Mohon tunggu...
Igam Arya Wada
Igam Arya Wada Mohon Tunggu... -

Penulis adalah Alumni Pascasarjana Magister Hukum Tata Negara (S2) Universitas Jember, Jawa Timur, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Perpu Ormas : Adakah Agenda tersembunyi?

17 Agustus 2017   13:26 Diperbarui: 17 Agustus 2017   15:35 932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Beberapa saat lalu bangsa Indonesia telah dihebohkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas  Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas). Pemerintah menganggap perlu mengeluarkan perpu ormas karena adanya kegentingan yang memaksa  sehingga dapat membahayakan kedaulatan negara (Lihat kegentingan yang memaksa versi pemerintah yang telah merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.138/PUU-VII/2009 dalam Penjelasan umum pada Perpu Ormas). Sejak dikeluarkannya Perpu Ormas dan masuk dalam pembahasan di DPR, Perpu tersebut sangat kontroversi karena partai koalisi pemerintah menerima adanya Perpu dan sisanya menolak (Lihat pemetaan fraksi DPR dalam pembahasan perpu ormas). Begitupun masyarakat, ada yang pro dan ada juga yang menolak adanya Perpu Ormas karena dianggapnya tidak layak dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) (Lihat polemik perpu ormas di dalam masyarakat).

Pada dasarnya jika kita melihat pada bagian penjelasan umum dalam Perpu Ormas dalam konteks perlindungan pemerintah dalam kedaulatan negara, apa yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Perpu Ormas itu adalah langkah yang tepat. Sangat terlihat jelas bahwa dalam hal ini pada dasarnya pemerintah menggunakan teori kedaulatan negara serta menggunakan teori pembatasan HAM sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 28 J UUD 1945 dan Pasal 73 dan 74 UU 39 tahun 1998 tentang HAM. Berdasarakan pada ketentuan pasal yang terdapat di dalam pasal 28 J UUD NRI 1945 yang dimiliki oleh Indonesia menganut konsep HAM yang tidak bersifat absolut (relatif). Hal ini juga sejalan dengan pandangan Association Of Southeast Asian Nation (ASEAN) di dalam butir pertama dan kedua Bangkok Declaration Of Human Right 1993. Berdasarkan deklarasi tersebut menegaskan bahwa deklarasi HAM Universal dalam konteks ASEAN harus mempertimbangkan kekhususan yang bersifat regional dan nasional dan berbagai latar belakang sejarah, budaya, agama, sehingga penafsiran Deklarasi HAM Universal tidak seharusnya ditafsirkan dan diwujudkan secara bertentangan dengan ketiga latar belakang yang dimaksud. Bahkan pasal 4 International Convenant On Civil and Political Right (ICCPR) juga mengatur adanya pembatasan HAM saat negara berada pada kegentingan yang memaksa.

Dalam konteks ormas, memang benar bahwa negara memberikan jaminan terhadap hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian dari HAM dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. Tetapi perlu diketahui bahwa HAM tidak dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya dan harus tetap berdasar pada koridor hukum yang berlaku agar HAM tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa dengan bersembunyi pada HAM itu sendiri. Dalam hal pembatasan HAM sebagaimana yang terdapat dalam hukum positif Indonesia, dapat diartikan bahwa pemberian HAM kepada setiap orang dapat digunakan sesuai dengan porsinya dan tidak boleh bertentangan dengan aturan atau menggangu jaminan hak asasi orang lain. Maka dari itu dapat diartikan bahwa jaminan pemberian HAM hanya diperuntukkan kepada Ormas yang taat pada aturan hukum yang berlaku sesuai dengan tujuan dasar terbentuknya Ormas demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

Tetapi, jika kita melihat lebih dalam dengan dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah setelah berlakunya Perpu Ormas dari aspek HAM pada dasarnya negara telah salah mengartikan bahwa HTI telah melanggar HAM masyarakat lain karena tidak jelas pula siapa yang dirugikan oleh HTI. Sistem Khilafah Islamiyah yang dikembangkan oleh HTI hanya masuk pada tataran ideologisnya saja, sehingga dalam hal ini pemerintah harus juga menjelaskan kepada masyarakat luas, apa saja bukti-bukti yang dimiliki oleh pemerintah. Jadi, apa yang dilakukan pemerintah terhadap HTI menjadi transparan dan tidak terkesan otoriter bahkan diskriminatif. Suatu hal yang juga dapat dianggap semakin melemahkan dan juga merupakan kemunduran terhadap adanya aturan tentang Ormas yang terdapat dalam Perpu Ormas dalam konteks negara hukum yaitu tidak adanya sistem peradilan (due process of law) yang terdapat dalam Perpu Ormas. Pasal mengenai jaminan pemberian hak untuk melaksanakan due process of law telah dihapuskan sehingga menghilangkan hak setiap ormas untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam proses peradilan. Sehingga dapat diartikan bahwa, seketika suatu Ormas bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Perpu Ormas maka pemerintah dapat dengan mudah memberikan teguran bahkan membubarkan suatu Ormas yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang. Hal inilah yang memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah terkesan otoriter.

Berbeda dengan aksi-aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) hal ini lebih terlihat nyata dan logis bahwa aksi kekerasan yang dilakukan FPI sangat bertentangan dan melanggar HAM. Dalam beberapa aksinya bahkan FPI dapat menjadi sumber kerentanan suatu gerakan ormas yang dapat mengancam kedaulatan negara dengan memberikan pandangan dengan menginterpretasikan kitab suci agama Islam sehingga dengan mudah meng-kafirkan umat beragama lain yang bertentangan dengan mereka. Bahkan dengan adanya FPI, akan menyebabkan konflik horisontal maupun vertikal yang akan memperkeruh kondisi isintegrasi bangsa Indonesia. Lalu pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak membubarkan FPI saja, lantas mengapa HTI ? pelanggaran HAM apa yang telah dilakukan oleh HTI ?

Dalam hal ini telah jelas bahwa muatan HAM yang terdapat di dalam Perpu Ormas sangat lemah, karena juga terlihat bahwa pembubaran suatu ormas hanya didasarkan pada ormas yang bertentangan dengan Pancasila yang notabene pemerintah menganggap bahwa penyebaran paham Khilafah Islamiyah yang dilakukan oleh HTI sangat membahayakan Pancasila yang diakui sebagai satu-satunya ideologi bangsa Indonesia. Hal inilah yang mengindikasikan bahwa pemerintah tidak membubarkan FPI terlebih dahulu karena belum ditemukan adanya bukti bahwa FPI bertentangan dengan Pancasila. Tetapi jika pemerintah mau memandang FPI dari sisi yang berbeda pada dasarnya aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI telah bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan HAM. Dapat dibuktikan, pertama jika kita melihat pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa terbukti bahwa FPI menggunakan nama agama untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang dianggap bertentangan dengannya. Agama memiliki esensi yang sangat suci sehingga penggunaan nama agama pada FPI menciderai nilai-nilai keislaman itu sendiri, apalagi digunakan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat. Kedua, aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI juga telah bertolak belakang dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dimana dalam melakukan setiap aksinya FPI juga harus menghormati hak asasi orang lain sehingga FPI tidak seharusnya melakukan aksi-aksi kekerasan mengatasnamakan agama dan harus mengawal hak asasi orang lain juga. Ketiga, jika aksi kekerasan dengan mengasanamakan agama oleh FPI terus dilakukan maka dalam hal ini akan berdampak pada disintegrasi bangsa dan hal ini sangat bertentangan dengan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Secara lisan dan tertulis FPI memang tidak pernah terlihat menolak Pancasila sebagai ideologi bangsa tetapi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk telah memperlihatkan bahwa FPI bertentangan dengan Pancasila dan HAM secara tidak langsung.

Kembali lagi pada pembahasan mengenai pembubaran HTI, tampaknya pemerintah menganggap bahwa HTI berbahaya untuk kedaulatan Indonesia karena dengan disebarkannya paham berupa Khilafah Islamiyah pada akhirnya akan semakin banyak anggota yang direkrut oleh HTI serta juga telah  menyasar pada semua kalangan mulai dari kaum muda hingga usia dewasa. Sehingga dengan banyaknya anggota HTI yang ada di dalamnya serta tujuan HTI yang ingin menjadikan Indonesia menjadi negara Islam yang berdasarkan Khilafah Islamiyah dapat dianggap sebagai suatu kegentingan yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkan Perpu untuk menindak tegas ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Bahkan dengan banyaknya anggota HTI yang direkrut akan sangat rentan juga digunakan oleh pihak asing sebagai agen radikalisasi di Indonesia karena pandangan agama yang berbeda dari Islam moderat pada umumnya. Merujuk pada teori kedaulatan negara yang disampaikan oleh Kranenburg yang menyatakan bahwa “secara formal negara mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, jika diperlukan bahkan negara dapat memaksakan suatu kebijakan jika memang harus dilakukan demi keutuhan suatu bangsa”. Dari teori tersebut jika kita komparasikan dengan HAM yang berlaku di Indonesia, maka akan terlihat bahwa kedaulatan negara dan HAM bagaikan mata uang dengan dua sisi yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Pada satu sisi HAM bergerak pada segi kemanusiannya (sensitifitas) sedangkan kedaulatan negara digunakan dalam rangka untuk melindungi bangsa Indonesia melalui langkah-langkah preventif yang terkadang juga mengesampingkan HAM itu sendiri.

Lalu apa tujuan pemerintah sebenarnya ? apakah pemerintah memiliki agenda tersembunyi yang tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya ? Jika kita melihat pada ketentuan Perpu Ormas yang terdapat di dalam pasal 59 ayat (3) tentang hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh Ormas, terlihat bahwa perpu ini sebenarnya tidak hanya menyasar pada HTI tetapi juga untuk Ormas-Orams Radikal lain yang selalu mengatasnamakan agama untuk melanggengkan aksi kekerasan yang dilakukannya. Tetapi memang hal yang menjadi tidak logis dan melemahkan pemuatan HAM serta memperburuk keberadaan Perpu Ormas yaitu hilangnya ketentuan mengenai sistem peradilan (due process of law) yang harusnya ada dalam Perpu Ormas sebagai dasar yang harus ada dalam negara hukum yang demokratis. Jika kita melihat pada UU Ormas sebelumnya khususnya pasal 62 tentang pemberian sanksi tertulis, pada dasarnya akan ditemukan kelemahan yang memberikan jangka waktu pada setiap surat peringatan tertulis selama 30 hari dan berlaku 2 kali pada setiap surat peringatan. Artinya ada 6 kali teguran tertulis yang diberikan oleh pemerintah, sehingga hal inilah menyebabkan lambatnya proses pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) yang berimplikasi terhadap pembubaran Ormas yang telah melakukan aksi melanggar undang-undang. Selain itu indikasi lain yaitu, tidak tegasnya pemerintah dalam proses pemberian surat peringatan tertulis juga menyebabkan lambatnya proses hukum terhadap Ormas Radikal. Maka revisi terhadap UU Ormas lama terhadap Perpu Ormas harusnya lebih terfokus pada pasal tersebut dan tidak menghilangkan aspek lain seperti tidak adanya proses peradilan (due process of law) dalam perpu tersebut.

Hal ini mengindikasikan bahwa semakin buruk dan tidak layaknya aturan mengenai ormas yang ada di Indonesia. Pada dasarnya jika sejak dahulu pemerintah tegas dalam memberikan sanksi administratif terhadap kegiatan ormas yang telah terlihat melanggar undang-undang maka hal ini tidak akan terjadi. Dalam konteks HTI, saat ini tidak memiliki akses untuk melakukan proses peradilan (due process of law) sehingga HTI merasa bahwa hak asasinya telah dilanggar oleh negara dan mengajukan judicial review terhadap Perpu Ormas ke Mahkamah Konstitusi. Jika pada akhirnya permohonan HTI terhadap Perpu Ormas ditolak oleh MK, maka hal ini akan berdampak besar terhadap eksistensi ormas-ormas islam Radikal lainnya untuk segera menyatukan visi dan misi dengan Pemerintah. Tetapi juga dikhawatirkan, ketika ormas radikal lain dibubarkan maka akan membentuk sebuah organisasi yang bergerak dibawah tanah dan tidak terlihat untuk menyerang kedaulatan NKRI yang tentunya hal ini juga akan menjadi suatu hal yang semakin membahayakan Kedaulatan NKRI.

*) Igam Arya Wada – Alumni Magister Hukum Universitas Jember

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun