Mohon tunggu...
Titi Isnani
Titi Isnani Mohon Tunggu... -

Penulis, Pelukis, dan Pengusaha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teladan Seorang Pahlawan Yang Terlupakan (Kisah Nyata)

5 November 2011   08:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam rangka menyambut Hari Pahlawan 10 November 2011, tulisan ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari seorang pejuang sejati yang ikut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada Agresi Belanda ke II di tahun 1948 di kota surakarta Jawa Tengah. Beliau bernama Raden Isbandri Darsoroemekso. Terlahir tanggal 9 November 1918 dan meninggal pada tanggal 16 April 2011 dalam usia 93 tahun. Beliau bukan saja sebagai pejuang sejati, tetapi juga meninggalkan contoh-contoh keteladanan yang semestiya bisa diikuti oleh para penerus Bangsanya yaitu Indonesia. Terutama mengenai keberaniaanya melawan penjajahan,ketulusan hatinya, keikhlasan, serta kejujurannya dalam menghadapi cobaan yang ada hubungannya dengan "korupsi". Berikut ini adalah sekelumit kisahnya disertai dengan testimoninya sewaktu beliau masih hidup. [caption id="attachment_142205" align="aligncenter" width="180" caption="R. Darsoroemekso, Alm."][/caption]

***

Sebuah rumah terbuat dari anyaman bambu yang sudah tidak rapat lagi jarak anyaman satu dengan yang lainya , karena termakan oleh teriknya matahari serta digeroti oleh usia, sedang berdiri sedih ditengah-tengah kebun seluas dua ribu meter persegi. Rumah itu tidak begitu besar. Dibagian dalamnyapun juga tidak tersekat-sekat oleh anyaman dengan rapi. Sementara sebuah tempat tidur besar berukuran 300 x 200 m2 terbuat terbuat dari kayu sederhana terletak disayap kanan. Dan terlihat disana selembar kain gurden berwarna kuning kunyit tersampir disampingnya. Seperangkat kursi rotan sederhana warisan dari orang tua Darsoroemekso, menemani ditengahnya penuh kewibawaan. Sedang dikanan kirinya, berdiri sepasang tiang penyangga rumah terbuat dari kayu jati yang terlihat kokoh kuat, ditambah dengan hiasan sepasang kepala menjangan terbuat dari kayu berwarna hitam melekat disana. Juga dari peninggalan orang tua Darsoroemekso. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit pagi ketika seorang anak laki-laki, berusia sekitar sepuluh tahun setengah berlari membuka tudung saji diatas meja makan kayu yang sangat sederhana pula. Dengan hati yang penuh harap, ia akan menemukan sepotong kue atau mungkin sepiring nasi goreng hangat kesukaannya. Tapi, apa yang ia bayangkan ternyata sama sekali tidak terwujud. Jangankan sepotomg kue, atau sepiring nasi goreng kesukaannya, secuilpun ia tidak menemukan makanan diatas meja makan tersebut. Wajahnya yang imut manis terlihat linglung menoleh kekanan dan kekiri. Apalagi yang ditoleh kalau bukan makanan. Karena pagi itu perutnya belum terisi sama sekali. Meskipun yang ia cari tidak ditemukan disitu, tetapi ternyata ia tidak berputus asa. Dengan nafas yang masih terengah-engah sisa dari bermain dengan teman-temannya tadi, ia berlari kearah sebuah almari, kalau boleh disebut almari. Karena benda kotak dari kayu lusuh itu lebih tepat kalau dinamakan gerobok. Dia berpikir, o...mungkin ibu sudah menyimpannya didalam almari . Tapi ternyata disanapun ia tidak menemukan makanan juga. Ia menutup almari itu dengan lesu. Dengan langkah lemahnya ia masih berharap bahwa makanan yang ia cari masih di dapur bahkan mungkin masih didalam wajan diatas tungku. Barangkali ibunya belum sempat menaruh dimeja makan karena kesibukannya. Tapi sekali lagi, ia kecewa lagi. Semua kwali, panci, dan wajan penggorengan masih tercanthel rapi di dinding bambu hitam lusuh goresan jelaga, setiap ibunya memasak dengan tungku yang bahan bakarnya kayu. Dengan muka tertunduk lesu berjalanlah ia, sambil mengelus perutnya yang masih kempes sedang bernyanyi. Tak satupun kata keluar dari bibirnya yang tipis itu. Ia hanya melirik kearah kakak-kakaknya yang kelihatannya juga sedang lapar menanti datangnya makanan. Entah akan datang dari mana dan sampai kapan mereka harus menunggu. Ditenangkannya hati dan perut yang berbunyi berisik dengan beberapa teguk air teh hangat serta sepotong gula jawa yang berwarna kuning keemasan. Memang itulah kebiasaan keluarga itu setiap pagi dan sore hari. Hmm...alangkah nikmatnya. Kata anak tersebut dalam hati. Barangkali dengan energi dari sepotong kecil gula merah dan segelas air teh tadi, tubuh anak laki-laki tanggung itu sudah segar kembali. Ia kembali berlari ke halaman depan menghampiri dua adik perempuannya yang sedang bermain tali-temali terbuat dari karet yang dironce. Seolah tidak merasakan lapar perutnya. Dua perempuan kecil itu bermain tali dengan riangnya. Sesekali bahkan tertawa terbahak-bahak melihat teman mainnya yang terpeleset lucu karena tidak bisa berloncat - jingkrak melewati tali yang dimainkan mereka berdua. Bagyo... yah, laki-laki kecil itu bernama Rusagyo dan sering dipanggil dengan Bagyo saja. Ternyata ia tidak tega melihat anak kecil tetangganya tidak bisa bermain tali dengan benar. Kemudian ia menyuruh adik-adiknya untuk memperpelan putaran talinya , ia memberikan contoh kepada anak kecil tetangganya itu. Dan dengan seksama anak kecil itu memperhatikannya kemudian, mencobanya. Dan ternyata berhasil. Alangkah senangnya anak kecil tersebut. Sambil berteriak - teriak kegirangan, anak kecil itu meloncat-loncat seolah-olah akan terbang keawan putih indah yang sedang menaungi permainan mereka. Aku bisa...aku bisa...! Teriaknya. Dan loncatannya semakin lama semakin cepat, semakin melayang tinggi. Alangkah mudahnya anak-anak kecil tersebut mendapatkan kebahagiaan. Seolah hidup ini hanya dipenuhi oleh tawa dan canda saja. Disela-sela riuhnya anak-anak itu bermain tali, tiba-tiba ada seorang laki-laki setengah baya mendatangi mereka. Dengan membawa keranjang krawang-krawang terbuat dari anyaman bambu,diletakan diatas kepalanya yang berisi berbagai buah-buahan dan berbagai makanan. Laki-laki itu menanyakan ayahanda mereka. "Bapak Raden Darsoroemekso ada dik?" tanyanya dengan sopan. "O, ya ada, mari pak silahkan masuk. Akan saya panggilkan dulu." jawab Bagyo dengan bersemangat. Bagyo berlari ke halaman belakang rumahnya. Memanggil-manggil ayahnya yang dari tadi pagi dilihatnya sedang asyik dengan tanaman-tanamannya di kebun belakang rumah. "Ayah ada tamu mencari ayah !" seru Bagyo kepada ayahnya dengan semangat. "Ya baik, suruh tunggu sebentar ya. Jawab ayahnya sambil menghentikan ayunan cangkulnya. Bagyo kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi segelas air putih untuk tamu ayahnya itu. Tapi Bagyo terkejut ketika meletakkan segelas air putih diatas meja tamu itu. Karena ternyata yang duduk disitu bukan bapak yang membawa keranjang makanan tadi. Tetapi seorang laki-laki agak gemuk kira-kira berusia empat puluh limaan. Bermata sipit dan menggunakan pakaian sangat bagus dimata Bagyo. Kemeja lengan panjang warna biru benhur dengan celana panjang berwarna biru dongker. Hmm... pasti orang kaya nih, kata Bagus dalam hati sambil berlari meninggalkannya, tak lupa diapun kembali melirik bawaan tamu ayahnya itu. Terlihatlah disana dengan jelas keranjang besar kerawang - kerawang itu berisi bermacam-macam buah-buahan seperti Jeruk ,Pisang Ambon, Rambutan, Apel Malang dan aneka kue khas tahun enam puluhan yang semuanya sangat menggiurkan lidah Bagus dan siapa saja yang melihatnya. Apalagi dalam keadaan perut lapar. Hmmm.....lezatnya. Bagyo mendekati Nani adiknya, lalu dengan mesra membisikkan sesuatu ketelinga adiknya itu. "Dik mau enggak kamu kalau dikasih kue dan buah-buahan seperti yang dibawa tamu ayah tadi ?" Tanya Bagyo pelaaan sekali seolah khawatir terdengar oleh tamu ayahnya . Atau mungkin bisa terdengar oleh Sinta teman bermain tali adiknya itu. Dengan seksama Nani mendengarkan bisikan kakaknya. Lalu dijawabnya dengan wajah yang amat berseri. "Ya, jelas mau banget to.... . Tidak usah ditanya ya pasti mau. Orang sejak bapak itu datang kemari, aku sudah melirik terus bawaannya." Jawab Nani dengan senyum penuh harap . Mereka kemudian meneruskan kembali bermain tali dengan riangnya. Seolah sebentar lagi pasti akan merasakan lezatnya kue-kue mewah yang selama ini jarang mereka cicipi. Tapi alangkah terkejut dan kecewanya mereka, tatkala dilihatnya tamu itu dengan diiringi oleh ayah mereka, membawa kembali keranjang bawaannya tadi. Dan samar - samar terdengar ditelinga mereka, ayahnya mengatakan : "Maaf, ya pak, sekali saya mohon maaf. Saya tidak bisa menerima ini semua. Karena itu memang sudah menjadi kewajiban dan tugas saya. Jadi saya tidak bisa nenerima yang melebihi hak saya. Semoga bapak tidak tersinggung dengan penolakan saya ini. Sekali lagi saya mohon maaf. Ayahnya mengatakan itu sambil mengantarkan tamunya ke gerbang pagar. Mereka bersalaman, lalu tamu yang terlihat agak malu itu, menaiki mobil Fiat warna abu-abu muda, yang sejak tadi menunggu di depan rumah mereka. Bagyo, Nani dan Sihmi, lemas lunglai melihat pemandangan yang baru saja mereka saksikan bersama. Harapannya seolah pudar seketika. Mereka berpikir alangkah menyenangkannya, jika setelah bermain tali ini mereka berpesta dengan seluruh keluarganya. Menikmati berbagai makanan dan buah-buahan yang jarang mereka temui ,dan pasti sekeluarga akan merasa senang. Bahkan perut yang tadinya keroncongan akan berubah menjadi tenang, setenang Macan selesai memakan mangsanya. Namun apa daya, mereka hanyalah anak-anak kecil lugu yang tidak mengerti apa-apa mengenai urusan ayahnya. Jangankan untuk protes mengapa ayahnya tidak mau menerima bingkisan tamunya itu. Untuk bertanyapun mereka sama sekali tidak mempunyai keberanian. Mereka hanya bisa menunjukkan sikap kekecewaanya dengan bergelayutan dikanan kiri ayahnya, dengan kemanjaan khas seorang anak kepada ayahnya. Tapi, subhanallah....ayahnya seolah tahu maksud bocah-bocah kecil buah hatinya tersebut. Sambil mengelus- elus kepala kedua bocah itu, ayahnya berkata. "Kenapa sayang? Kalian kepingin buah-buahan dan kue yang dibawa oleh tamu ayah tadi ya? Maafkan ayah nak, ayah telah mengecewakan kalian. Nanti kalau ayah sudah gajian, ayah akan belikan yang lebih enak dan lebih banyak lagi dari yang dibawa tamu tadi itu yaa..." Kata Darsoroemekso lirih menahan kepedihan. Seolah diapun menyesal telah menolak pemberian dari tamunya, yang notabene adalah rekanan kantornya. Padahal anak-anaknya sangat membutuhkan makanan-makanan tersebut. Dia juga menyesal mengucapkan janji itu kepada anak-anaknya. Karena janjinya sebenarnya hanyalah sekedar untuk menentramkan anak-anaknya saja. Mana mungkin dia bisa membelikan buah-buahan dan kue sebanyak itu. Uang gajinya saja tidak cukup untuk memenuhi penghidupan sederhana selama satu bulan. Maklum waktu itu belum ada Keluarga Berencana. Jadi wajar kalau Darsoroemekso mempunyai sembilan orang anak. Belum lagi biaya sekolah mereka,dan segala macam urusan sosial,yang seringkali membuat ibu Sumarni, istri Darsoroemekso menjadi pusing tujuh keliling. Beratnya dianggap masyarakat sebagai orang yang berada hanya karena menjabat sebagai kepala kantor. Hal seperti inilah yang barangkali sering membuat orang yang tidak tahan mental, kemudian menyalah- gunakan jabatannya hanya sekedar untuk memberi kemewahan dan kebahagiaan sesaat kepada orang-orang disekitarnya. Baik kepada anak-anaknya, istrinya, saudara-saudaranya, atau mungkin teman-temannya. Bahkan ada yang lebih menjijikkan lagi hanya untuk memuja perempuan atau laki-laki idaman lain. Padahal yang mereka cari atau mereka inginkan hanyalah pujian-pujian semu. Karena ketika seseorang terbukti bersalah menyalah gunakan kepercayaannya alias korupsi, maka orang-orang yang tadinya terlihat peduli dan munduk-munduk menghormatinya, akan kabur lari tunggang -langgang meninggalkannya kemudian mereka menghilang bak ditelan Bumi. Bahkan mereka ternyata orang-orang yang menusuk dari belakang. Membuka rahasia orang yang dahulunya pura-pura ia hormati. Kalau sudah begitu kemana orang-orang yang dahulu terlihat sangat perhatian dan seolah mendukung dengan sepenuh hati itu. Ternyata mereka hanya membantu disaat mereka membutuhkan saja. Alias menjadi penjilat-penjilat yes men. Sayangnya masyarakat kita sekarang ini sudah banyak yang salah menilai. Kebanyakan dari mereka menilai manusia baik itu, hanya dari segi materi saja. "Jika suka memberi materi" disebut orang yang baik. Mereka tidak perduli dan tidak mau tahu apakah yang diberikan itu harta halal atau tidak. Uang halal atau tidak. Termasuk para istri yang tidak mau tahu dari manakah sang suami mendapatkan uang yang jauh melebihi dari hak yang sesungguhnya. Sangat berbeda dengan tahun-tahun lima puluhan sampai dengan tahun delapan puluhan. Pada waktu itu orang menghargai orang lain karena keindahan budi pekertinya, karena prestasinya. Dan seorang istri tidak pernah berani menuntut lebih dari suaminya dalam hal materi. Para istri membelanjakan hartanya benar-benar sesuai dengan yang dimampui suaminya. Oleh karenanya kehidupan masyarakatnya penuh dengan kedamain jauh dari prasangka buruk satu dengan yang lainnya. Dan meskipun orang tersebut hidup serba sederhana bahkan miskin sekalipun tapi jika berbudi baik maka masyarakat tetap menghormati dan menghargainya bahkan menjadikannya "Panutan ". Sangat berbeda dengan masyarakat sekarang yang serba materialistik, menilai orang lain hanya dari segi lahiriahnya saja. Orang-orang yang sok modern mencibir bahkan melihat hanya dengan sebelah mata saja jika melihat busana kita sederhana, naik kendaraan umum, atau bahkan sudah memakai mobil pribadi saja masih dilihat dengan sinis, jika mobil yang dipakainya hanya mobil bermerek sederhana. Dan menyedihkan sekali banyak diantara mayarakat yang tidak tahan pada cobaan ini. Sehingga mereka menggunakan segala cara yang tidak halal untuk membeli kemewahan yang mereka sebut dengan "Harga diri". Nani dan Sihmi hanya diam saja mendengar ucapan ayahnya. Yang sebenarnya disampaikan untuk kakak- kakaknya yang sudah dewasa. Sesekali kepalanya didekatkan lebih erat lagi ke perut ayahnya. Yang ternyata suara musik keroncongnya lebih riuh daripada perut mereka berdua. Mungkin karena ayahnya bekerja di ladang. sehingga sebenarnya memerlukan energi yang lebih banyak dari mereka yang hanya bermain tali-temali saja. Darsoroemekso memang sosok laki-laki yang gigih dan tak pernah merasa lelah dalam mencarikan rizki untuk keluarganya. Dia juga bukan tipe orang yang gengsian. Meskipun dia seorang kepala kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) , tapi dia tidak pernah merasa malu untuk menjadi Petani jika sudah sampai dirumah. Bahkan diapun juga tidak pernah merasa merendahkan diri jika di rumah sering membantu istri tercinta mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Meskipun gelar Raden ada dipundak beliau. Subhanallah..... Kalian lapar ya? Ayahnya bertanya kepada Nani dan Sihmi. Seolah dia tidak tahu kalau hal itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi. Karena seluruh keluarga itu memang belum ada yang sarapan pagi. Nani dan Sihmi hanya menganggukkan kepala sambil tetap bergelayutan dilengan ayahnya. Baiklah, kalau begitu kalian ikut ayah ke kebun belakang rumah. Bantu ayah membawa singkong-singkong yang tadi sudah ayah cabut. Biarlah ibu, yang memasak untuk kalian setuju ? Setuju....jawab Nani dan Sihmi serentak. Setengah berlari ayahnya menuju kehalaman belakang rumah. Diikuti oleh Nani dan Sihmi yang tertawa terkekeh-kekeh melihat gaya lucu ayahnya berlari. Subhanallah... dalam keadaan lapar sepert itu Darsoroemekso masih saja bisa membuat anak-anaknya tersennyum. Kisah seperti diatas adalah salah satu contoh yang sering kali dilihat dan dialami oleh Nani dan seluruh keluarganya sewaktu mereka masih kecil dan terus beranjak dewasa. Hampir seluruh anak-anak Darsoroemekso dan ibu Sumarni punya pengalaman melihat kejadian seperti tersebut diatas. Ada yang melihat ayahnya marah-marah sepulang dari kantor karena melihat setenggok telur asin tergelatak di ruang tamu. Dan yang besarlah yang ketempuhan karena disuruh mengembalikan telur-telur asin itu ke sipengirimnya. Ada juga yang melihat ayahnya kaget, karena sesampai dirumah ada kiriman sekarung gula pasir, dsb. Walau kelihatannya hanya barang-barang yang sederhana tidak begitu berharga jika dilihat dengan kaca-mata sekarang. Tapi jangan salah barang-barang seperti itu pada tahun enam puluhan adalah sebuah kemewahan. Kita masih ingat bagaimana cara masyarakat bersyukuran saat itu. Bila ada yang melahirkan bayi dengan selamat, mereka hanya mengundang anak-anak kecil untuk kemudian dibagi dengan sepincuk nasi berlauk pauk urap dan secuil telur ayam rebus (1 butir telur ayam bisa dipotont-potong menjadi puluhan). Sudah seperti itu masih sering kali ada anak yang tidak kebagian telurnya. Terlihatlah kekecawaan anak-anak yang tidak kebagian secuil telur rebus tersebut. Artinya betapa sangat mewahnya lauk yang namanya telur ayam tersebut. Demikian juga dengan gula pasir. Kita juga masih ingat di warung-warung sembako atau bahkan di pasar sekalipun, yang dijual tidak ada kemasan setengah kiloan, apalagi kemasan satu kiloan. Yang ada hanya kemasan seperempatan kilo dan yang paling banyak adalah satu onnan. Artinya betapa besar dan berharnya satu karung gula pasir pada waktu itu. Kehidupan yang sangat sederhana. Tapi sangat sarat dengan pesan - pesan moral yang membekas di hati sanubari anak-anak Raden Isbandri Darsoroemekso. Itulah nama lengkap beliau yang sebenarnya. Tapi, subhanallah sembilan bersaudara itu tidak pernah merasa malu dan rendah diri menjadi anak-anak Isbandri Darsoroemekso yang selalu hidup dalam kesederhanaan. Mereka justru bangga memiliki ayah yang pemberani dan sangat jujur dalam menjalankan tugasnya. Mereka juga bergaul biasa dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dengan baik. Baik sebagai pelajar, maupun sebagai anggota masyarakat . Bahkan apa saja yang dicontohkan oleh Darsoroemekso sewaktu kecil itu menjadi inspirasi bagi mereka, ketika mereka menjalani kehidupan mandiri yang sebenarnya di kemudian hari . Selalu berusaha untuk melakukan segala sesuatu sesuai yang dicontohkan oleh ayahnya yaitu dengan diawali : " Bekerja tanpa pamrih ". " Memberikan yang terbaik untuk lingkungan " "Tidak mengambil yang bukan haknya". "Hidup bersahaja sesuai dengan kemampuannya" "Selalu jujur dalam melakukan tugasnya" Apa yang dicontohkan Darsoroemekso sangat membekas di benak anak-anaknya sampai mereka dewasa. Terbukti ketika suatu saat Rusbagyo sudah dewasapun tetap tidak mau menyalah gunakan wewenangnya ketika menjalankan tugas pemerintahan. Hal itu terungkap ketika suatu hari dia menceritekan kepada adiknya Nani, bahwa sejak dia ditugaskan oleh pemeritah untuk menyampaikan bantuan ke masyarakat yang berupa sapi ( program Departemen Sosial ) banyak sekali Kepala Desa yang datang kerumahnya untuk memberikan gratifikasi atau ucapan terima kasih dengan memberikan sejumlah uang. Tetapi dia menolak dengan tegas : "Mang beto wangsul mawon arto niku, kulo nyambut damel pun di gaji kalih pemerintah, matur nuwun, kulo mboten saget nampi." Yang artinya "Bawa saja uang itu kembali kerumah anda, saya bekerja sudah digaji oleh Pemerintah, maaf saya tidak bisa menerimanya." Rusbagyo menjelaskan kepada adiknya Nani bahwa maksud orang-orang memberikan ucapan terima-kasih karena saking senangnya mereka mendapat bantuan dari pemerintah untuk memakmurkan Rakyatnya tapi sama sekali tidak dipotong barang satu senpun olehnya. Dalam hati Nani berkata "Betapa bangganya aku mempunyai kakak seperti itu". Berarti contoh yang sering dilihatnya sewaktu kecil dahulu oleh ayah mereka memang sangat membekas dihati sanubarinya. Darsoroemekso juga menceritakan kepada anak-anaknya, sebenarnya karena jasanya kepada Negara ia pernah akan diberi hadiah oleh pemerintah Surakarta sebuah rumah tinggal sebagai pengganti rumah yang dahulu dijual untuk keperluan perjuangan. Tapi beliau menolaknya. Beliau lebih memilih mendiami rumah gubug pinjaman. Beliau hanya disuruh menempati atau menunggui kebun luas tersebut oleh saudara jauhnya, karena rumah tersebut sesungguhnya sangat angker dan jarang yang berani bertempat tinggal disitu. Karena biasanya yang bertempat tinggal disitu keluarganya terkena gangguan jiwa, alias gila. Bahkan kabarnya pernah ada yang satu keluarga menjadi gila semua. Tapi alhamdulillah bertahun-tahun Darsoroemekso dan keluarganya bertempat tinggal disitu aman-aman saja alias tidak ada yang terganggu kejiwaannya. Sampai dengan pensiunnya Darsoroemekso tidak bisa membeli rumah lagi setelah rumah yang di Solo dijual untuk bekal perjuangannya. Dan beliau tidak pernah menyesali apa yang telah diberikannya. Bahkan rumah pengganti dari Pemerintahpun ditolaknya dengan halus. Padahal pemerintah memberikan itu bukan karena tanpa alasan. Isbandri Darsoroemekso sangat berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dalam Serangan Umum tahun 1948 atau Agresi Belanda ke II tahun 1948 di Surakarta. Anak-anaknya masih ingat benar mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh ayahnya pada zaman Agresi Belanda ke II di bumi Jawa Tengah itu tepatnya di Surakarta Jawa Tengah . Karena Darsoroemekso sering kali menceriterakan kepada mereka. Bahkan saking seringnya mendengar kisah ayahnya itu, salah satu anaknya ada yang tertarik ingin membuat biografinya. Tapi Darsoroemekso selalu melarangnya. Bersyukur Darsoroemekso sewaktu hidup hidup melarangnya , karena kalau beliau masih ada barangkali hasilnya mungkin tidak sebaik ketika beliau sudah tiada. Dan sulit bagi penulis untuk menyebutnya sebagai "Pahlawan". Karena sebutan Pahlawan biasanya diberikan kepada Pejuang yang sudah tiada. Sedangkan kalau masih hidup disebut dengan "Veteran". Mungkin terlalu idealis kalau dibandingkan dengan masyarakat sekarang. Sampai- sampai beliaupun berpesan tidak mau dimakamkan di makam Pahlawan jika meninggal nanti. Tetap dengan alasan yang sama yaitu " Aku berjuang tidak untuk mendapatkan itu " . Selalu itu yang beliau ucapkan. Begitu lugunya beliau padahal penulis begitu terkesan dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama masa Agresi Belanda ke II tahun 1948 tersebut. Seperti yang sering diceriterakannya kepada putra-putrinya berikut ini : Pada suatu hari Darsoroemekso sedang rapat penting dengan teman-teman dari Komando Militer Daerah Surakarta (KMDK), tapi setiap cerita kepada anak-anaknya, Darsoroemekso tidak pernah menyebut dengan KMDK, tetapi selalu menyebut dengan Tentara Kita. KMDK baru penulis ketahui setelah melihat surat- surat penghargaan yang diberikan kepada Darsoroemekso yang ternyata tersimpan dengan rapi dialmari almarhum. Misalnya begini : "Waktu itu ayah sedang rapat penting dengan Tentara Kita, tiba- tiba salah seorang kepercayaan ayah, yang bertugas berjaga-jaga di tempat-tempat strategis, tiba-tiba datang dan mengatakan kalau Belanda sedang menuju kemari. Lalu dengan segera ayah menyuruh teman-teman ayah untuk segera meninggalkan tempat untuk menyelamatkan diri masing-masing. Yang dimaksud dengan teaman-teman ayah, adalah para tentara dari Komando Militer Daerah Surakarta (KMDK). Karena Darsoroemekso waktu itu bukan anggota Tentara Nasional, tetapi agar bisa membantu Negara dalam menghadapi Agresi Belanda yang ke II khususnya daerah Surakarta, untuk sementara beliau dijadikan staf Komando Militer Daerah Surakarta. Dan kebetulan rumahnya dipakai untuk rapat penting. "Dengan segera ayah bubarkan rapat itu, lalu semua yang hadir ayah suruh untuk pergi meninggalkan tempat itu lewat pintu belakang. Rumah segera dirapikan oleh ibu dan bude kalian, agar tidak terlihat kalau sebenarnya telah diadakan sebuah rapat besar di rumah ayah. Tidak begitu lama, Tentara Belanda benar-benar datang ke rumah ayah. Mereka datang satu truk penuh dengan tentaranya. Tapi ayah tidak gentar. Ayah hadapi sendiri dengan tenang. Lalu ayah bertanya dengan mereka : "Apa kabar tuan ? Tuan kesini sedang mencari siapa ?" Tanya ayah dengan menggunakan bahasa Belanda yang terbata-bata. "O, saya kesini sedang mencari orang yang namanya Darsoroemekso. Adakah disini? Apa kamu tahu orang Darsoroemekso?" Tanya tentara Belanda itu dengan menampakkan wajah sangarnya. Hati ayah kaget sekali, mendengarnya. Tapi ayah berusaha untuk tetap tenang. Lalu Darsoroemekso menjawab. "O , ya tahu Tuan, tapi dia sudah pindah ketempat lain beberapa hari yang lalu. Dan kami tetangganya tidak ada yang tahu, kemana dia pindah. Karena tahu-tahu rumahnya sudah kosong tidak ada orang. Dengan menyakinkan ayahnya mengatakan semua itu, agar orang-orang Belanda itu percaya bahwa orang yang bernama Darsoroemekso itu benar-benar sudah pindah, dan mereka benar-benar tidak tahu kepindahannya dimana. Dan subhanallah, tidak disangka sama sekali, Tentara Belanda itu ternyata percaya begitu saja dengan kata-kata ayahnya. Belanda itu sama sekali tidak curiga kalau sebenarnya orang yang dicari adalah orang yang ada dihadapannya itu. Ini benar-benar pertolongan ALLAH SWT. Tidak biasanya tentara Belanda itu percaya begitu saja dengan ucapan penduduk Indonesia. Apalagi yang berbicara adalah laki-laki yang masih muda. Dimana biasanya mereka menjadi gerilyawan. Apa jadinya kalau waktu itu Tentara Belanda tidak percaya, atau tiba-tiba ada yang memberitahukan bahwa sesungguhnya Raden Isbandri Darsoroemekso itu sebenarnya adalah yang tadi diajaknya berbicara. Barangkali tujuh anak Darsoroemekso yaitu anak ketiga sampai dengan anak kesembilan itu tidak pernah ada di Dunia ini. Dan kemungkinan besar contoh keikhlasan serta keberaniaannya tidak bisa diceriterakan kepada anak cucunya serta masyarakat secara luas seperti sekarang ini. Meskipun selamatnya Darsoroemekso harus dibayar dengan sangat mahal oleh ibu Sumarni istrinya, dan kedua anaknya yang masih berumur tiga tahun dan satu tahun waktu itu. Mereka bertiga bahkan berlima dengan kakak ibu Sumarni serta ayahanda tercintanya harus segera meninggalkan rumah tersebut. Mereka berlima mengungsi di rumah saudaranya yang berada di kota Solo. Semua itu dilakukan hanya untuk menghilangkan jejak mereka. Hal itu memang terbukti ketika suatu saat Indonesia sudah aman dari Agresi Belanda ke II itu, mereka kembali kerumah tersebut sudah dalam keadaan porak-poranda. Termasuk baju seragam Darsoroemekso yang disembunyikan di dalam kuwali yang terbuat dari tanah liat juga ikut berantakan. Terbayangkan bagaimana marahnya Tentara Belanda melihat baju seragam KMDK yang disembunyikan di dalam kuwali yang biasanya untuk memasak itu. Sedangkan Darsoroemekso harus segera meninggalkan kota Solo untuk menghilangkan jejaknya. Karena sangat mengkhawatirkan jika Darsoroemekso masih disekitar kampung Djoyosuran juga. Tentara Belanda bisa saja mengetahuinya bahwa yang namanya Darsoroemekso itu ternyata adalah yang pernah mereka temui . Apalagi kalau ada pengkhianat bangsa. Sudah pasti habislah riwayat Darsoroemekso saat itu. Dengan berjalan kaki menyusuri desa-desa terpencil, keluar masuk hutan, menyeberangi sungai-sungai dan jurang yang dalam, serta kebun-kebun yang sunyi sepi dari manusia. Bahkan perjalanan berat tersebut harus ditempuh dalam waktu dua hari dua malam . Barangkali kalau hanya melewati jalan utama tidak akan sampai selama itu. Tapi itu sama saja dengan bunuh diri. Karena Tentara Belanda dengan transportasinya dan peralatan perang yang canggih sudah pasti berada disepanjang jalan utama. Yaitu jalan raya Solo Semarang. Memang tidak ada pilihan lain Darsoroemekso harus segera meninggalkan kota Solo untuk bersembunyi. Dan pilihannya adalah sebuah desa terpencil di kaki gunung Merbabu , namanya Desa Ngargoloko. Demi kebaikan dimasa yang akan datang apapun harus dilakukannya. Termasuk meninggalkan anak istri tercintanya. Kurang lebih tiga bulan Darsoroemekso harus terpisah dengan anak dan istrinya. Meskipun di daerah yang baru Darsoroemekso sempat dijadikan Kepala Keamanan disana, tetapi hatinya tidak bisa berhenti memikirkan nasib istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Hatinya gundah -gulana memendam kerinduan yang tak tertahankan. Barangkali kalau hanya soal makan mereka bisa terjamin. Karena kakak Sumarni adalah pembatik yang gigih dan ibu Sumarni juga bisa membantunya. Tapi bagaimana dengan keselamatannya, siapa yang akan menjaganya? Selamatkah mereka dari Tentara Belanda yang terkadang bersikap kasar kepada kaum Pribumi? Darsorpemekso bingung bagaimana caranya bisa kembali ke kota Solo. Karena yang pasti Belanda pasti masih berada di kota Solo dan masih tetap mencari dan menanti kedatangannya. Karena nyata-nyata dia suka membantu menyembunyikan para gerilyawan. Dengan berpikir keras, akhirnya Darsoroemekso menemukan caranya. Desa Ngargoloko adalah sebuah desa yang berhawa sangat dingin. Dimana disana tumbuh pohon-pohon teh dengan suburnya. Dengan semangat dan tekad yang selalu membara akhirnyaDarsoroemekso berangkat menyamar sebagai petani yang menjual hasil panennya. Dengan memakai celana pendek berwarna hitam, kaos oblong putih yang sudah lusuh, serta dilengkapi caping gunung terbuat dari anyaman bambu lembut khas Petani Jawa Tengah, dia memikul daun-daun teh yang sudah dikeringkan untuk menuju perjalanan panjang yang sangat melelahkan dan penuh dengan debar jantung. Karena bisa jadi tiba-tiba bertemu dengan Tentara Belanda. Tapi Allah memang Maha Pelindung. Untuk kesekian kalianya Darsoroemekso diselamatkan olehNya. Dia selamat sampai di kota Solo menemui istri dan anak-anaknya. Meskipun di perjalanan sempat dihadang Tentara Belanda. Tapi memang Darsoroemekso selain pemberani juga pandai beracting pula. Lagi-lagi Tentara Belanda percaya bahwa dia adalah Petani yang akan menjual hasil panennya ke Kota Solo. Ada satu hal yang aneh tapi nyata dialami dalam perjalanannya antara desa Ngargoloko ke kota Solo. Yaitu ketika beliau sedang kebingungan bagaimana harus melewati sebuah jurang yang kebetulan sangat curam dan seram. Tapi tiba-tiba saja beliau sudah berada diseberang jurang tersebut dengan sendirinya. Sampai beliau meninggal, misteri tersebut tidak pernah terjawabkan. Darsoroemekso, juga pernah menceritakan, kepada anak-anakya. Ketika itu beliau baru mempunyai satu orang anak, ia sedang berjalan-jalan dengan anak tertuanya, Ismarsono, yang masih berusia kira-kira tiga tahun. Tiba-tiba Belanda dengan membabi buta menembakkan senapannya ke-segala arah. Lalu mereka masuk ke parit-parit agar tidak terkena peluru Belanda tersebut. Sekali lagi beliau selamat lagi. Bahkan juga putra pertamanya. Meskipun harus menunggu beberapa lama untuk bisa kembali kerumah lagi. Karena mereka harus bersembunyi dahulu sampai yakin benar kalau Tentara Belanda sudah menjauh dari tempat tersebut. Darsoroemekso juga pernah mengalami kejadian yang hampir saja mereggut jiwanya lagi, jika pada waktu itu, dia tidak mengambil inisiatif dengan cepat. Waktu itu, ayahnya sedang membawa surat Rahasia. Katanya surat itu berisi "Sandi-sandi" rahasia yang sangat penting. Dalam perjalanan pulang ke rumah ternyata ada pemeriksaan dari Tentara Belanda. Dia kebingungan, bagaimana caranya menyelamatkan Surat Rahasia Negara tersebut. Jika dia lempar atau dibuang pasti akan terlihat dan dicurigai Tentara Belanda. Jika tetap disimpan disaku, itu adalah mala petaka bagi Negara khususnya para pemuda dan seluruh anggota KMDK Surakarta. Tidak ada jalan lain beliau harus melennyapkannya dengan mengunyah dan menelan "Surat Rahasia" tersebut. Hal yang hampir sama juga pernah dialami oleh ibu Sumarni, ketika suatu saat tiba-tiba Tentara Belanda datang kerumah mereka. Tentara Belanda dengan tidak sopannya langsung masuk kerumah mereka. Beruntung ibu Sumarni pandai berbahasa Belanda. Yah, setidaknya jauh lebih lancar daripada Darsoroemekso. Cepat-cepat Ibu Sumarni menghentikan langkah Tentara Belanda itu dengan sapaan yang lemah lembut dan sopan santun. Setelah sebelumnya ibu Sumarni merapikan ayahandanya yang sudah sepuh dan dalam keadaan sakit. "Huhed metyoi meeneer?" (Apa kabar tuan?) Tanya ibu Sumarni. Lalu tentara Belanda menjawab. "Kan yoi Holland spekren?" ( Kamu bisa berbahasa Belanda?) Rupanya Tentara Belanda heran ada seorang ibu muda yang pandai berbahasa Belanda. Lalu ibu Sumarni menjawab dengan mantap. "Ik ben tun Shooll meeneer." (Ya bisa,saya pernah sekolah tuan) Dan kelihatannya Tentara Belanda begitu merasa dihormati karena diajak berbahasa Belanda oleh orang pribumi. " O, ya goed...goed...goed... " Kata Tentara Belanda itu dengan bangga. Meskipun ibu Sumarni menyibukkan Tentara Belanda tersebut dengan cerita-certa dan pertanyaan yang bermacam-macam, tapi Tentara Belanda tetap berjalan melihat-lihat isi dalam rumah tersebut. Ibu Sumarni , jadi sangat khawatir. Karena sebenarnya ayah mereka telah menyimpan sebuah Surat Rahasia dibalik lukisan Eyang Raja Paku Buwono ke IV yang menurunkan mereka. Dengan hati yang berdebar luar biasa, ibu Sumarni tetap mengajak berbincang tentara-tentara Belanda itu. Bahkan sedikit mengajak mereka bercanda. Sementara anaknya yang kira-kira berusia tiga tahun tersebut terus mengikuti jalannya tentara-tentara Belanda tersebut berkeliling sambil sekali-kali mencuri lengah mereka agar bisa memegang-megang senapan tentara Belanda yang dipeluk erat dipinggangnya itu. Barangkali dikira senapan mainan, sehingga anak kecil itu penasaran dan terus mengikuti langkah demi langkah tentara-tentara yang terlihat gagah-gagah itu . Agak deg-degan juga ibu sumarni melihat tingkah laku anak pertamanya itu. Khawatir Tentara Belanda marah dan anaknya dijegal dengan senapannya itu. Kemudian untuk mengalihkan perhatian tentara-tentara Belanda tersebut , Ibu Sumarni memulai pembicaraan lagi. " Tuan-tuan saya sebenarnya ingin sekali kami menjamu tuan-tuan untuk makan siang disini. Tapi sayang kami belum siap. Karena pagi ini kami baru mempunyai beberapa piring ubi rebus. Maaf, tuan-tuan kan tahu, kalau ubi rebus itu membuat mudah buang angin. Jadi saya kan tidak enak kalau nanti tuan-tuan malah saling tembak-menembak dengan teman-teman tuan sendiri. He..he..he.." Ibu Sumarni tertawa dalam ketakutan. Tapi subhanallah... Tawaran ibu Sumarni itu mungkin terdengar sangat lucu ditelinga Tentara Belanda itu, sehingga mereka malah ikut tertawa terbahak-bahak mendengarkan kata-kata ibu Sumarni tersebut. Mereka sama sekali tidak curiga dengan kalimat tersebut yang sebenarnya adalah sebuah kalimat hinaan untuk mereka. Tapi dikemas sangat halus oleh ibu Sumarni. Barangkali saking kesalnya beliau dengan Belanda yang tidak bosan-bosannya mengganggu Rakyat Indonesia. Mereka kemudian berbalik arah dan masih dengan tertawa terpingkal-pingkal segera meninggalkan tempat itu. Bahkan mereka pergi dengan berpamitan sangat sopan dengan ibu Sumarmi. Leganya hati ibu Sumarni setelah kepergian Tentara Belanda tersebut. Dia bersyukur bahwa suaminya tidak ada di rumah. Kalau kebetulan sedang di rumah, entah apa yang terjadi. Karena biasanya Tentara Belanda itu sangat tidak suka dengan para laki-laki yang menurut mereka, sangat membahayakan bagi Tentara Belanda. Mereka selalu curiga dengan laki-laki dewasa, karena dikhawatirkan adalah pejuang-pejuang kemerdekaan. Ibu Sumarni juga pernah menceritakan: Bahwa kehidupan mereka sangat pas-pasan bahkan kekurangan, walaupun Tentara Belanda sudah meninggalkan Indonesia. Pada tahun 1949 an, boleh dibilang adalah kemerdekaan yang kedua bagi Bangsa Indonesia, Tapi ternyata kehidupan mereka tidak jauh berbeda dalam masalah ekonomi. Secara umum mungkin dimaklumi jika pada tahun-tahun tesebut memang Indonesia masih sangat dini usia kemerdekaannya. Apalagi baru saja mendapatkan cobaan lagi dari pemerintah Belanda. Wajar saja kalau kehidupan rakyatnya masih sangat miskin bahkan cenderung sengsara. Tapi sebenarnya bukan tidak mungkin bagi keluarga mereka sebenarnya untuk hidup lebih layak dari yang mereka rasakan saat itu. Karena Darsoroemekso pada waktu awal menjadi pejabat di kota Boyolali adalah di Dinas Ekonomi yang mengurusi mengenai kesejahteraan masyarakat. Alangkah mudahnya bagi Raden Isbandri Darsoroemekso kalau hanya mengambil sekarung atau dua karung beras untuk keperluan makan anak-anak dan istrinya. Bahkan ibu Sumarni juga sudah pernah bercerita kepada anak-anaknya. Bahwa pada waktu itu, ibu Sumarni hanya mempunyai dua lembar kain panjang batik untuk dipakai setiap harinya. Itupun yang satunya sudah sobek barangkali hampir tidak pantas dipakai lagi untuk ukuran istri kepala kantor. Jadi kalau yang satu dipakai ya yang satunya dicuci. Alias BahPeNggo (dikumbah dipepe dienggo, dalam bahasa Indonesianya dicuci, dijemur , dipakai lagi ). Suatu saat ibu baru memakai kain panjang batik yang sobek tersebut. Kebetulan kain panjang milik ibunda itu, sobeknya (maaf) ada dibagian pantat, lalu dengan sengaja ibu dengan posisi menunngging pura-pura membetulkan sesuatu dihadapan ayah mereka. Bermaksud mencari perhatian dari ayah mereka. Barangkali saja dengan melihat keaadaan seperti itu, suaminya akan iba dengan istri tercinta, lalu mau mengambilkan di gudang Pemerintah barang selembar atau dua lembar kain untuknya. Tetapi, apa yang didapat kemudian, Darsoroemekso tidak berkomentar sama sekali. Padahal beliau jelas melihat Pemandangan yang mengenaskan itu. Sedikit kecewa, tetapi justru lebih banyak bersyukurnya. Karena suami yang dicintainya ternyata adalah seorang yang jujur. Sehingga mulai saat itu ibu Sumarni lebih ikhlas lagi dalam menjalankan kehidupan kedepannya. Dia tidak pernah menuntut kepada suaminya meskipun di kotak beras terkadang belum terisi atau tidak mempunyai baju yang pantas dipakai kepesta sekalipun. Dan belakangan ibu Sumarni memahami, bahwa semua itu adalah sebuah pelajaran kejujuran . Sebuah kejujuran yang nantinya akan dicontoh oleh anak-anak mereka. Oleh generasi yang akan datang. Bahwa dengan alasan apapun yang bukan haknya tidak boleh diambil. Kita tidak boleh menggunakan kesempatan dalam kesempitan alias aji mumpung. Tidak bisa terbayang jika seandainya waktu itu ibu Sumarni berhasil menggoda suaminya, dengan tingkahnya yang memancing iba tersebut. Bersyukr juga bahwa ibu sumarni tidak mempengaruhi Raden Isbandri Darsoroemekso, dengan kalimat-kalimat rengekan ataupun rayuan-rayuannya, agar suaminya mau menyalah gunakan wewenangnya. Jika itu dilakukan, barangkali memang kehidupan mereka secara materi akan terpenuhi. Tapi yang sangat mungkin terjadi, jika Darsoroemekso" sekali tergoda" mencuri milik negara, kemudian diberikan ke istri dan anaknya atau keluaraga maka, untuk lain kali akan dengan mudah mengambil lagi dan mengambil lagi. Karena suatu kesalahan yang kecil tetapi terbiasa dilakukan, akan menjadi kebiasaan yang buruk untuk waktu yang akan datang. Jika terbiasa mencuri ya lama-lama tidak merasakan bahwa apa yang dilakukan tersebut sebenarnya adalah hal "Salah" yang sangat merugikan orang lain atau bahkan merugikan negara. Seolah mati rasa. Rasa bersalah, rasa berdosa, dan rasa tidak perduli tidak ada lagi. Sungguh menyedihkan.....dan memprihatinkan. Banyak orang tidak merasa bahwa mencuri harta Negara sebenarnya sama saja dengan mencuri harta kita semua. Karena sesungguhnya harta negara adalah milik seluruh masyarakat. Harta yang harus dipergunakan untuk memakmurkan seluruh rakyat tanpa kecuali. Bukan untuk dinikmati oleh beberapa orang yang merasa dirinya penting saja. Pencuri tetap saja pencuri. Bagaimanapun bentuk dan caranya. Bagaimanapun rapinya cara mengambilnya tetap saja adalah "Pencuri". Adakah kita mau disebut pencuri? Adakah kita tidak malu disebut perampok? Adakah kita ikhlas anak - anak kita makan harta haram? Adakah kita bangga berbagi harta panas dengan sesama memakai uang rampasan negeri sendiri ? Adakah kita berbangga diri dengan harta haram hanya sekedr untuk mendapatkan "pujian semu dari penjilat-penjilat yes men" yang ada disekitar kita ? Marilah kita renungkan wahai saudaraku.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun