Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"Jalan Tengah" Sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia

28 Juni 2017   13:25 Diperbarui: 28 Juni 2017   14:37 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat ini Pemerintah sementara menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan payung hukum adalah UU nomor 40 tahun 2004. SJSN ini adalah merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana tercantum dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952. Adapun alasan utama diberlakukannya UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN ini adalah untuk menggantikan program-program jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut. Khusus dalam bidang kesehatan program ini bernama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Program JKN ini ditujukan untuk memberikan manfaat pelayanan kesehatan yang komprehensif, mulai dari pelayanan pencegahan seperti program imunisasi dan Keluarga Berencana (KB), hingga pelayanan penyakit katastropik seperti penyakit jantung, stroke, DM dan gagal ginjal. Baik institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan untuk program tersebut selama mereka menandatangani sebuah kontrak kerja sama dengan pemerintah.  Adapun badan atau lembaga yang menyelenggarakan JKN ini adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, BPJS adalah: 1). Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (pasal 1 ayat 6). 2). Badan hukum nirlaba (pasal 4 dan Penjelasan Umum). 3). Pembentukan dengan Undang-undang (pasal 5 ayat 1). Dikenal ada 2 bentuk BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam tulisan ini, kita akan mencoba mencermati sistem kesehatan di Indonesia dalam perspektif pengelolaan sistem ekonomi, apakah bersifat kapitalis/ neo-liberal ataukah sosialis.  Sebagai contoh negara yang menjalankan sistem kapitalis adalah Amerika Serikat dan sebagian Eropa Barat, sedangkan yang menjalankan sistem sosialis adalah Rusia, China dan Korea Utara. Meskipun demikian mereka sudah tidak sepenuhnya secara total menganut kedua sistem tersebut masing-masing  (mungkin hanya tinggal Korea Utara yang murni menjalankan sistem sosialis), karena tampak nyata dengan begitu kuatnya arus globalisasi saat ini dan ditunjang oleh sistem komunikasi dan informasi yang sangat cepat dan luas, terutama semakin banyaknya orang yang menggunakan media sosial sebagai basis utama berinteraksi dan mendapatkan informasi. Maka mau tidak mau terjadi perubahan paradigma dan tentu saja adaptasi dalam menjalankan sistem ekonomi maupun pertahanan keamanan suatu bangsa, tidak terlepas juga bagi negara-negara yang  tadinya murni menjalankan baik sistem kapitalis maupun sosialis, telah berimprovisasi dan bervariasi sesuai karakteristik negara dan masyarakatnya. Indonesiapun tidak terlepas akan hal ini.

Dengan begitu luasnya cakupan sektor kesehatan ini, tentu saja akan sangat mempengaruhi kekuatan ekonomi suatu negara. Maka banyak negara di Eropa, meskipun menerapkan sistem pasar bebas dalam pengelolaan ekonominya, namun merekapun juga melakukan sistem pelayanan kesehatan dengan pendekatan sosialis, misalnya negara Norwegia, Swedia dan Denmark yang memberlakukan suatu jaminan kesehatan atau asuransi yang bersifat nasional dan sepenuhnya ditanggung oleh negara dan mencakup seluruh penduduknya. Melihat model ini, maka kita akan menemukan kesamaan dengan program JKN yang saat ini diterapkan oleh Indonesia. Meskipun perbedaannya sangat jelas, yaitu program mereka sepenuhnya ditanggung oleh negara dengan pembiayaannya diambil dari pajak yang telah dipungut dari penduduknya, berbeda dengan di Indonesia dimana rakyatnya masih harus membayarkan setoran atau premi setiap bulannya, meskipun juga telah membayar pajak mereka.

Dengan melihat realita di lapangan ini, maka Indonesia sebenarnya mengambil "jalan tengah" dalam implementasi sistem ekonominya termasuk kesehatan, yaitu sistem ekonomi pasar namun pro rakyat. Hal ini sangat jelas terlihat dengan adanya "privatisasi" di sektor fasilitas kesehatan, seperti status rumah sakit yang diarahkan kepada Badan Layanan Umum (BLU), dimana sistem sebelumnya yang bermodel retribusi (birokrasi) menjadi "privatisasi " (swadana), dimana yang dimaksudkan dengan swadana adalah RS diharapkan dapat mengelola secara langsung pendapatan fungsionalnya baik untuk operasional pelayanan maupun untuk insentif pegawai/ karyawannya.  Akan tetapi, sangat ironis meskipun telah berstatus BLU namun masih banyak RS yang tetap mendapatkan budget dari Pemerintah baik untuk pos belanja investasi maupun gaji (terutama pegawai dengan status  aparatur sipil negara/ ASN), belum lagi dengan makin menjamurnya klinik swasta, RS swasta (termasuk yang katanya berstatus internasional). Hal ini coba ditutupi dengan program akreditasi, yang ternyata meskipun telah diberikan status bintang 5 (paripurna), namun keluhan masyarakat  tidak berkurang, bahkan mirisnya di DKI Jakarta ada RS terakreditasi bintang 4 yang malah ditutup oleh Pemerintah Provinsi karena ditemukan berbagai hal yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Secara kritis makin dipertanyakan pengelola akreditasi dalam hal ini adalah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), yang ternyata saat ini bersifat monopoli karena tidak ada kompetitornya, padahal sudah banyak bukti di banyak negara, bahwa sistem monopoli akan menyuburkan kolusi dan bahkan korupsi. Semoga di Indonesia tidak terjadi hal-hal seperti itu. Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan lagi lembaga akreditasi selain KARS, agar supaya penilaiannya akan lebih objektif sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti di DKI Jakarta dan juga agar supaya cakupannya akan semakin luas sehingga cepat dalam pelaksaaan akreditasi di Indonesia, karena jika dikerjakan oleh lebih dari satu, selain akan menciptakan iklim kompetisi yang sehat juga akan memperluas dan memperbanyak cakupan kerja.

Konsekwensi logis dari "privatisasi" atau swadana ini adalah adanya penyesuaian pelayanan kesehatan dengan memenuhi "real cost' (total biaya yang dikeluarkan RS). Memang BPJS Kesehatan telah mencoba mengatasi hal ini dengan perjanjian kerja sama dengan berbagai RS dan fasilitas kesehatan (faskes) primer lainnya, dimana dalam perjanjian tersebut tercantum bahwa pihak faskes harus memenuhi segala ketentuan yang dikeluarkan oleh pihak BPJS Kesehatan dan tentunya Kementerian Kesehatan R.I. Contohnya misalnya seperti yang tertuang dalam Permenkes nomor 4 tahun 2017. Akan tetapi pihak RS tetap bisa "mengakalinya", dengan "membujuk" pasien untuk naik kelas yang diluar dari yang menjadi haknya, sehingga pasien harus membayar selisih dari tarif RS pada kelas perawatan tersebut dengan tarif yang paket klaim (INA-CBGs) yang dibayarkan oleh pihak BPJS Kesehatan (misalnya pasien yang sesuai haknya di perawatan kelas 1, naik 2 tingkat ke atasnya).

Fenomena menarik juga terjadi dalam implementasi di lapangan, yaitu ada paket klaim dimana sebenarnya pihak RS untung karena sudah mendapatkan pembayaran yang melebihi dari nilai kelas perawatan pasien non-JKN, akan tetapi tetap dipungut  75% dari nilai paket klaim tersebut, dengan dalih bahwa hal ini sudah sesuai dengan Permenkes dan edaran Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Ini terjadi pada pasien kelas 1 yang naik 1 tingkat di atasnya. Contohnya, ada paket kelas 1 yang untuk tindakannya misalnya dibayar Rp. 70 juta berdasarkan paket INA-CBGs (dimana nilai ini sudah melebihi tarif tindakan terhadap pasien non-JKN di RS tersebut pada kelas perawatan 1 tingkat di atasnya, misalnya Rp. 50 juta), namun pasien peserta JKN tetap ditagih sebesar 75% dari nilai Rp. 70 juta tersebut karena naik ke kelas perawatan VIP (1 tingkat di atasnya). Sehingga RS akan mendapatkan total Rp. 70 juta yang didapatkan dari paket klaim INA-CBGs ditambah dengan 75% dari nilai tersebut karena naik ke VIP yaitu 1 tingkat di atas kelas 1. Hal ini sungguh sangat membingungkan pasien dan keluarga, tapi hal ini nyata terjadi di lapangan. Bukankah sangat kental dengan sistem pasar bebas?

Walaupun kasus di atas jarang terjadi, karena pada umumnya paket klaim yang dibayarkan adalah jauh lebih rendah dari tarif riil RS, akan tetapi celah ini makin menguatkan bahwa Indonesia saat ini mengambil "jalan tengah" dalam sistem pelayanan kesehatannya. Dalam arti yang spesifik adalah melakukan sistem pasar bebas namun terkendali, dalam hal ini terkendali dengan cara sistem subsidi silang, yaitu rakyat yang lebih kaya akan mensubsidi mereka yang jauh lebih miskin. Dengan demikian akan menunjukkan sistem gotong-royong dan menunjukkan Pemerintah adalah pro rakyat kecil. Hal ini tidak akan menjadi masalah besar, jika mereka yang menyubsidi adalah mereka yang memiliki kekayaan sangat besar dan jauh bila dibandingkan dengan yang disubsidi, akan tetapi jika yang menyubsidi tingkat kekayaannya hanya selisih sedikit dengan yang disubsidi, hal ini akan menjadi masalah besar dan bom waktu yang tinggal tunggu kapan akan meledak. 

Oleh karena itu, alangkah eloknya apabila Pemerintah melakukan pemetaan yang luas, sehingga didapatkan gambaran yang  tepat berapa besar jumlah masyarakat yang dikategorikan kaya. Nah, mereka yang dikategorikan kaya sajalah yang dikenakan tarif untuk mengikuti program peserta JKN mandiri, dalam artian membayar premi atau iuran setiap bulannya. Sedangkan yang bukan kategori kaya, semuanya digratiskan dan dibayar oleh Pemerintah biaya kesehatannya dan tentu saja tidak ada lagi kategori kelas 1, 2 dan 3 untuk pelayanan terhadap pasien peserta JKN. Bukankah selain dari premi Pemerintah juga dapat mengambilnya dari berbagai macam pajak? Dan khusus misalnya pajak yang diambil dari Perusahaan Rokok, alangkah eloknya apabila semuanya dimasukkan dalam anggaran pembiayaan kesehatan?

Demikianlah sedikit ulasan tentang sistem kesehatan yang saat ini diterapkan di Indonesia. Memang tidak ada satu sistempun yang sempurna, akan tetapi bukan menjadi alasan bagi kita untuk tidak selalu memperbaiki diri dan cara kita untuk semakin lebih baik. Dengan melakukan hal ini, diharapkan bahwa sistem yang kita gunakan makin berpihak kepada rakyat banyak dan tentu saja akan semakin menyejahterahkan rakyat dan bangsa kita. 

Semoga semakin hari, semakin baiklah program dan pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh Pemerintah. Tentu saja Pemerintah tidak bisa dibiarkan berjalan sendirian, kita segenap lapisan masyarakat haruslah secara aktif ikut serta terlibat dan turut membantunya. Semoga dengan demikian rakyat dan bangsa kita Indonesia akan semakin cepat mencapai kejayaannya.

James Allan Rarung

Rakyat Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun