Mohon tunggu...
Ibar Al Aqsha
Ibar Al Aqsha Mohon Tunggu... -

Novelis, kritikus sosial,pemikr,musisi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hoax: Sebuah Fenomena

22 Januari 2017   05:01 Diperbarui: 4 April 2017   16:25 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Lynda Walsh dalam buku berjudul “Sins Against Science”, menuliskan bahwa istilah "HOAX" sudah ada sejak tahun 1800 awal pada era revolusi industri di Inggris. Bahkan jauh sebelum itu, Alexander Boese dalam bukunya “Museum of Hoaxes” menuliskan bahwa istilah HOAX pertama kali terpublikasi melalui almanak atau penanggalan palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff  pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian astrolog John Partridge. Istilah ini lantas menjadi semakin populer sejak dirilisnya film berjudul serupa pada tahun 2006. 

Sederhananya dapat kita artikan bahwa HOAX adalah istilah untuk menggambarkan suatu berita bohong, fitnah, atau sejenisnya. Pada mulanya istilah ini lebih identik dengan golongan selebriti atau public figur yang lekat oleh berita-berita bohong nan simpang siur. Di Indonesia sendiri apabila menengok 4 sampai 5 tahun yang lalu, istilah HOAX sendiri sudah banyak digunakan oleh media-media infotainment pada berita-berita selebriti atau public figur. Pada era digital, istilah HOAX semakin dikenal dengan semakin mudahnya mengakses informasi pada media sosial maupun situs-situs berita.

Lalu mengapa istilah ini menjadi semakin populer akhir-akhir ini ? ya bisa saja ini terkait dengan dibentuknya Satgas anti HOAX oleh pemerintah baru-baru ini. Tapi diatas semua itu, fenomena HOAX ini sendiri menjadi sangat menarik apabila dilihat dari banyak sisi. Maraknya pembuat berita HOAX di media sosial atau situs berita berbanding lurus dengan jumlah masyarakat kita yang percaya begitu saja tentang kebenaran berita HOAX tersebut. Pada awalnya, informasi HOAX masih dapat dihitung dengan jari dan masih sangat mudah kita bedakan walau hanya dilihat sekilas saja, tetapi seiring semakin pesatnya teknologi informasi maka informasi HOAX ini semakin menjamur dan sulit dibedakan, kecuali dengan analisa dan opini masing-masing yang itupun boleh jadi berbeda-beda pula.

 Sebagai contoh, pada sebuah artikel berita A (yang ternyata HOAX), untuk segelintir masyarakat kita tidak serta merta mempercayai berita A tersebut, dikarenakan analisa pribadi, opini, dan klarifikasi sumber berita yang masuk akal. Tetapi, untuk lebih banyak masyarakat kita, justu dengan serta merta mempercayai berita A tersebut bahkan dengan hanya membaca judul beritanya saja, tanpa klarifikasi sumber terlebih dahulu. Yang lebih ironisnya lagi, berita A tersebut kemudian dishare kemana-mana dan dilihat oleh semakin banyak orang. Hal ini tentu saja dapat dengan mudah membentuk persepsi publik tentang suatu topik tertentu melalui isi beritanya. Segampang itukah ?

Dalam teori intelijen, ada yang kita kenal dengan istilah Admiralty Code. Sebuah cara intelijen untuk menilai kebenaran sebuah informasi berdasarkan sumbernya. Sumber A1 adalah informasi yang kita dapatkan langsung dari sumber terkait (Completely reliable), A2 adalah sumber yang kita dapatkan dari pihak ke dua (Usually reliable), A3 dari pihak ke tiga (Fairly reliable), A4 dari pihak ke empat (Not usually reliable), A5 dari dari pihak ke lima (Unreliable), A6 dari pihak ke enam (Reability cannot be judget), dan seterusnya. Sederhananya, semakin simpang siur sumber sebuah informasi maka kebenarannya semakin diragukan. Sebagai contoh, "Kemarin saya ketemu dengan si A yang menyampaikan bahwa si B bercerita kepadanya tentang si C yang diceritakan oleh si D tentang si E yang membunuh adiknya". 

Kaitannya dengan fenomena saat ini, sumber informasi yang diperoleh dari banyak media sosial maupun situs berita, sebenarnya bukanlah sumber A1 yang benar-benar dapat dipercaya. Apa lagi ketika berita tersebut disampaikan ulang oleh satu orang ke orang lainnya, lalu dibaca oleh orang lainnya, kemudian didengar oleh orang lainnya, dan terus menerus disebarkan ke orang lainnya, maka kebenaran informasi tersebut dapat mencapai sumber A ke 20, 30, bahkan lebih. Dalam persepktif ini, sebenarnya sebuah informasi bisa dengan mudah kita olah diotak hanya dengan melihat sumber A-nya saja. Tapi sayangnya, masyarakat kita masih terlalu gampang termakan oleh sebuah sumber "A" yang kebenarannya sangat diragukan. 

Kebiasan masyarakat kita yang acuh dan terlalu mudah menerima sebuah informasi tanpa klarifikasi sumber adalah momok. Mengapa, karena kebiasan ini pada akhirnya bisa menciptakan opini publik, tersebar secara masal dan tidak terkontrol. Mungkin saja hal ini tidak seberapa untuk topik-topik tertentu, tetapi untuk topik-topik vital boleh jadi dapat menimbulkan perpecahan dan mengancam kebhinekaan.

Namun perlu diketahui bahwa tidak ada satupun yang dapat disalahkan untuk hal ini. Kebiasaan acuh dan gampang menerima sebuah informasi tanpa klarifikasi sumber sejatinya adalah hasil dari sistem yang kita bangun sendiri. Masyarakat kita tidak dididik untuk berpikir kritis dan menggunakan daya analisanya. Kita dididik oleh sistem yang menciptakan hafalan sebagai Tuhan, dan hanya menerima apa yang telah ditetapkan oleh kurikulum dari jenjang paling dasar hingga jenjang paling tinggi. Jadi jangan heran kalau masyarakat kita berdasarkan indeks Intelegence Quotient kalah jauh dibandingkan Vietnam dan Malaysia. Alih-alih singapura yang menempati posisi ke lima sebagai negara dengan manusia tercerdas di muka bumi. Sejatinya, wajah masyarakat kita tercermin bahkan hanya dari sebuh fenomena yang bernama HOAX sekalipun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun