Ada berbagai ekspresi yang biasa diungkapkan seseorang ketika baru saja selesai membaca sebuah buku. Dari "Ah, bukunya biasa saja" sampai yang dramatis seperti "Gila! Ini buku terkeren yang saya baca tahun ini!" Tapi, rasanya tidak ada ekspresi yang cukup untuk menggambarkan kekaguman saya seusai membaca Food Rules karya Michael Pollan. Ini masterpiece!
Ini buku tentang kesehatan yang ditulis seorang jurnalis. Buku tipis yang isinya sederhana sebenarnya: paparan tentang 64 aturan dalam memilih makanan.
Aturan-aturan itu dijelaskan dengan cara yang sangat sederhana, pintar, masuk akal, dan penuh humor. Sebagai contoh, saya kutipkan aturan ketujuh dalam buku ini: "Hindari produk makanan yang bahan bakunya tidak bisa dilafalkan oleh siswa kelas tiga sekolah dasar."
Jujur, selama ini saya sangat merasa ketakutan saat membeli makanan entah di supermarket ataupun di warteg. Takut jika tiba-tiba makanan yang saya makan membuat saya jadi bodoh dan kemudian tidak masuk perguruan tinggi favorit. Atau kadang terpikir, berapa banyak penyakit yang akan datang kelak kalau makanan saya model begini?
Misalnya, siapa coba yang tidak suka gorengan? Dan gorengan yang enak umumnya dijual di luar, bukan bikinan rumah. Tetapi, acara televisi, biasanya liputan investigatif, membuat kita ketakutan untuk makan ini atau itu. Hingga kemudian Michael Pollan datang dengan penjelasannya.
"Makan kini telah menjadi suatu konsep yang cukup rumit memang. Tidak perlu begitu, paling tidak itu menurut saya. Saya akan sampai pada bagian 'tidak perlu begitu' sebentar lagi, tapi sebelumnya, pikirkan kompleksitas yang kini ada pada aktivitas makhluk hidup yang paling dasar ini.
"Kebanyakan kita bergantung pada pendapat sejumlah ahli yang menyarankan bagaimana kita harus makan---dokter, buku diet, keterangan-keterangan media mengenai temuan terbaru ilmu gizi, laporan pemerintah, dan piramida makanan serta klaim kesehatan pada kemasan makanan. Itu yang kamu lakukan selama ini bukan?" Katanya menggebu-gebu.
Oh Tuhan, Michael Pollan betul-betul tahu ketakutan saya. Sebelum saya berucap lagi, ia melanjutkan.
"Tidak perlu terlalu menggubris nasihat-nasihat tersebut, tapi saya mengerti suara mereka kerap terngiang di telinga saat kita hendak memesan menu atau mendorong kereta belanja di supermarket. Di kepala kita sekarang terdapat sejumlah besar biokimia. Lucu, ya, sepertinya sekarang semua orang akrab dengan beragam istilah seperti 'lemak jenuh', 'antioksidan', 'asam omega-3', 'karbohidrat', 'polifenol', 'asam folat', 'gluten', dan 'probiotik'. Hal ini menunjukkan seakan-akan kita tidak lagi melihat wujud nyata makanan, tetapi langsung tembus pandang melihat ilmu gizi yang terkandung di dalamnya."
Jleb!
Yah, padahal menurut penelusuran saya di Google, perkembangan ilmu gizi baru dipikirkan pada abad ke-18, dan hingga saat ini, para ahli masih disibukkan dengan penemuan ilmu gizi yang baru. Jadi, sebelum abad ke-18, manusia sebenarnya tidak memerlukan ilmu gizi untuk memperpenjang umurnya, menyehatkan tubuhnya, dan mencerdaskan otaknya.