Berbicara tentang perbankan syariah, saya sudah menabung di Bank Aceh Syariah cabang Meulaboh sejak tahun 2011. Namun waktu itu Bank belum terkonversi ke sistem syariah. Baru kemudian pada 19 September 2016, Bank Aceh yang sebelumnya melakukan kegiatan operasional secara konvensional akhirnya menjadi Bank Aceh Syariah.
Sebagai nasabah tentu ada perbedaan yang saya rasakan. Namun perbedaan itu baru terletak pada sistem bagi hasil (nisbah) setiap bulan, yang dulu sebelumnya disebut suku bunga saat masih konvensional. Berdasarkan informasi dari petugas bank tempat saya menabung, bagi hasil ini ternyata ditetapkan bergantung pada keuntungan yang didapatkan bank dalam jangka waktu tertentu dan sesuai dengan kinerja bank. Sehingga dapat dipastikan jika besar nilai bagi hasilya tidak tetap (fluktuatif). Jadi jika bank sedang baik dalam kinerjanya, kita sebagai nasabah akan mendapatkan lebih dari rumus yang sudah ditetapkan. Namun bila tidak, ya sebaliknya. Hal ini berlaku pada semua produk Perbankan Syariah.
Hal ini tentu berbeda dengan produk bank konvensional yang pembagian keuntungan diberikan dengan pemberian bunga tetap alias tidak berubah sesuai rumus atau formula yang ditetapkan, yang akan berlaku hingga akhir jangka waktu dari produk bank tersebut.
Tapi rasa sedihku tiba-tiba terobati juga, karena saya mendapat informasi ada diskusi publik yang akan digelar di Banda Aceh bertemakan “Perbankan Syariah, Syariahkah”? Tentu saja saya tidak mau melewati kesempatan ini. Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Pemuda Dewan Dakwah Aceh (PDDA) bekerjasama dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Ahkam Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), bertempat di Ruang Video Teleconference Fakultas Hukum Unsyiah, Kamis (6/4/2017).
Diskusi ini bertujuan mengupas seluk-beluk perbankan yang berbasis syariah yang tengah menjadi buah bibir di masyarakat Aceh, terutama setelah disahkannya qanun tentang perbankan syariah di Aceh.
"Saat diskusi berlangsung, banyak peserta yang mempermasalahkan tentang kesyariahan perbankan syariah. Mereka yang juga mewakili masyarakat banyak, menilai bahwa prinsip yang diterapkan oleh perbankan syariah sama saja dengan bank konvensional. Akhirnya pun timbul banyak pertanyaan, apakah bank syariah di sini hanya sebatas pelabelan dan berganti cover saja? Bagaimana sebenarnya yang dikatakan bank syariah itu benar-benar syariah? Dan sudah syariahkah perbankan syariah yang ada di Indonesia saat ini?
Dalam diskusi publik tersebut, sang nara sumber Dr Muhammad Yasir Yusuf, Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry sekaligus pakar Ekonomi Syariah mengatakan “ada beberapa penilaian tentang bank itu dapat menjalankan operasional syariah-nya yaitu melalui 4 (empat) aspek yakni: 1. Legalitas Bank Syariah 2. Peraturan BI 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan 4. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
Aspek ini dilihat karena standarisasi operasional bank yang disyariahkan haruslah terpenuhi dalam ke empat aspek tersebut. Akad-akad atau perjanjian yann nantinya dicantumkan ke dalam produk syariah ini harus merujuk ke dalam aspek ini. Agar tidak menimbulkan transaksi-transaksi yang dapat merugikan para pihak bank syariah dan pihak nasabah.
Banyak buku-buku tentang konsep syariah yang ditulis oleh pakar ekonomi syariah terkait penerapan prinsip syariah, apakah sudah syariah? Seperti mudharabah, musyarakah dan lainnya. Nah, keseluruhan akad ini atas kesepakatan bersama tanpa perlu jaminan apapun. Artinya, dengan modal kepedulian dan kepercayaan sesama umat bermuamalah tidak mejadi penghalang dalam melakukan transaksi pemberian modal.