sekolah yang berpendapat bahwa tidak gaul kalau tidak di kejar-kejar guru BP dan diringkus ke ruang BK hehe, dan kuliahku pun bukan di kampus-kampus yang berorientasi agama, membaca buku pun saya tergolong malas, yang 250 halaman bisa seminggu baru selesai…sehingga jika dipikir saya ini sok-sok’an ngomong agama hehe emang iyyaahh…

lebih sudah 20 tahun usia saya, segitu juga lamanya saya ber-Islam, dengan waktu yang sebegitu lama, saya kira kurang ajar juga kalau saya tidak mudeng sedikit soal agama… terkadang ada perasaan di hatiku, perasaan yang ingin merasakan, menjadi santri di pondok pesantren, pakai peci dan baju kokoh, menjadi satu ikhwan dari lingkaran majelis membahas agama dan makan dari baki yang sama dalam ukhuwah Islamiyah…dan tentu yang tak kalah menyenangkan ketika saya dipanggil “yaa Akhi” oleh “ukhti-ukhti” yang suaranya halus-halus itu.

tapi sayang perasaan itu harus ku kubur dalam-dalam, nasib berkata lain, kenyataan berbanding jungkir balik, saya malah menemukan diriku dalam strata yang oleh Clifford Geertz ia sebut “abangan”. Dan yang lebih lucunya lagi saya bukanlah sekedar “muslim yang abangan”, namun saya juga menemukan diriku sebagai seorang yang liberal… dan tak akan pernah ada “ukhti-ukhti” yang akan menyapaku dengan “Assalamualaikum yaa Akhi…” hingga ajal menjemputku.
namun sebagai manusia yang didalam dirinya juga memiliki ruh dari Tuhan, sifat ketuhanan juga termanifestasi kedalam diriku…maka tentu, rindu itu juga kurasakan…rindu seorang hamba kepada Tuhannya…

kuatnya rindu menggerakkanku menuju-Nya, namun belakangan masalah muncul, ada yang lucu dari diriku, saya orang yang tidak mudah menerima doktrin… okeee memang saya kritis, namun telah kucoba lebih terbuka, dan satu inci pun itu tidak membuatku dekat kepada Tuhan…ada dua persepsi yang muncul, pertama: orang-orang yang menyampaikannya tidak professional. Kedua: mungkin memang ada yang salah dengan beberapa doktrin itu…

berhubung dalil-dalil suci yang kuhapal tak sebanyak da’i unyu-unyu yang sering muncul di tipii-tipii itu, lalu bagaimana cara yang kutempuh?? berbekal dengan semua yang pernah kudengar, saya lanjutkan dengan caraku sendiri, sebagai orang yang kerangka berpikirnya di bentuk dengan filsafat, maka saya mulai instal kutipan dari Mahatma Gandhi “mereka yang tahu bagaimana cara berpikir, tidak lagi membutuhkan guru”, dan saya berangkat walau seperti merangkak, tapak demi tapak jalan menuju Tuhan….Tuhan Semesta Alam…, jalan yang kutempuh bukan TOL, susuri rimba yang kalut, gejolak batin dalam berpikir, terobati tetes demi tetes madu perenungan…tentu bisa ditebak bahwa apa yang kutemukan, mungkin sedikit berbeda dengan yang anda yakini, karena muslim yang kritis pada agamanya akan menemukan dirinya sebagai muslim yang liberal, dan mendengar kata “liberal” jika anda seorang muslim yang konservatif/ ortodoks maka seharusnya anda tahu bahwa mungkin terlalu banyak pandangan kita yang berbeda, namun pinta ku jangan buat kuterenyuh, hanya karena ku melihat Islam berbeda darimu…

dan disini, bukanlah apa yang aku lihat ingin aku benturkan dengan apa yang anda yakini, namun yang sangat penting  adalah kesadaran yang kurasakan ingin aku – kita lihat bersama, bahwa: Perbedaan diantara kita adalah kehendak dari Sang Maha, Perbedaan diantara kita adalah keniscayaan, adalah takdir dan hanya Tuhanlah Sang pemilik kebenaran yang mutlak, milik kita hanyalah semu, semua hanyalah tafsir, mungkin benar dan mungkin salah…sehingga tiada lagi orang yang menganggap dirinya Tuhan, atau ulama yang berpura-pura jadi Tuhan, sebab tiada satupun yang mampu mewakili pendapat Tuhan, merampas hak Tuhan adalah sikap yang angkuh, terlebih jika menganggap diri sebagai Tuhan…saya ingin menyampaikan bahwa doktrin sudah keterlaluan banyak menyunat kebebasan berpikir kita, Wallahu a’lam bish-shawab (dan Allah-lah yang maha tahu yang sebenar-benarnya)… udah gitu doang…

dari sekian yang kulihat, hanya itu yang ingin aku – kita lihat bersama… itulah sumber penyakit perpecahan kita berabad-abad ini, yang membuat kita saling mengkafirkan, dan toh kita belum juga sadar-sadar…
selama ini saya rela di hujat-hujat demi cita-cita yang menurut saya mulia itu: saya ingin kita semua ummat Islam bersatu,saling menghargai perbedaan, dan menjadikannya kekuatan kebersamaan (ukhuwwah Islamiyah,ukhuwwatan lan tabura)….,
tidak adalagi orang ataupun majelis yang tega mengkafirkan ratusan juta saudaranya hanya karena mereka melihat Islam berbeda darinya, sebagaimana yang dialami oleh mazhab syiah, ahmadiyah dll… tidak ada lagi yang merasa diri paling benar dan memvonis yang di luar pendapatnya adalah kafir yang sesat…

adalah hal yang wajar jika kita menemukan pandangan orang lain itu berbeda dari kita, namun yang tidak wajar adalah ketika kita mengatakan mereka kafir/ sesat / membenci, apalagi hingga memerangi orang-orang karena hasil berpikirnya yang lain, terlebih mengkafirkan saudara kita hanya karena berbeda dukungan di pilkada hehehe Istighfar broo…, anda mungkin bisa memaksa orang terjun ke lubang buaya, tapi anda tidak akan pernah bisa memaksa keyakinan orang lain… karena toh belum tentu anda juga benar, atau kita hanya merasa benar berdasarkan penalaran kita sendiri, atau lebih parahnya lagi jika kita hanya merasa sok benar berdasarkan pendapat orang yang jenggotnya lebih lebat dan penampilannya lebih arab daripada kita??

truss anda mengelak, ”tahu apa kamu jonii, majelis ulama kita memvonis mereka kafir berdasarkan riset-riset dan penelitian…apakah kamu juga sudah pernah mencari tahu tentang syiah dan ahmadiyah??”

aduuhh kawan…sudah berabad-abad kita pecah, mengalami kemunduran, oleh keangkuhan majelis ulama yang seperti itu, dan sampai kiamat kita tidak akan pernah bersatu jika kita tidak berubah-berubah juga…bukankah kita diciptakan untuk menjadi agen perdamaian di bumi ini?? Duhh kawann, saya tidak perlu menjadi syiah atau ahmadiyah, untuk mengetahui bahwa mereka adalah saudaraku yang harus di hargai…saya tidak harus menjadi ulama yang menghapal seluruh ayat Alquran dan beribu-ribu hadis untuk memahami bahwa “kita semua adalah sesama ciptaan Tuhan, dan kita harus tawaduk, dan saling menghargai”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun