Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Inovasi dan Kekalahan Sebuah Bangsa

20 Maret 2017   11:46 Diperbarui: 20 Maret 2017   22:02 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membunuh inovasi. Sumber: gruposcooperativos.wordpress.com

"Stabilitas sudah mati. Gagasan bahwa anda bisa menciptakan bisnis yang tidak akan didisrupsi oleh teknologi, telah berakhir." (Don Tapscott)

Semua orang menuntut dan mendambakan inovasi. Namun inovasi hadir tidak sekedar meningkatkan nilai barang dan jasa. Yang ikut mengiringi inovasi adalah model bisnis baru. Sehingga, inovasi tidak sekedar mendisrupsi atau membunuh barang/jasa lama, tapi juga model bisnis lama. Disrupsi pada model bisnis inilah yang bisa membuat industri mapan dan market leader 'mati dalam semalam'.

PERUBAHAN SIFAT DAN MODEL BISNIS

Mari kita lihat contohnya di industri musik.

Dulu bila kita suka pada satu-dua lagu yang dipromosikan di televisi atau radio, maka kita harus beli satu kaset album. Isinya bisa 10 lagu atau lebih. Kita tak punya pilihan untuk beli satu-dua lagu yang kita suka saja. Padahal, harga satu kaset itu adalah harga 10 lagu. Dengan demikian kita 'dipaksa' untuk membayar sesuatu yang tidak kita butuhkan.

Model bisnis ini sangat menguntungkan bagi studio atau label rekaman, distributor atau toko kaset, dan artis. Kala itu kita kenal tangga lagu Billboard yang menunjukkan peringkat penjualan terbanyak, atau berbagai penghargaan berdasarkan jumlah kopi terjual.

Gelombang disrupsi pertama adalah teknologi encoding MP3 yang membuat lagu-lagu pada album bisa dipisah dan didistribusikan secara elektronik dengan sangat mudah. Model bisnis yang menjual satu album jadi tidak relevan lagi. Konsumen bisa memilih, membayar dan mendownload lagu yang mereka suka saja. Harganya jauh lebih murah.

Disrupsi pertama ini menghantam toko kaset dan produsen pita kaset, karena berjualan kaset album tak lagi relevan. Hantaman juga datang ke label, dimana mereka tak bisa lagi berjualan lagu yang 'tidak penting'. Secara kuantitas maka volume produk yang mereka jual jadi terkikis. Di sisi lain, lahir layanan penyedia MP3. Yang paling fenomenal adalah Napster yang membagikan membagikan musik MP3 secara gratis, dan akhirnya ditutup. Black market bermunculan yang kegiatan utamanya adalah pembajakan dan distribusi musik MP3 gratis. Model bisnis menjual lagu 'tidak penting' ke dalam satu album juga didisrupsi secara tradisional oleh pembajak CD yang mengkompilasi lagu-lagu top chart berbagai artis dari label berbeda ke dalam satu CD. Entitas-entitas baru ini membuat label, artis, dan toko kaset menderita bersama-sama.

Lalu kenapa orang mau repot dan mengambil risiko membajak lagu dan mendistribusikannya secara gratis lewat situs?

Karena ternyata black market ini ternyata melahirkan model bisnis online baru yang unik. Mereka memang tidak berjualan MP3 bajakan, tapi jadi tempat beriklan mitra agen iklan online atau afiliasi lain. Google Adsense contohnya. Dengan tingginya trafik atau kunjungan ke situs mereka, maka mereka bisa menghasilkan penghasilan besar dengan terlihat atau dikliknya iklan yang mereka pasang. Salah satu situs populer dengan model bisnis ini adalah Stafaband.

Gelombang disrupsi kedua adalah kemunculan music streaming on-demand. Beberapa yang populer adalah Spotify, Joox dan iTunes. Bisnis ini secara revolusioner mengubah sifat kepemilikan dalam pasar musik. Kita hanya bayar biaya langganan dengan per bulan tarif yang rendah di bawah Rp 50.000, tapi kita mendapatkan akses memutar puluhan juta lagu lama dan baru dari seluruh dunia termasuk Indonesia yang bisa didengarkan dimanapun kita berada. Seperti bayar tiket masuk ke toko kaset mahabesar dimana kita bebas mau dengarkan lagu apa saja. Bahkan Joox bisa digunakan secara gratis meski tidak untuk mengakses semua lagu. Saya sendiri sudah hampir dua tahun ini berlangganan Spotify yang bisa diputar di smart phone, komputer, laptop, tip mobil, dan smart tv rumah.

Inilah revolusinya. Dulu, kita bisa memiliki sebuah musik lewat kaset, CD atau MP3. Dokumen musik itu kita beli dan simpan. Padahal musik itu life cycle dan popularitasnya singkat, kita tak dengarkan terus-menerus. Lalu, apakah konsumen merasa harus memiliki dokumen musik? Apakah kalau dokumen musik itu tidak kita beli, maka harganya bisa lebih murah? Bisakah kita hanya membeli 'waktu dengar' saja agar harganya lebih rendah?

Ternyata bisa! Musik bisa jadi sesuatu yang tidak harus dimiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun