"Suatu hari, Pandora sangat penasaran dan kemudian membuka kotak tersebut. Setelah dibuka, dari kotak itu keluar berbagai macam keburukan (kejahatan, penyakit, penderitaan). Semua keburukan itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Pandora kemudian melihat ke dalam kotak dan menyadari masih ada satu hal yang tersisa di sana: harapan"
sumber: wikipedia
*****
Sebuah perbincangan di sebuah teve swasta antara DR. Rizal Ramli, Prof. Salim Said dan dipandu oleh host anchor, Â Fessy Alwi isteri dari seorang pengacara, seorang Ahoker tulen tentang Pancasila dan Indonesia berhasil mengeksploitasi sisi-sisi yang selama ini tidak dan seperti dijauhi oleh sejumlah mass media, terutama televisi tentang kepemimpinan Jokowi. Kedua narasumber ini malahan dengan gamblang menceritakan hal-hal yang selama ini terjadi. Terutama tentang makna dan penerapan nilai-nilai Pancasila di Indonesia.
Situasi yang kias memanas. Eskalatif dan cenderung membuat polarisasi Indonesia menjadi dua kubu yang sama-sama bertahan untuk saling menggenggam kebenaran yang diyakini. Fessy selaku pemilik acara berusaha untuk memberikan situasi pemahaman yang moderatif tidak bisa menahan seorang profesor ilmu politik yang ceplas-ceplos seperti Salim Said. Apalagi Rizal Ramli yang memang juga mantan aktifis dan tokoh pergerakan mahasiswa yang tidak beranjak dari pengamatan kritisnya terkait tata kelola pemerintahan Jokowi yang kental dengan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok minoritas tapi memiliki aset super trilyunan jumlah.
Sampai saat dimana sebuah pertanyaan yang diajukan tentang untuk kedua kubu ini kembali kepada tujuan bernegara. Salim dan Rizal sepakat mengatakan Ahok yang dengan sadar atau mungkin tidak untuk nimbrung tentang sesuatu yang dia tidak imani atau yakini. Salim mengatakan mengapa Belanda bisa bertahan ratusan tahun menjajah nusantara karena memang Belanda tidak berusaha mengutak-atik sebuah keyakinan, agama atau mungkin kearifan lokal sebuah bangsa. Dan anak-anak bangsa tidak merasa perlu melakukan perlawanan karena memang dikangkangin Nusantara tidak menjadi begitu substansial sehingga kemudia Belanda mulai menangkapi para tokoh ulama.
Ahok yang bermulut lancang yang kemudian Jokowi terpaksa menerima kenyataan dimana majelis hakim masih cukup waras dan memenuhi rasa keadilan yang diingikan umat Islam menimbulkan efek-efek politis yang malahan bergulir bak bola salju. Polarisai ini kian menggumpal tidak lagi sekedar Ahoker dan Bhoker, eskalasi dari konflik ini mulai menyambar buhul-buhul keimanan antara muslim dan non muslim. Jokowi seperti tidak menyadari Indonesia tengah menuju armagedon yang luar biasa menakutkan.
Kasus persekusi yang dilakukan oleh FPI tidak berdiri sendiri melainkan diawali oleh tindakan penghinaan melalui medsos oleh -konyolnya seorang anak muda keturunan cina dan imbuhannya adalah si pelaku penghinaan kepada imam FPI tersebut seorang non muslim pula. Profil konflik yang menyebar dengan cepat ini semakin menjustifikasi bahwa polarisasi pasca pilkada Jakarta tidak berhenti, bahkan baru dimulai dalam babak yang paling mencekam, konflik agama.
Embrio persiapan terutama di umat islam selepas mata dan sejauh mata memandang adalah persiapan yang kian masif. Pemerintahan Jokowi lebih memilih untuk menyebutnya sebagai upaya makar yang konyolnya malahan ekspresi ini disesumbarkan oleh kelompok non muslim di Minahasa.
TNI lebih cepat membaca situasi dimana Panglima mulai menyebut-nyebut kalimat netral, "lakum dinukum waliyadin" dalam beberapa kesempatan. Tapi reaksi umat tidak serta merta mendingin karena alat-alat negara yang seharusnya netral mulai kasat mata mulai berpihak kepada sumbu kekuasaan. Upaya kriminalisasi semakin mengaksentuasi persiapan perlawanan umat. Entah apa kelak jadinya saat dua kubu berbeda keyakinan ini memilih untuk menuntaskannya di Indonesia dan alat-alat negara berpihak kepada salah satunya.
Kotak Pandora yang dibuka dengan serampangan oleh Ahok tidak saja menghamburkan anasir-anasir pragmatis untuk bermain disela-sela potensi konflik yang mengerikan ini. Ahok tidak saja bertanggung jawab atas situasi yang semakin tidak berkesudahan namun juga membuat luka-luka lama yang di dramatisasi oleh beberapa sudut pandang seperti sejarah Pao An Tui, yaitu sejumlah warga keturunan cina yang ikut membantu Belanda menjajah dan membunuhi rakyat Indonesia yang tengah berjuang merebut kemerdekaan. Dan mendadak saat ini nyaris sebagian warga negara Indonesia dari etnis ini dengan pongah dan jumawa berteriak tentang "saya Indonesia dan Saya Pancasila".