Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Stunting, Rugikan Indonesia Ratusan Triliun Rupiah

15 Juli 2019   19:31 Diperbarui: 15 Juli 2019   20:20 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dan anak-anak Indonesia. Nila Farid Moeloek menyebut, kasus stunting di Indonesia menunjukkan angka 37,2 persen. Artinya, 4 dari 10 anak di Indonesia, dipastikan mengalami stunting. Foto: kemkes.go.id

Minggu (14/07/2019), Presiden Jokowi bicara tentang stunting. Jokowi akan fokus untuk memberantas stunting. "Jangan sampai ada stunting," ujarnya. Nah, kenapa stunting merugikan Indonesia?

9 Juta Anak Stunting

Stunting itu kerdil, anak tidak tumbuh sesuai usianya. Penyebabnya, sang ibu kekurangan gizi saat hamil. Sang anak kekurangan asupan gizi, setelah lahir. Salah satu penyebab kurang gizi adalah kemiskinan, lemahnya daya beli. Akibatnya, rendah pula kemampuan orang tua miskin tersebut mengakses pangan bergizi.

Pada Selasa (03/07/2018), Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menyebut, di Indonesia ada 9 juta anak, yang stunting. Itu diungkapkan Jusuf Kalla, saat memberikan arahan dalam pembukaan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2018, di Jakarta. Angka 9 juta tersebut, tentulah bukan jumlah yang kecil.     

"Stunting kita nomor empat di dunia. Kalau sepak bola nomor empat sih lumayan, tapi kalau nomor empat stunting di dunia, ini bahaya," tukas Jusuf Kalla. Selain nomor empat di dunia, di kawasan Asia Tenggara, jumlah balita kerdil Indonesia, nomor dua terbanyak, setelah Laos.

Pada Kamis (02/08/2018), Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyebut, kasus stunting di Indonesia menunjukkan angka 37,2 persen. Artinya, 4 dari 10 anak di Indonesia, dipastikan mengalami stunting. Itu diungkapkan Nila Farid Moeloek di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT), Jakarta Pusat.


Standar ambang batas atas stunting di sebuah negara adalah 20 persen. Itu menurut takaran Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO). Dengan realitas 37,2 persen kasus stunting di Indonesia, maka peringatan bahaya dari Jusuf Kalla tersebut, adalah bahaya yang sesungguhnya. Bahaya bagi bangsa ini.

Kata Jusuf Kalla: Stunting itu kerdil fisik dan otak. Ya, pada umumnya anak yang stunting itu (bertubuh) kerdil. Memang begitu adanya, jangan menyembunyikan kenyataan. Mari bersama-sama mengatasinya, demi generasi masa depan Indonesia. Foto: tempo.co
Kata Jusuf Kalla: Stunting itu kerdil fisik dan otak. Ya, pada umumnya anak yang stunting itu (bertubuh) kerdil. Memang begitu adanya, jangan menyembunyikan kenyataan. Mari bersama-sama mengatasinya, demi generasi masa depan Indonesia. Foto: tempo.co
Stunting di Tiap Provinsi 

Disebut bahaya bagi bangsa ini, karena 9 juta balita yang stunting itu, adalah anak bangsa. Mereka adalah generasi masa depan, yang diharapkan menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia. Nah, bagaimana mereka bisa menjadi motor penggerak? Mereka stunting, perkembangan otak mereka tidak maksimal.

Kemampuan IQ anak yang stunting, tertinggal jauh dari anak seusia mereka.  Perkembangan mental mereka pun, terhambat. Dengan kondisi yang demikian, maka kemampuan mereka sangat terbatas, untuk menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia. Mereka ada tapi karena stunting ya tidak mampu berbuat banyak.  

9 juta balita yang stunting tersebut, berada di banyak tempat. Berdasarkan peta proporsi kurang gizi di tiap provinsi, hampir di seluruh provinsi, jumlah balita stunting di atas 10 persen. Bahkan, di beberapa provinsi, jumlahnya mencapai 30 persen atau lebih. Itu tercatat di Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua, sebagian Kalimantan, hampir seluruh Sulawesi, dan Sumatera Utara.

Peta proporsi kurang gizi di tiap provinsi tersebut, dikemukakan Doddy Izwardy, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, pada Rabu (30/01/2019). Secara lebih rinci, Doddy Izwardy menyebut, anak Indonesia yang stunting pernah mencapai 36 persen, kemudian turun 35 persen, lalu melonjak ke angka 37 persen.

Bagaimana Doddy Izwardy memetakan itu? Dari mana ia mendapatkan angka-angka tersebut? "Dari hasil monitoring saya ke seluruh Indonesia, rata-rata 28 sampai 29,6 persen," kata Doddy Izwardy. Itu merupakan hasil pemantauan Doddy Izwardy, dari tahun 2014, 2015, 2016, sampai 2017.

Presiden Jokowi dan Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim. Untuk percepatan penanganan stunting, pemerintah mendapatkan pinjaman sebesar US$ 400 juta atau setara Rp 5,8 triliun (kurs Rp 14.500) dari World Bank. Foto: detik.com
Presiden Jokowi dan Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim. Untuk percepatan penanganan stunting, pemerintah mendapatkan pinjaman sebesar US$ 400 juta atau setara Rp 5,8 triliun (kurs Rp 14.500) dari World Bank. Foto: detik.com
Stunting Beban Bangsa

Kita tentu saja terhenyak, mencermati peta proporsi kurang gizi di tiap provinsi tersebut. Alangkah besar dan berat beban bangsa ini, untuk menyelamatkan jutaan anak bangsa, yang stunting itu. Pada saat yang sama, diperlukan langkah besar, agar anak-anak bangsa yang lahir kemudian, tidak menderita stunting.

Secara ekonomi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan, kerugian akibat stunting, bisa mencapai 2-3 persen, dari Produk Domestik Bruto (PDB). Contohnya, PDB tahun 2017 sebesar 13.000 triliun rupiah. Maka, kerugian akibat stunting, ya sekitar tiga ratus triliun rupiah.

Demikian pula dengan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 pada bidang kesehatan, yang mencapai 123,1 triliun rupiah. Salah satu sasaran targetnya adalah mengatasi masalah stunting. Target prevelansi stunting yang dipatok pemerintah adalah 24,8 persen pada tahun 2019.

Target tersebut memang masih di atas ambang batas atas, yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO), yaitu 20 persen. Persentase WHO itu, setara dengan seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Dari target tahun 2019 itu, kita bisa mencermati, betapa berat beban bangsa ini, untuk menyelamatkan jutaan anak bangsa, dari stunting.

Tahun 2019 masih berjalan. Sama-sama kita lihat nanti, apakah target penurunan stunting 24,8 persen tersebut, akan tercapai atau tidak. Sebagai anak bangsa, kita tentu berharap, agar jumlah balita yang stunting, terus menurun. Dengan demikian, kerugian akibat stunting pun, bisa ditekan.   

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, jumlah balita yang stunting, sekitar 7 juta balita. Artinya, ada penurunan, meski masih di atas ambang batas atas, yang ditetapkan WHO. Inilah realitas perjalanan anak bangsa, untuk menjadi bangsa yang unggul di masa depan.

Realitas tersebut ya harus kita atasi bersama-sama. Mari kita simak bersama pesan Jusuf Kalla, pada Selasa (03/07/2018). "Stunting itu kerdil fisik dan otak. Ya, pada umumnya anak yang stunting itu (bertubuh) kerdil. Memang begitu adanya, jangan menyembunyikan kenyataan," ujar Jusuf Kalla di acara Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta 15 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun