Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Pendukung Ahok; Representasi Kemenangan Demokrasi?

10 Maret 2017   11:29 Diperbarui: 10 Maret 2017   11:55 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, kita disajikan dengan sebuah term baru tentang kebhinnekaan, toleransi, dan intoleransi yang dimaknai dengan cara sedikit “egois” oleh orang-orang tertentu yang (katanya) nasionalis dan pancasilais. Bahkan, dalam konteks Pilkada DKI Jakarta kali ini, kita menemukan sebuah jargon, bahwa kemenangan Ahok adalah kemenangan berdemokrasi.ya, kemengan berdemokrasi. Artinya, kalau Ahok kalah, berarti demokrasi kita juga kalah.

Tentu simplifikasi dan kesimpulan semacam ini terasa janggal, terutama ketika klaim sepihak semacam itu menggelinding seakan meniscayakan bahwa mereka adalah pemilik sah atas keberhasilan demokrasi sementara yang berbeda dituduh sebaliknya. Janggal juga karena ketika pasangan calon lain diisukan bersama pendukungnya yang (konon) radikal selalu memaksakan kebenaran versinya sendiri, sementara mereka yang (mengklaim) sebagai kemenangan demokrasi juga memaksakan asumsi, bahwa kalau Ahok jadi gubernur lagi, itu kemenangan demokrasi. Artinya, sama dengan maling teriak maling. Sesederhana itu.

Tapi, apakah benar kemenangan Ahok adalah kemenangan demokrasi? Bahwa kemenangan Ahok adalah kemenangan pancasila, kebhinekaan, dan konsep toleransi di Indonesia, khususnya Jakarta?

Agak rumit menjawabnya, terutama ketika kita dihadapkan pada fakta, bahwa banyak pendukung Ahok adalah mereka yang hobi menyebarkan isu-isu perpecahan. Tim media Ahok, sudah menjadi rahasia umum, begitu gencar mempromosikan Ahok dan menembak calon yang lain melalui kata-kata yang sarkas dan menyakitkan. Kita bisa melihat, bahkan di Kompasiana ini, yang bisa dengan mudah diidentifikasi para pasukan Ahok, bagaimana mereka menggunakan kata-kata “pilihan” untuk memberikan komentar yang sadis.

Beberapa waktu terakhir ini, kita juga sempat disajikan bagaimana Ahoker sejati bernama Iwan Bopeng begitu “kuasa” dan “tak tahu malu” menunjukkan arogansinya yang seakan-akan sudah “dewa”. Iwan Bopeng, dengan fisik dan karakter yang (katanya) “ditakuti” adalah representasi, bagaimana karakter para pendukung Ahok lebih tepat sebagai pengajawantahan dari perusak demokrasi, karena tentu saja, demokrasi mengambil jarak sangat jauh dengan penyelesaian konflik yang menggunakan cara-cara kasar dan sadis. Dalam demokrasi, tak dibenarkan ada perilaku “sok kuasa” dan “sok benar”.

Termasuk juga, apa yang dilakukan oleh Ernest Prakasa (komedian dan aktris) yang sekarang sedang ngenes (tanpa t) beneran. Kicauannya di twitter beberapa waktu lalu, membuatnya menjadi bahan olok-olok nasional. Dirinya menjadi korban dari “sarkasme” verbal yang secara serampangan menegasikan Jusuf Kalla karena bertemu dengan Zakir Naik (yang menerutnya, dari sumber yang dibacanya, adalah penyumbang dana untuk teroris). Permintaan maaf, tak mampu menghentikan nada-nada sumbang yang menghantamnya, terutama di media sosial. Bahkan, Ernest langsung tidak diperpanjang kontraknya sebagai brand ambassador Tolak Angin. Tolak Angin, hampir saja ditolak konsumen. Ini mengingatkan kita pada tragedi Uus, yang sekarang jadi “pengangguran” karena candaannya yang murahan. Mereka tak belajar dari peristiwa sebelumnya. Satu sisi idealis, tapi cenderung naif!.

Pada akhirnya, kemenangan demokrasi sama sekali tidak bisa direpresentasikan oleh pendukung Ahok karena yang dilakukan justeru menghinakan demokrasi melalui kalimat dan kata-kata sarkas dan sadir sehingga terjadi gejolak yang meresahkan di masyarakat. Ketidak-mampuan untuk mengontrol emosi sehingga lebih memilih kata-kata yang benderung “panas” dan bisa membakar suasana kebhinekaan, tentu tak bisa dikatakan sebagai bagian dari bangunan demokrasi. Artinya, kemenangan mereka tak bisa dikatakan kemenangan demokrasi, yang secara sepihak diklaim karena mereka berseberangan dengan kelompok yang dianggap radikal.

Apa ini adalah representasi dari Ahok? Pendukung, gak jauh-jauh beda dengan yang didukungnya. Mungkinkan mereka belajar dari Ahok? Teman bergaul memang berpengaruh terhadap karakter seseorang. Pergaulan buruk, akan melahirkan peribadi yang kemungkinan buruknya lebih besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun