Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional! (Bagian 1)

21 April 2013   13:41 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:54 10993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13665264061436085987

[caption id="attachment_239122" align="aligncenter" width="630" caption="Spanduk berbunyi "][/caption]

Ngomongin pendidikan dan pengajaran, saya sering gak nyambung dengan praksis pemerintah mengelola sekolah di tanah air. Hidup anak-anak itu, mulai dari mereka kenal huruf ABC di bangku SD sampai aktif berorganisasi di bangku SMA, seolah hanya untuk mengejar satu hal: Ujian Nasional.

Ujian dibuat sebagai tujuan, bukan proses belajar. Sebagai target, bukan sarana. Ujian diposisikan sebagai satu-satunya cara mengidentifikasi keilmuan murid, bukan metode untuk membuat orang pintar. Posisi ujian berada di awal, bukan di akhir. Dengan kerangka berpikir begini, pendidikan dijalankan dalam bingkai ujian. Pengajaran pun dievaluasi lewat ujian di atas kertas yang hasilnya diukur dengan angka dan warna tinta. Guru dan kepala sekolah melakukan banyak hal (atau diyakini sebagai banyak inovasi) dalam rangka mensukseskan seremoni bernama ujian. Mau tahu ukuran suksesnya? Nilai sekolah. Semakin banyak siswa yang mendapat nilai tinggi, semakin besar kredibilitas sekolah, begitu berlaku sebaliknya.

Maka digelarlah yang disebut dengan ulangan 1, ulangan 2 dan seterusnya. Lalu ada kursus Ujian Nasional yang diadakan guru (atau lembaga bimbel) secara personal. Pelajaran matematika dianggap segalanya. Jelang UN, diadakan simulasi atau pra-Ujian Nasional dengan maksud agar siswa siap luar-dalam menghadapi ujian sungguhan. Belum lagi try out demi try out yang digelar secara massal baik oleh lembaga plat merah maupun swasta.

Tidakkah semua tradisi itu benar-benar telah menempatkan Ujian Nasional sebagai Dewa Pendidikan? Memang belum ada cara yang lebih efektif dalam mengukur keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas selain lewat ujian. Juga tidak ada perangkat lebih canggih untuk menyeragamkan kualitas pengajaran (bukan pendidikan) dari ujung Sabang sampai ujung Merauke. Tapi apakah seperti ini implementasi dari evaluasi belajar di sekolah?

Saya bukan pendidik meskipun pernah mengajar setahun dua tahun dalam rangka pengabdian dan persyaratan pendidikan sekolah. Maka daripada ngomongin teori ini dan itu terkait ujian nasional, ada baiknya saya bercerita bagaimana ujian sekolah diadakan di almamater Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Sebuah ujian yang menurut saya ideal dan layak diterapkan oleh pemerintah.

Sebelum ngomongin soal ujian di Gontor, perlu diketahui bahwa di pondok ini tidak ada yang namanya Ujian Nasional. Pondok mengadakan pembelajaran dengan caranya sendiri. Bahasa pengantar di sekolah juga mengacu pada standar sendiri, yaitu Bahasa Indonesia, Arab dan Inggris (sesuai kebutuhan mata pelajaran). Untuk ujian pun, semua dilaksanakan berdasarkan praktek dan sistem yang berlaku di Gontor. Tidak ada lembar-lembar soal UN berlabel Rahasia Negara yang dikirim ke pondok untuk dibagikan ke santri.

Di tempat sekolah berasrama ini, yang sistem pengajarannya sudah mendapat pengakuan persamaan dari Departemen Agama (1998) dan penyetaraan dari Departemen Pendidikan (2000), berlaku falsafah yang dipegang teguh selama 87 tahun perjalanan pondok: "Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian". Falsafah ujian itu menyatu dengan motto pembelajaran lain seperti "Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode"; "Pondok memberi kail, tidak memberi ikan"; "Ilmu bukan untuk ilmu tetapi untuk amal dan ibadah"; serta "Komposisi pelajaran di pondok adalah 100% agama dan 100% umum".

Selama sekolah di Gontor, sama halnya dengan para siswa di pelosok dunia, saya mendapati ujian sebagai musim yang menggetarkan (lagi melelahkan). Sepuluh hari menjelang ujian, aktifitas ekstrakulikuler seperti kesenian dan olahraga diliburkan. Lampu-lampu di jalan ditambah agar tidak ada sejengkal pun ruang terbuka gelap sepanjang malam. Beberapa aktifitas rutin santri dihilangkan. Peraturan asrama sedikit dilonggarkan.

Ujian adalah musim yang sama sekali berbeda. Pondok menyebutnya sebagai pesta. Pesta ilmu dan pelajaran. Ajang untuk menguasai dan memahami semua pelajaran yang sudah diberikan. Maka sepanjang musim ini, yang berlangsung selama sebulan penuh, Anda akan menemukan semua santri bertebaran di banyak sudut sambil memegang setumpuk buku. Di masjid, di lapangan, di bawah pohon, di tengah jalan, di mana-mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun