Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Benteng Heritage: Menyusuri Jejak Cina Benteng dan Menjaga Spirit Leluhur

7 Mei 2011   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59 3290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cina Benteng. Saya sering mendengar sebutan itu tapi sungguh tak paham apa maksudnya. Dan, ketika pada suatu pagi di hari Sabtu, Andy F. Noya yang lebih dikenal lewat acara Kick Andy di Metro TV ngajak ketemu, saya setuju. Pertama, karena ia teman sekelas waktu kuliah dan sudah agak lama tak berjumpa. Kedua, karena ia akan mengajak saya ke Museum Benteng Heritage, Kota Tangerang, yang tak berapa jauh dari Jakarta. Ketiga, karena museum ini sedang dibenahi dan baru resmi dibuka untuk umum pada bulan November nanti.

Andy mengaku sudah beberapa kali ke sana tapi ternyata kami masih tersesat. Padahal, letaknya masih dalam kawasan Kota Tangerang, Provinsi Banten, sebelah Barat Jakarta. Tangerang sendiri merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), setelah Jakarta. Nama Museum Benteng Heritage ini adalah nama baru dan belum dikenal masyarakat Tangerang. Karena posisinya bersebelahan dengan Kelenteng Boen Tek Bio, maka patokan yang mudah untuk mencari lokasinya adalah dengan menanyakan kelenteng tersebut.

Maklum, Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan sudah ada sejak sekitar tahun 1750. Pada masa itu, para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra, Tek=Kebajikan, Bio=Tempat Ibadah). Jadi, kecil kemungkinan, masyarakat Tangerang tak mengetahui lokasi kelenteng ini. Nah, lokasi Museum Benteng Heritage benar-benar persis bersebelahan dengan kelenteng tersebut.

Kelenteng dan museum ini berada di sebelah timur sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang. Nah, Pasar Lama ini juga bisa dijadikan patokan. Pasar ini ramainya pagi hari sampai siang, diapit rumah-rumah penduduk. Jadi, sebagaimana yang saya lakukan bersama Andy, kami memarkir kendaraan di jalan besar, di tepi sungai Cisadane. Lalu, berjalan kaki sekitar 5 menit ke lokasi. Sama sekali belum ada papan petunjuk arah. Yang paling aman ya melakukan sastra lisan: bertanya.

Setiba di sana, saya diperkenalkan dengan pemilik Museum Benteng Heritage, Udaya Halim. Lelaki bertubuh gempal ini dulu menghabiskan masa kecilnya di sana. Rumahnya dulu berhadapan langsung dengan museum ini. Kini, bekas rumahnya itu sudah jadi ruko dan sudah jadi milik orang lain. Ia sekeluarga, sekitar 15 tahun yang lalu, boyongan ke Australia. Mereka hidup dan berusaha di negeri Kanguru tersebut. Selama di Australia, ia kerap berlibur ke Malaka dan menyaksikan langsung kaitan Malaka dengan kerajaan di negeri ini pada masa lalu. Tentang hal tersebut, bisa kita baca catatan dierhanana.wordpress.com, 25 Maret 2008, Menyusuri Sejarah di Melaka: Bangunan Tua jadi Tempat Wisata:

Jika berkunjung ke Malaysia, sesekali datanglah ke Melaka. Kalau dari Kuala Lumpur, hanya perlu waktu lebih kurang 1,5 jam dengan mobil hingga sampai di kota itu. Perjalanan dari Kuala Lumpur International Airport lebih cepat, hanya 30 menit. Di Melaka, kita bisa mengetahui pertalian yang erat antara Malaysia dan Indonesia pada masa silam.

Sejarah Melaka dimulai pada tahun 1403 sejak kedatangan Parameswara, pangeran Hindu dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Parameswara merebut gelar Raja Iskandar ketika dia memeluk Islam dan menjadi penguasa pertama di kerajaan barunya yang menandai lahirnya Kesultanan Melaka.

Pada abad ke-16, Melaka terkenal sebagai pusat perdagangan laut. Para pedagang dari Arab, Cina, India, dan Eropa berlabuh di kota itu. Melaka pun berkembang menjadi daerah yang didambakan oleh pihak asing.

Dari berbagai kunjungan tersebut, Udaya teringat akan kampung halamannya di Pasar Lama, Tangerang. Di Malaka ia melihat bagaimana masyarakat setempat merawat peninggalan sejarah mereka, menjadikannya sebagai bentuk penghormatan akan jasa-jasa leluhur, mengolahnya menjadi aset, serta memberdayakannya sebagai salah satu tujuan wisata. Ia ingat tiga petak bangunan kokoh dengan arsitektur Cina di seberang rumahnya di Pasar Lama. Tiba-tiba ia rindu untuk pulang kampung, untuk melihat seperti apa kondisi pasar tempat ia bermain-main dulu semasa kanak-kanak.

Pada kepulangannya, Udaya melihat tiga petak bangunan berlantai dua plus setengah lantai itu, sehari-hari dijadikan tempat berdagang dan gudang ikan asin. Padahal, bangunan itu sangat bersejarah sebagai salah satu peninggalan Cina Benteng di Tangerang. Ia kemudian membeli bangunan bersejarah tersebut. Hanya dua petak yang bisa ia beli, karena pemilik yang satu petak lainnya tak berkenan untuk menjualnya. Toh, itu tak mengurangi spirit Udaya untuk merestorasi bangunan bersejarah tersebut, sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur serta sebagai tempat studi perjalanan Cina Benteng di Tangerang.

Udaya menyebut dirinya sebagai salah seorang keturunan Cina Benteng. Bangunan bersejarah itu ia beli bukan untuk dijadikan tempat tinggal tapi untuk museum, untuk dijadikan tempat studi agar generasi ke generasi Cina Benteng tak kehilangan akar budayanya, tetap terhubung dengan para leluhurnya melalui museum ini. Dalam skala lebih luas, museum ini menunjukkan keberadaan Cina Benteng sebagai bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, sebagai wujud nyata akan hakekat pluralisme.

Tentang kedatangan etnis Cina ke Tangerang, ada beberapa versi, sebagaimana dikemukakan Komunitas Historia Indonesia (KHI) dalam berita yang dilansirwartakota.co.id, Rabu, 24 Februari 2010 | 15:15 WIB, Heritage Trail ke Pecinan Tangerang:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun